Kendati akhirnya ditunda, wacana tentang kenaikan tarif ojek daring masih menjadi polemik. Perlukah tarif naik, seberapa besar kenaikannya, dan apakah kenaikan tarif menjamin kenaikan pendapatan pengojek daring?
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·3 menit baca
Tepat 25 hari kalender, masa sosialisasi rencana kenaikan tarif ojek daring berakhir. Namun, Kementerian Perhubungan secara mengejutkan pada Minggu (28/8/2022) sore justru menunda pemberlakuan tarif baru sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.
Menurut Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati, keputusan itu mempertimbangkan berbagai situasi yang berkembang di masyarakat. Selain itu, penundaan dibutuhkan untuk mendapat lebih banyak masukan dari para pemangku kepentingan, sekaligus melakukan kajian ulang agar didapat hasil yang terbaik.
Para pakar transportasi juga dinantikan masukannya, antara lain terkait apakah tarif harus dinaikkan, berapa besarannya, dan siapa yang bakal mendapat keuntungan dari kenaikan itu. Lalu, apakah kenaikan tarif bakal meningkatkan pendapatan pengemudi ojek daring, ujung tombak bisnis yang disebut mitra oleh operator.
Sedianya, regulasi Kemenhub itu diterapkan 10 hari sejak keputusan dikeluarkan pada 4 Agustus 2022, tetapi rencana itu ditunda guna menambah waktu sosialisasi menjadi 25 hari. Regulasi itu mengatur detail biaya jasa ojek daring. Ada biaya batas bawah, batas atas, dan biaya jasa minimal yang dinaikkan dan diatur sesuai zonasi wilayah.
Aturan itu menyebutkan, biaya jasa batas bawah ditetapkan Rp 2.600 per kilometer (km) dan batas atas Rp 2.700 per km. Jika menilik regulasi serupa sebelumnya, yakni Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 348 Tahun 2019, biaya jasa batas bawah Rp 2.000 per km dan batas atas Rp 2.500 per km.
Riset Kompas padapertengahan Agustus 2022 menunjukkan, perubahan biaya jasa sangat diperlukan untuk saat ini. Hal itu guna menyesuaikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta sejumlah barang kebutuhan pokok. Situasi itu dinilai menekan pendapatan riil para mitra pengemudi.
Kehadiran ojek daring memang jadi angin segar bagi pengguna yang biasa dihadapkan pada tarif liar ojek pangkalan. Namun, jumlahnya berkembang dengan pesat. Kehadirannya juga menyingkirkan sebagian besar ojek pangkalan, terutama di kota-kota besar. Selain dianggap lebih terjangkau, tarif ojek daring kerap dibumbui gimmick potongan harga. Namun, apakah kenaikan tarif bakal menjadi angin segar bagi pengemudi ojek daring?
Tarif batas bawah, tarif batas atas, dan tarif minimal memang jadi domain Kemenhub. Dalam implementasinya, kenaikan tarif akan sangat dirasakan oleh para pengguna. Namun, ada hal yang masih jadi ganjalan, sebagaimana dirasakan oleh para pengemudi ojek daring. Mereka menyebut ganjalan itu adalah potongan biaya aplikasi.
Pekan lalu, seorang pengemudi ojek daring menyebut, kenaikan tarif sesungguhnya tidak terlalu diperlukan. Selain membuat tarif menjadi tidak kompetitif, pengemudi juga tidak akan meningkat pendapatannya. Kok bisa begitu? Sederhana saja, menurut dia, tarif jarak tempuh yang tak sampai 10 km, penumpang hanya membayar Rp 20.000. Dari jumlah itu, biaya jasa yang diterima pengemudi hanya Rp 16.000. Sebab, ada potongan biaya aplikasi 20 persen. Sementara ongkos BBM mesti ditanggung oleh pengemudi.
”Coba bayangkan saja. Kalau dalam waktu yang sama sebanyak 100 pengemudi mengangkut penumpang dengan ongkos rata-rata Rp 20.000, total biaya aplikasi bisa Rp 400.000. Jadi, sebenarnya kalau pemerintah mau bantu meningkatkan kesejahteraan pengemudi, biaya aplikasinya juga ikut diatur. Paling enggak, 5-10 persen saja,” kata pengemudi tersebut.
Tak sekadar soal mengangkut penumpang. Jasa antar-barang juga diliputi persoalan yang sama. Oleh karena itu, kendati tarif jasa naik, apakah kenaikan itu akan menaikkan pendapatan para pengojek daring?