Pengembangan SRG juga menjadi salah satu upaya untuk mendukung swasembada gula. Namun, yang krusial untuk mengejar itu adalah perluasan lahan dan peningkatan produktivitas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem resi gudang atau SRG yang kini menjangkau komoditas gula dinilai sebagai hal positif yang perlu terus diperluas dan dikembangkan. Selain untuk manajemen stok dan stabilisasi harga, juga dapat menjadi dukungan pembiayaan bagi petani. Kondisi gudang perlu terus dipastikan memadai sehingga SRG diharapkan berkelanjutan.
Resi gudang merupakan surat atau dokumen bukti kepemilikan atas komoditas yang disimpan di gudang. Penyimpanan di gudang tersebut dikelola oleh pengelola yang mendapat izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
Pengamat ekonomi pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, saat dihubungi, Minggu (28/8/2022), mengatakan, SRG sebenarnya sudah relatif lama diharapkan petani tebu karena hal serupa sudah diterapkan di komoditas lain. Sebab, pada komoditas tebu, beberapa bulan tertentu produksinya besar, sedangkan pada bulan-bulan lainnya justru produksinya menurun.
Belakangan ini, imbuh Khudori, di sejumlah titik terutama di sebagian Jawa Tengah, harga gula di petani tebu berkisar Rp 11.505-Rp 11.510 per kilogram. Padahal, beberapa bulan sebelummya, harga bisa mencapai Rp 11.700 per kg. Dengan demikian, jika ada SRG yang mudah diakses petani akan memberi manfaat bagi petani itu sendiri.
”Petani bisa mendapat pendanaan dengan resi itu. Yang bakal menjadi krusial adalah pergudangannya. Dalam hal ini, produsen, BUMN mesti memastikan gudang-gudang yang dipunyai memadai. Jika belum, mesti dirombak agar memenuhi persyaratan,” kata Khudori.
Pengembangan SRG juga menjadi salah satu upaya untuk mendukung swasembada gula. Namun, menurut Khudori, yang krusial untuk mengejar itu adalah perluasan lahan dan peningkatan produktivitas. ”Ini tantangan tak mudah. Di sisi lain, tebu masih menjadi salah satu komoditas yang disubsidi pupuk meskipun sepertinya jumlahnya tak naik (sementara harga pupuk kini tengah melonjak),” tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen juga melihat sisi positif mengenai SRG gula. Dengan demikian, saat harga gula sedang rendah, tidak langsung dijual kepada trader. Barulah, misalnya, setelah musim giling selesai yang biasanya terjadi kenaikan harga, gula diepas ke pasaran.
”Dengan SRG akan bisa ditentukan kapan dijual, tetapi dengan catatan situasi pasar dalam perhitungan normal. Artinya, kita menggunakan neraca yang benar, bukan dalam kondisi pasar kacau yang kerap kali berakibat pada terpuruknya harga gula petani karena harganya di bawah harga keekonomian. Pengembangan SRG untuk gula juga mesti diperluas,” ujar Soemitro.
Sebelumnya, PT Pabrik Gula Rajawali I dan PT Pabrik Gula Candi Baru sebagai anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) selaku induk BUMN Pangan (ID Food) dilaporkan telah menerbitkan sedikitnya 16 resi gudang untuk gula kristal putih. Penerbitan itu sesuai persetujuan Bappebti.
Pencapaian itu juga disampaikan dalam Implementasi Sistem Resi Gudang Komoditas Gula, di Malang, Jawa Timur, Jumat (26/8/2022). Implementasi tersebut hasil kerja sama Badan Pangan Nasional, ID Food, Bappebti sebagai regulator dan pengawas SRG, serta PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk atau Bank BJB.
Pelaksana Tugas Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menuturkan, sejak menjadi program prioritas nasional pada 2006, SRG terus dikembangkan. Berdasarkan data Bappebti per Kamis (25/8/2022), dari 16 resi gudang untuk gula putih di PT RNI, total volume mencapai 10,05 ton senilai Rp 115,5 miliar dan sembilan resi telah dibiayai oleh Bank BJB dengan nilai Rp 53 miliar. Kemendag menjembatani perluasan akses pasar dan pembiayaan produk yang dihasilkan gudang SRG.
”Kesuksesan SRG dipengaruhi dukungan pemerintah pusat dan daerah serta lembaga SRG yang terlibat. Juga pengelola gudang yang mandiri dan profesional, dukungan infrastruktur, terciptanya jaringan pemasaran, serta kelembagaan petani/nelayan/peternak,” kata Didid melalui siaran pers.
Mitigasi risiko
Menurut Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan, SRG bagian dari upaya transformasi industri gula nasional sekaligus membantu meningkatkan kesejahteraan petani tebu. Adapun gudang gula yang dikelola melalui PT PG Rajawali I berkapasitas 105.500 ton. Implementasi SRG di Pabrik Gula ID Food sebagai instrumen tunda jual dalam tata kelola stok.
”Saat harga komoditas turun dapat menjadi skema untuk mitigasi risiko atas fluktuasi harga. Melalui SRG, juga dapat diketahui informasi ketersediaan stok dan mutu komoditas gula untuk mendukung pemasaran pelaku usaha serta peningkatan daya saing komoditas,” kata Frans.
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengapresiasi ID Food Group dalam penerbitan resi gudang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sistem manajerial dan teknis yang baik dapat membuahkan kepercayaan dari berbagai pihak dalam dukungan pembiayaan SRG, salah satunya Bank BJB. Ia pun mendorong kolaborasi serupa dapat lebih banyak dilakukan pada sektor pangan.
Menurut data Kemendag, dari sejumlah komoditas pangan yang telah masuk dalam SRG, gabah masih dominan dengan 21.761 ton. Setelah itu, antara lain beras dengan 13.128 ton serta gula 6.750 ton. Arief berharap, pemanfaatan SRG terus meningkat agar pasokan pangan terjaga, stabil, dan tidak terjadi gejolak harga baik di petani maupun konsumen.
Arief menambahkan, penerapan SRG penting dalam penguatan ekosistem pangan nasional. Selain perihal manajemen stok, efisiensi rantai pasok, dan stabilisasi harga, SRG juga berfungsi sebagai sarana pembiayaan. Dengan demikian, ada dukungan permodalan bagi para petani dan pelaku usaha di sektor pangan.