Istana Kepresidenan Kini Menggunakan Listrik Ramah Lingkungan
Penggunaan listrik ramah lingkungan diharapkan mampu mengatasi perubahan iklim. Istana-istana Kepresidenan pun memulai langkah ini.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKATA, KOMPAS — Seluruh istana kepresidenan yang ada di Indonesia kini menggunakan aliran listrik yang dihasilkan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Selain untuk memenuhi tuntutan dunia yang terus berubah, penggunaan energi baru terbarukan juga dipilih demi mendukung gerakan penyelamatan Bumi.
Istana-istana kepresidenan mendapat sertifikat penggunaan energi baru terbarukan (REC) yang diserahkan oleh Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo. Sertifikat diserahkan kepada Kepala Biro Umum Sekretariat Presiden Erry Harmawan, Kepala Istana Kepresidenan Bogor Erwin Wicaksono, Kepala Istana Kepresidenan Yogyakarta Deni Mulyana, Kepala Istana Kepresidenan Cipanas Nanik Sri Pujiastuti, dan Kepala Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali Agus Wawan Herwanto, di Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Sembari memberikan sertifikat REC untuk istana-istana kepresidenan, PLN juga secara simbolik menyerahkan 35 sepeda motor listrik dan beberapa kendaraan operasional listrik. Darmawan menyebut hal ini sebagai dukungan luar biasa dari Istana untuk transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Pengalihan penggunaan listrik EBT, menurut Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, adalah tuntutan dunia untuk berubah. Istana-istana kepresidenan di Indonesia juga ikut menggunakan listrik yang ramah lingkungan. Langkah ini diharapkan bisa diikuti lembaga-lembaga pemerintah lainnya.
Listrik yang dialirkan ke Istana-istana Kepresidenan, menurut Darmawan, berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang. Listrik dari tenaga panas bumi ini diklaim nol emisi karbon.
Kebenaran penggunaan EBT ini disertifikasi oleh PLN bekerja sama dengan APX. Karena itu, tambah Darmawan, REC yang dikeluarkan PLN ini diakui dunia internasional. Sebelum menerbitkan REC, perusahaan mencari sertifikasi serupa ke Eropa atau Amerika untuk menunjukkan produk-produk yang mereka ekspor memiliki jejak karbon yang sangat rendah. Kini, PLN sudah memiliki REC.
Listrik EBT diakui sedikit lebih mahal. Namun, penambahan biaya hanya Rp 35 per kwh. Di luar negeri, menurut Darmawan, penambahan biaya untui EBT mencapai Rp 70 per kwh.
Istana Kepresidenan mendukung gerakan menyelamatkan Bumi sehingga memilih memanfaatkan EBT. Lagipula, cepat atau lambat, perubahan menuju penggunaan energi yang ramah lingkungan harus dijalankan.
Darmawan pun mengaku terkejut dan terharu ketika mengetahui Istana Kepresidenan mau mengganti aliran listrik dengan listrik EBT. ”Saya sampai tanya ke Direktur Niaga, bener nih mau beli. Futuristik banget,” ujarnya.
Heru mengungkapkan, Istana Kepresidenan mendukung gerakan menyelamatkan Bumi sehingga memilih memanfaatkan EBT. Lagipula, cepat atau lambat, perubahan menuju penggunaan energi yang ramah lingkungan harus dijalankan.
Ke depan, lanjut Heru, Sekretariat Presiden juga akan lebih banyak menggunakan kendaraan berbasis listrik. Kendati untuk saat ini lebih banyak kendaraan roda dua yang berbasis listrik, penggunaan kendaraan listrik akan diterapkan sepenuhnya di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. ”Kami akan lakukan di IKN secara bertahap, 2023 2024, dan seterusnya, kita fokus ke IKN,” katanya.
Target 2030
PLN sebenarnya juga mendapat tugas mengatasi efek rumah kaca. Karena itu, menurut Darmawan, perencanaan pembangunan pembangkit listrik berbasis batubara dipangkas. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai diganti pembangkit listrik penghasil energi baru terbarukan. Sebagian pembangkit listrik berbasis batubara juga tidak akan digunakan lagi.
”Porsi energi baru terbarukan dalam RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) sampai 2030 ditambah porsinya sampai 51 persen,” ujar Darmawan.
Ini dilakukan untuk mencapai target pemerintah, yakni karbon netral (net zero emission) pada tahun 2060. Bila langkah untuk mengurangi emisi karbon tidak dilakukan, emisi sektor kelistrikan yang saat ini 280 juta ton per tahun bisa mencapai 920 juta ton di tahun 2060.
Untuk itu, penambahan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan terus ditambah, baik menggunakan tenaga surya, panas Bumi, angin, maupun air. Harapannya, di tahun 2025, sebesar 23 persen dari energi listrik yang disalurkan PLN sudah berupa energi baru terbarukan.
Saat ini, bauran energi baru terbarukan di PLN diakui belum mencapai 20 persen. ”Kami sedang menuju ke arah sana,” kata Darmawan.