Proses Pembangunan Pusat Data Nasional Diwarnai Kritik
Sejumlah anggota Komisi I DPR dan pelaku industri menilai pembangunan pusat data nasional perlu mempertimbangkan perencanaan detail dan langkah keamanan siber.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tetap ingin melanjutkan proses pembangunan pusat data nasional meskipun diwarnai kritik atas ketidaktransparan perencanaan dan kelemahan penanganan ancaman siber dari DPR dan pelaku industri.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, program kerja tahun anggaran 2023 masih akan melanjutkan tahun sebelumnya, seperti percepatan proyek infrastruktur telekomunikasi di daerah tertinggal dan integrasi pusat data nasional (PDN). Sementara terkait pagu anggaran yang tersedia untuk tahun 2023, dia menyebut sekitar Rp 19,7 triliun. Pagu ini, antara lain, berasal dari APBN dan hibah luar negeri.
”Proses pembangunan PDN akan terus jalan, seperti PDN berlokasi di wilayah Jakarta. Khusus PDN di wilayah Jakarta memakai dana pinjaman dari Perancis yang nilainya sekitar Rp 400 miliar,” ujar Johnny saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi I DPR RI, Rabu (7/9/2022), di Jakarta.
Johnny menambahkan, pihaknya selalu berkoordinasi lintas kementerian/lembaga untuk menyikapi ancaman serangan siber. Hanya saja, tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sebatas memastikan semua penyelenggara sistem elektronik (PSE) mengikuti kaidah hukum perlindungan pribadi, seperti mendorong PSE selalu melakukan enkripsi data dan wajib mempunyai sumber daya manusia yang andal.
”Penanganan serangan siber merupakan domain teknis Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN). Ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Sistem dan Transaksi Elektronik,” kata Johnny.
Tidak lengkap
Menanggapi hal itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golongan Karya, Bobby Adhityo Rizaldi, berpendapat, pagu anggaran Kemkominfo termasuk besar, tetapi kementerian belum menyampaikan alokasi anggaran untuk menunjang kebutuhan perlindungan data. Penjelasan detail kebutuhan anggaran ataupun teknis pembangunan PDN pun belum terungkap.
”Apabila Kemkominfo sebagai leading sector untuk PDN, kami terus mempertanyakan sejauh mana perkembangan upaya Kemkominfo untuk mengintegrasikan seluruh pusat data kementerian/lembaga pemerintahan dan pemerintah daerah,” kata Bobby.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Junico BP Siahaan, menambahkan, maraknya serangan siber berupa kasus kebocoran data sepatutnya jadi perhatian serius Kemenkominfo. Dalam satu bulan terakhir telah terjadi lebih dari tiga kasus dugaan kebocoran data, seperti IndiHome Telkom, PLN, dan data hasil registrasi prabayar nomor layanan telekomunikasi seluler. Ia menyebut peristiwa ini merupakan peristiwa yang keterlaluan.
Fenomena tersebut seharusnya menjadi ”lampu merah” bagi pemerintah, termasuk Kemenkominfo. Apalagi, lanjut Junico, Kemenkominfo menargetkan proses pembangunan PDN selesai tahun 2024. ”Tolong sampaikan bagaimana seharusnya bisa menjelaskan kepada masyarakat mengenai upaya menjaga data publik itu,” tuturnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, berpendapat, Kemenkominfo sudah sepatutnya bisa menjelaskan langkah pengawasan proses pembangunan ataupun pengelolaan PDN. Apalagi, Kemenkominfo menggunakan dana pinjaman dari pemerintah Perancis untuk pembangunan PDN yang berlokasi di Jakarta.
Sebelumnya, Kemenkominfo menyatakan akan membangun empat PDN. Selain di Jakarta, lokasi pembangunan PDN lainnya ada di Batam (Kepulauan Riau), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan di Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur). Program kerja ini dianggap sebagai bagian dari peran kementerian sebagai government chief technology officer dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan berbasis elektronik.
Secara terpisah, Ketua Indonesia Data Center Provider (IDPRO) Hendra Suryakusuma mengatakan, kedaulatan data di Indonesia masih lemah. Persoalan ini semestinya menjadi prioritas utama untuk diselesaikan, baru kemudian persoalan PDN. Pemerintah pun belum memiliki cetak biru pembangunan teknologi informasi komunikasi.
Ketiadaan cetak biru pembangunan teknologi informasi komunikasi menyebabkan pemerintah tidak memiliki landasan kebijakan keamanan siber yang jelas. Akibatnya, kata dia, pemerintah tidak memiliki pemetaan jenis data strategis yang potensial diserang, langkah pencegahan, dan penanganan serangan.