Tata kelola industri pariwisata nasional dianggap masih semrawut. Dasar hukum kepariwisataan, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, dinilai belum mengakomodasi tata kelola yang baik dan tren kebutuhan industri.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Landasan hukum pengaturan sektor pariwisata melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan kebutuhan industri pariwisata. Selain itu, sejumlah substansi yang terkandung di dalamnya tidak diimplementasikan dengan optimal. Dukungan revisi menguat dari kalangan pelaku usaha.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Rabu (31/8/2022), di Jakarta, menyampaikan, saat ini, panja sudah dibentuk. Naskah akademik telah masuk tahap finalisasi. Draf rancangan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sedang digodok. DPR memperkirakan pembahasan sampai pengesahan bisa dilakukan tahun 2023.
”UU No 10/2009 tidak update dengan pesatnya perkembangan kebutuhan industri pariwisata. Beberapa isu kebutuhan yang jadi catatan adalah fasilitasi pemerintah tidak maksimal, arahan model pengelolaan yang masih ‘manual’, dan masih minim arahan menguatkan sumber daya manusia di industri pariwisata. Padahal, sektor industri ini memiliki potensi multidampak yang besar ke perekonomian nasional,” ujarnya.
Syaiful menambahkan, beragam tren produk pariwisata bermunculan dan tematik. Meski demikian, strategi kebijakan pemerintah menangkap peluang ekonomi atas tren tersebut pun masih kurang.
Dalam konferensi pers mingguan, Senin (29/8/2022) petang, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno menyampaikan, saat ini penggodokan revisi UU No 10/2009 dilakukan secara maksimal guna mempermudah pengelolaan destinasi superprioritas agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengelolaan. Destinasi superprioritas ke depannya bisa menjadi ujung tombak kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif sehingga bisa membuka peluang usaha dan lapangan kerja bagi masyarakat secara optimal. Pemerintah pun mendorong pengelolaan destinasi wisata, seperti cagar budaya dan taman nasional yang mengedepankan unsur konservasi, agar menerapkan pola manajemen otoritas tunggal.
”Pengelolaan destinasi wisata dalam satu manajemen melalui badan otoritas khusus di setiap destinasi diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik, serta memudahkan penataan pariwisata berkelanjutan. Tentunya, dalam penyusunan revisi UU, kami pun berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait,” kata Sandiaga.
Terkait usulan substansi manajemen otoritas tunggal untuk pengelolaan destinasi prioritas dimasukkan dalam rancangan revisi UU No 10/2009, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Haryadi B Sukamdani berpendapat pemerintah dan legislator perlu berhati-hati. Keduanya perlu mendudukkan konteks kisruh penetapan biaya konservasi di Taman Nasional Komodo yang terjadi beberapa waktu lalu. Kisruh ini diduga memanas karena ada isu badan usaha milik daerah yang akan berperan mengelola tiket masuk, selain isu biaya konservasi ditambah tiket Rp 3,75 juta per orang.
”Apa bedanya manajemen otoritas tunggal untuk pengelolaan destinasi prioritas dengan isu badan usaha itu? Kami menduga maksud pemerintah ingin memasukkan substansi manajemen otoritas tunggal itu bertujuan mengatasi tumpah tindih pengelolaan, tetapi jangan sampai mematikan pelaku usaha lokal,” kata Haryadi.
Haryadi berpendapat, masalah mendasar yang dirasakan pelaku industri adalah upaya promosi destinasi pariwisata terjadi serba sporadis. Ada kesan, pelaku usaha menanggung aktivitas pemasaran destinasi secara mandiri.
Padahal, Pasal 36–49 UU No 10/2009 telah mengamanatkan pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia dan Badan Promosi Pariwisata Daerah. Pemerintah memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibu kota negara, lembaga swasta, dan bersifat mandiri. APBN ataupun APBD dapat memberikan hibah kepada badan. Menurut Haryadi, sampai sekarang, amanat UU No 10/2009 ini belum terbentuk.
”Dukungan (pemerintah) terhadap promosi destinasi pariwisata nasional serba nanggung. Kementerian (Kemenparekraf) memiliki anggaran terbatas. Sementara kami pelaku usaha selalu dikenakan pajak usaha dan aneka retribusi, tetapi manfaat untuk kemajuan industri pariwisata pun belum maksimal,” ujar dia.
Berangkat dari realita itu, dia menganggap UU No 10/2009 perlu direvisi. Pihaknya mengusulkan agar ada satu lembaga semacam badan layanan umum yang fokus mengurusi promosi destinasi nasional. Dengan demikian, pemasaran semakin terarah dan berdampak ke pelaku usaha pariwisata.
Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari berpendapat senada. Menurut dia, substansi manajemen otoritas tunggal untuk pengelolaan destinasi prioritas sebaiknya tidak diikutsertakan dalam revisi UU No 10/2009. Substansi seperti itu cukup diselesaikan dengan kebijakan atau peraturan di bawah UU.
Menurutnya masih banyak hal yang lebih mendesak diatur dalam UU. Salah satunya yaitu usaha pariwisata. Saat ini, usaha pariwisata telah berkembang pesat. Namun, pembinaan pemerintah kepada pelaku usaha pariwisata masih tumpang tindih lintas kementerian/lembaga. Misalnya, pelaku usaha kuliner yang secara sektor sebenarnya masuk dalam kategori pariwisata dan ekonomi kreatif. Akan tetapi, di daerah, mereka justru di bawah pengawasan ataupun pendampingan dinas perindustrian.
”Klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia terkait pariwisata memiliki perbedaan antara BPS dan isi UU No 10/2009. Kami harap, langkah pembahasan revisi UU itu sebaiknya ikut mengundang para ahli di bidang industri pariwisata,” ujar Azril.
Tenaga Ahli Hukum Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) Dian Agung Wicaksono menambahkan, selama ini sebenarnya sudah berlangsung aksi sejumlah pemerintah daerah menyusun dokumen rencana induk pembangunan kepariwisataan. Namun, masih minim pengaturan dalam UU 10/2009 mengenai kedudukan hukum rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagai dokumen perencanaan.
”Belum ada pula pengaturan tegas dalam UU Kepariwisataan lama terkait hierarki perencanaan ruang dan kepariwisataan. Selain itu, kami juga belum melihat masalah-masalah mendasar seputar pariwisata, seperti mitigasi bencana, diatur dalam UU yang lama,” ujar dia.