Kenaikan Harga BBM Bisa Berdampak pada Harga Produk Jadi di Pasaran
Kenaikan harga BBM diperkirakan akan berdampak pada meningkatnya harga produk dan jasa di tingkat konsumen. Meski demikian, kenaikan harga diyakini tetap terkendali dan tetap memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak ikut membuat waswas dunia usaha di tengah beban biaya operasional yang melonjak akhir-akhir ini. Sebagai dampak dari kenaikan harga BBM, harga produk di pasaran bisa ikut meningkat. Pelaku usaha berharap pemerintah memberikan insentif lain untuk menambal kenaikan biaya operasional tersebut.
Kementerian Perindustrian mencatat, pengeluaran komponen bahan bakar di industri berskala besar dan sedang (IBS) pada tahun 2019 sebesar Rp 58,7 triliun atau berperan 1,3 persen terhadap total biaya produksi industri.
Sektor yang paling banyak memakan biaya untuk bahan bakar adalah sektor barang galian bukan logam (Rp 16,7 triliun), bahan kimia dan barang dari bahan kimia (Rp 11,1 triliun), serta sektor makanan (Rp 9,3 triliun).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, dengan asumsi perhitungan yang sama, pengeluaran bahan bakar pada tahun 2021 mencapai Rp 60 triliun dan berperan 1,4 persen terhadap total biaya produksi.
Menurut dia, dengan gambaran tersebut, kenaikan harga BBM pertalite tidak akan berdampak terlalu signifikan terhadap sektor manufaktur secara keseluruhan. Namun, jika harga solar ikut naik, beban biaya produksi sektor industri akan bertambah dan itu bisa berdampak pada kenaikan harga produk jadi di pasaran pada kisaran 10-15 persen.
Kenaikan harga juga dapat didorong oleh meningkatnya komponen biaya produksi industri lainnya belakangan ini. Misalnya, kenaikan harga sejumlah bahan baku dan penolong yang berasal dari impor, biaya logistik, dan lain-lain.
”Kenaikan pertalite tidak terlalu berdampak ke industri, tetapi ke karyawan industri pengguna kendaraan. Namun, kalau harga solar naik, itu tentu akan meningkatkan biaya logistik dan harga produk bisa naik sampai 15 persen,” kata Agus saat menghadiri Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Untuk tetap menjaga daya saing dan resiliensi industri dalam negeri di tengah meningkatnya beban biaya produksi itu, pemerintah akan mendorong pemberian insentif di aspek lain. Salah satunya, ujar Agus, adalah perluasan sektor penerima insentif harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk industri.
”Kebijakan ini telah terbukti mampu memperkuat resiliensi industri pengguna gas. Industri bisa melakukan efisiensi, terutama pada biaya operasional dan bahan baku,” katanya.
Kenaikan harga BBM pertalite tidak akan berdampak terlalu signifikan terhadap sektor manufaktur secara keseluruhan. Namun, jika harga solar ikut naik, beban biaya produksi sektor industri akan bertambah.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko Cahyanto mengatakan, industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena mereka lebih banyak menggunakan bensin dan solar nonsubsidi untuk kegiatan operasional sehari-hari.
Namun, tidak demikian halnya bagi industri kecil menengah (IKM), khususnya industri kecil, yang banyak memakai BBM bersubsidi. Kemenperin belum membuat simulasi dampak dari kenaikan harga BBM terhadap biaya produksi dan kenaikan harga produk jadi di sektor IKM. Namun, dampaknya diperkirakan akan cukup signifikan.
”Industri besar itu pakai truk besar dan bahan bakarnya pasti solar. Tetapi kalau IKM, mau yang naik pertalite atau solar, pasti terdampak. Seperti apa pengaruhnya, saat ini sedang dihitung, supaya kami bisa merumuskan langkah-langkah ke depan,” kata Eko.
Namun, ia menegaskan, tidak mungkin APBN terus-menerus dibebani dengan subsidi BBM yang tinggi. ”Ini mengapa pemerintah betul-betul memperhitungkan kebijakan ini dengan matang. Tetapi, kita tahu, kalau tidak dinaikkan pun dampaknya bisa serius. Untung-ruginya sudah dihitung betul,” ujarnya.
Tetap terkendali
Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani mengatakan, kenaikan harga BBM ibarat memakan buah simalakama. Di satu sisi, pelaku usaha tidak siap dengan kenaikan tersebut karena akan ikut terdampak, khususnya di saat biaya operasional sedang meningkat akhir-akhir ini. Namun, di sisi lain, kebijakan itu juga bisa dipahami untuk menjaga stabilitas APBN.
Bagi dunia usaha, pengaruh terbesar khususnya akan dirasakan di sektor jasa, seperti logistik dan transportasi. Kenaikan harga BBM pun diyakini dapat mendorong kenaikan harga barang dan jasa di tingkat konsumen.
”Pasti akan berpengaruh. Namun, kenaikan harga akan tetap memperhatikan daya beli masyarakat. Tidak mungkin dinaikkan melebihi kemampuan. Jadi, kalaupun naik, kenaikannya relatif akan terkendali, khususnya untuk barang-barang konsumsi pokok dan umum,” katanya.
Hariyadi tidak berharap banyak pada insentif dari pemerintah, mengingat kondisi keuangan negara yang saat ini sedang terjepit hingga harus mengurangi anggaran subsidi BBM. ”Sepertinya pemerintah akan lebih banyak memberikan subsidi ke konsumen langsung, bukan ke pelaku usaha. Seperti waktu pandemi saja, pelaku usaha minta bantuan tarif listrik juga tidak dapat,” ujar Hariyadi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menilai, jika pemerintah jadi menaikkan harga BBM, perlu ada solusi lain yang ditawarkan dalam bentuk insentif. Misalnya, menerapkan kembali sejumlah insentif bagi dunia usaha yang pernah diberikan saat pandemi Covid-19.
”Kalau semua pelaku usaha ditanya, sudah pasti tidak mau (harga BBM naik), tidak siap. Tapi kita coba mendengar dulu insentif apa yang ditawarkan pemerintah. Kalau sisi demand dan supply bisa diinsentifkan, itu bisa membantu,” katanya.