Penangkapan ikan terukur berbasis kuota diharapkan tidak mengulang kegagalan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya ikan dengan membuka akses khusus bagi pemodal di zona tertentu.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang siap digulirkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan disorot oleh Komisi IV DPR. Muncul kekhawatiran perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota membuka kavling laut dan memberikan hak istimewa bagi pemodal untuk menggarap sumber daya ikan.
Penangkapan ikan terukur berbasis kuota membuka kesempatan bagi investor dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan di zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun. Uji coba perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota bakal segera diterapkan. Tahap uji coba akan dilaksanakan pada tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara, dan PPN Kejawanan di Jawa Barat.
Dalam butir kesimpulan rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Selasa (30/8/2022), Komisi IV DPR, antara lain, meminta diadakan diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait dengan strategi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan penangkapan ikan terukur berbasis kuota.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P, Yohanis Fransiskus Lema, mempertanyakan sejauh mana kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota mampu mengurangi angka kemiskinan nelayan tradisional dan kecil. Di sisi lain, bagaimana kemampuan negara untuk menjaga ekosistem laut dan cadangan ikan jika kebijakan itu diterapkan.
Fransiskus mengingatkan, Indonesia pernah melakukan kerja sama dengan Jepang yang disebut Banda Sea Agreement pada periode 1969-1980, yang memberlakukan zonasi dan kuota penangkapan ikan di Laut Banda. Evaluasinya memperlihatkan Indonesia dirugikan sehingga kerja sama itu dihentikan. Ia berharap Indonesia tidak mengulang kesalahan pengelolaan perikanan yang sama dalam kebijakan penangkapan ikan terukur.
Ia juga menyoroti kesiapan sarana prasarana, kapal pengawasan, dan radar pengintai yang belum sepenuhnya disiapkan KKP untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur. Sedangkan uji coba penangkapan terukur akan dilakukan di WPP NRI 718 Laut Arafura yang memiliki stok sumber daya ikan sangat besar, yakni mencapai 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok sumber daya ikan nasional.
”Dampak lanjutan yang dikhawatirkan adalah overfishing di zona industri yang bisa mengancam kelestarian dan ekosistem laut,” kata Fransiskus.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Alimin Abdullah, mengemukakan, Indonesia masih lemah dalam pengawasan laut. Sumber daya ikan Indonesia hingga kini terus dicuri nelayan asing, sedangkan nelayan Indonesia belum bisa sejahtera. Kebijakan penangkapan terukur dikhawatirkan akan sulit diawasi dengan pengawasan yang masih lemah.
Trenggono menjelaskan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan secara komperehensif. Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak PNBP yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan Indonesia. Sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan dinilai sulit jika hanya mengandalkan postur APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sangat terbatas.
Adapun pagu anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau hanya 0,0068 persen dari total alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga tahun 2023 sebesar Rp 993,2 triliun.
”Penangkapan ikan terukur ini paling efektif karena kita hadirkan industri di wilayah (zona industri itu) dan hasilnya bisa buat membantu nelayan kecil yang tidak pernah sejahtera,” kata Trenggono.
Dia Trenggono menambahkan, saat ini payung hukum terkait penangkapan ikan terukur masih dalam proses penyusunan yang melibatkan lintas kementerian terkait. Namun, apabila kebijakan penangkapan terukur bisa dilaksanakan secara menyeluruh pada 2023, nelayan bisa lebih sejahtera.
Teori gagal
Fransiskus menyoroti paradigma penangkapan ikan terukur yang menyerupai teori menetes ke bawah (trickle down effect) yang pernah diusung pada zaman Orde Baru. Orde Baru mengedepankan stabilitas, iklim investasi yang baik dan pertumbuhan, serta akses utama bagi kapitalis. Dengan demikian, kue ekonomi yang terkumpul diharapkan merembes ke bawah sehingga terwujud keadilan ekonomi.
Meski demikian, teori pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pemilik modal atau kapitalis, dan selanjutnya akan ada kesejahteraan yang dibagikan ke masyarakat nyatanya tidak berhasil. ”Teori (yang diterapkan) 32 tahun ini terbukti gagal. Rembesan ekonomi bukan ke bawah, melainkan ke samping. Apalagi, kita memiliki kelemahan dalam pengawasan,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota seharusnya memberikan akses yang setara kepada seluruh kelompok masyarakat serta keberpihakan pemberdayaan kepada nelayan tradisional dan kecil agar mampu sejahtera. Dan, bukan sebaliknya, mengavling laut serta memberikan akses khusus bagi pemodal besar.
Dari data KKP, zona industri perikanan yang menerapkan kuota penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 718, WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).