Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Pembenahan tata kelola penyaluran subsidi energi masih perlu menjadi perhatian.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis pertalite, solar, serta pertamax pada Sabtu (3/9/2022). Inflasi pun diyakini tidak terhindarkan. Pengamat menilai, yang perlu menjadi titik berat ke depan adalah pembenahan tata kelola subsidi energi. Selama ini, ketidakefektifan subsidi terus terjadi dan merugikan masyarakat.
Presiden Joko Widodo didampingi sejumlah menteri mengumumkan kenaikan harga BBM di Istana Merdeka, Jakarta, pada pukul 13.30. Harga baru itu berlaku 1 jam setelahnya. Harga pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Sementara itu, harga pertamax naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, saat dihubungi, Sabtu (3/9/2022), mengatakan, kenaikan harga BBM itu berpotensi menyulut inflasi dan berdampak pada laju pemulihan ekonomi. Hal-hal itu mesti diantisipasi.
”Ini akan berdampak pada dimulainya ekonomi biaya tinggi. Saat inflasi seharusnya diredam, Indonesia melepas. Negara-negara lain, misalnya, melakukan inflation reduction act,” kata Yayan.
Penyaluran subsidi energi ini tak efektif karena mayoritas subsidi justru dinikmati warga yang relatif mampu.
Beberapa pekan terakhir, pemerintah gencar menyampaikan bahwa beban APBN dalam menanggung subsidi energi, termasuk BBM, sudah sangat tinggi. Penyaluran subsidi energi ini tidak efektif karena mayoritas subsidi justru dinikmati warga yang relatif mampu.
Menurut Yayan, jika sudah tahu bahwa subsidi tidak efektif, pada Februari 2022, misalnya, seharusnya sudah dievaluasi dan dibenahi permasalahannya, alih-alih terus ditambah.
”Seharusnya, Presiden menginstruksikan agar dibuat perencanaan subsidi yang efektif, dengan skenario-skenario. Kalau seperti ini (kuota jebol dan subsidi tak tepat sasaran), kan, memang seperti sesuai dugaan. Ada bad management (tata kelola buruk) dalam pengelolaan, khususnya subsidi energi dan konsumsi energi,” ujar Yayan.
Oleh karena itu, ia menekankan pembenahan tata kelola penyaluran BBM bersubsidi mutlak harus dilakukan, menyusul kenaikan harga saat ini.
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Pendaftaran kendaraan roda empat di MyPertamina pun dimulai sejak Juli 2022. Namun, pembatasan belum diterapkan karena perpres tersebut belum juga terbit. Kini, justru penyesuaian harga BBM lebih dulu diputuskan.
Menurut Yayan, pembatasan itu seharusnya sudah dilakukan sejak Februari lalu. ”Perlu ada manajemen yang baik terkait energi, termasuk misalnya ketika ada windfall profit (durian runtuh) dan ada kerugian. Harus lebih transparansi agar masyarakat lebih memahami apa yang menyebabkan kenaikan harga energi. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih berjaga-jaga. Energi alternatif (selain BBM) juga perlu dipikirkan,” tuturnya.
Sebelumnya, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya, Gigih Prihantono, berpendapat, hal utama yang juga perlu menjadi perhatian adalah adanya alternatif bagi masyarakat. Misalnya, pembenahan transportasi publik di kota-kota besar. Selama ini, jika terjadi kenaikan harga BBM, hal itu dilakukan tanpa kebijakan ikutan yang menghadirkan pilihan sehingga masyarakat nantinya dapat menghitung dan mempertimbangkan sendiri ongkos transportasinya.
Pastikan ketersediaan
Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, pihaknya terus memastikan ketersediaan stok pertalite dan solar serta proses distribusinya ke SPBU. Penyaluran itu diupayakan berjalan optimal di tengah meningkatnya konsumsi masyarakat akan BBM. Ketahanan BBM pun dijaga.
”Per 3 September (2022) ini, (ketersediaan BBM) berada di angka aman. Pertalite di level 18 hari dan solar 20 hari. Ini terus kami produksi. Proses produksi hingga ketersediaan stok BBM di SPBU juga terus dimonitor secara real time sehingga masyarakat tak perlu khawatir. Masyarakat juga diimbau tak membeli secara berlebihan,” kata Irto lewat keterangan video.
Menurut Irto, stok dan penyaluran pertalite dan solar yang terjaga sangat penting mengingat saat ini tingkat konsumsi keduanya sebesar 85 persen dari total konsumsi BBM nasional. Oleh karena itu, kebutuhan yang besar tersebut mesti diimbangi dengan ketersediaannya. Pertamina pun berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan BBM.
Stok dan penyaluran pertalite dan solar yang terjaga sangat penting mengingat saat ini tingkat konsumsi keduanya sebesar 85 persen dari total konsumsi BBM nasional.
Irto menambahkan, kondisi ketersediaan BBM terus dipantau Pertamina melalui Integrated Enterprise Data and Center Command (PIEDCC). ”(Dengan itu), Pertamina dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam memastikan ketersediaan stok BBM hingga di SPBU. Misalnya, stok di salah satu SPBU sudah menipis, kami bisa mengalihkan distribusi dan menjadikan SPBU itu sebagai prioritas,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (26/8/2022), mengatakan, alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi pada 2022 mencapai Rp 502,4 triliun. Subsidi untuk solar sebanyak 15,1 juta kiloliter dan kompensasi pertalite 23,05 juta kiloliter. Adapun rata-rata konsumsi pertalite dan solar masing-masing 2,5 juta kiloliter serta 1,5 juta kiloliter per bulan.
Apabila pola konsumsi BBM bersubsidi tidak berubah, hingga akhir tahun, total kuota solar yang dibutuhkan menjadi 17,44 juta kiloliter dan pertalite menjadi 29,07 juta kiloliter. Oleh karena itu, akan diperlukan tambahan anggaran subsidi sebesar Rp 195,6 triliun.