Saling memahami pendapat dan melakukan komunikasi yang intens antara karyawan dan manajemen bisa menjadi solusi. Bahkan, melalui cara ini, bisa ditemukan dunia baru dalam kerja yang lebih modern.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Karyawan tampak enggan bekerja. Mereka terlihat malas meski tetap saja mau datang ke kantor atau juga mengikuti rapat. Namun, mereka juga tidak ingin keluar dari pekerjaan. Semua berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada lagi muncul orang-orang berambisi di dalam bekerja. Insentif lembur juga tak menarik buat mereka. Mereka memilih santai-santai saja.
Pandemi memang sudah mengubah banyak hal. Di dunia kerja muncul fenomena karyawan dalam jumlah besar mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas (great resignation). Kini muncul tren baru yang bernama ”quiet quitting”. Karyawan sesungguhnya tidak keluar dari pekerjaan, tetapi mereka hanya bekerja pas-pasan. Tidak ada ambisi, tidak rela kerja lembur, dan bekerja jauh di bawah kemampuannya. Apakah yang sedang terjadi?
Istilah diam-diam ”mengundurkan diri” dari pekerjaan tersebut muncul di sebuah akun media sosial Tiktok. Setelah itu merebak komentar yang memperlihatkan bahwa banyak orang juga sepemikiran. Mereka kemudian merasa bergabung dalam gerbong kereta yang satu ini. Di Amerika Serikat, fenomena ini terkonfirmasi dari survei produktivitas karyawan. Pada triwulan kedua tahun ini, produktivitas karyawan turun 2,5 persen. Angka ini merupakan penurunan tertinggi setelah Perang Dunia II.
Sejumlah perusahaan mengeluhkan keadaan ini. Beberapa perusahaan kemudian melakukan pemutusan hubungan kerja dan juga membatalkan perekrutan karyawan baru. Google bahkan secara terus terang mengatakan, mereka akan melakukan pemutusan hubungan kerja berkait dengan produktivitas karyawan yang turun. Karyawan seperti membentuk ”lingkungan baru”. Mereka tidak keluar dari pekerjaan, tetapi mereka tidak mau mencapai sesuatu yang lebih tinggi atau juga mereka ogah-ogahan untuk mencapai sesuatu melampaui tugasnya.
Fenomena ini kemudian menjadi debat dan analisis dari berbagai kalangan. Sejak muncul beberapa waktu lalu, hingga pekan ini para ahli belum menemukan sesuatu yang menjadi penyebab masalah ini. Beberapa ahli masih mengemukakan pendapat mereka yang sekadar berkomentar saja, tetapi belum ada riset-riset yang mendukung. Setelah fenomena karyawan yang keluar dari pekerjaan dalam jumlah besar, fenomena karyawan mengurangi ambisi dan pencapaian ini merupakan tren lanjutan yang sampai sekarang masih agak gelap.
Ada ahli yang berkomentar, fenomena ini merupakan dampak ikutan dari pandemi. Pandemi yang mengurung mereka sekian lama menyebabkan karyawan sangat tertekan hingga saat ini. Mereka kemudian ingin memperpanjang waktu bekerja di luar kantor serta menambah hari tanpa kerja. Akan tetapi, situasi kantor menuntut lain sehingga mereka memberontak melalui cara-cara kerja yang pas banderol saja.
Analisis lain menyebutkan, karena pandemi yang mengharuskan mereka bekerja di rumah, mereka malah mendapat beban tambahan. Bekerja di rumah bukannya membuat mereka dekat dengan keluarga, tetapi malah makin menambah masalah. Rapat-rapat daring dengan menggunakan platform video juga membuat mereka kelelahan dan selama ini sulit untuk mengambil waktu istirahat karena bekerja di luar kantor.
Akan tetapi, salah satu analisis yang menarik, fenomena diam-diam meninggalkan pekerjaan ini merupakan isu kesehatan mental. Pemberontakan para karyawan ini sesungguhnya upaya untuk menyehatkan mereka karena selama ini mendapat beban berat saat pandemi. Cara ini merupakan pilihan berikutnya setelah sejumlah rekan mereka memilih mengundurkan diri dari pekerjaan. Semacam jalan tengah atau cara lunak yang dipilih karyawan untuk mengatasi masalah kesehatan mental, tetapi tidak keluar dari pekerjaan.
Apa pun yang menjadi penyebabnya, fenomena ini bakal menjadi ketegangan baru antara karyawan dan manajemen. Perusahaan yang jarang mau mendengarkan suara karyawan akan membuat vonis-vonis baru terhadap karyawan yang melakukan tindakan diam-diam ini. Mereka pasti tidak akan tergerak untuk melakukan perubahan kultur organisasi. Saling menyalahkan mungkin akan muncul dan bisa membawa organisasi pada masalah yang lebih pelik.
Pandangan baru dan lebih segar menyebutkan, fenomena ini harus diterima dan manajemen harus melihatnya sebagai paradigma baru yang muncul di antara karyawan. Paradigma ini muncul dari generasi baru, yaitu generasi Y dan Z, yang mempertanyakan kerja keras dan kerja buru-buru. Mereka layak mempertanyakan dua hal itu karena mereka adalah korban paling terdampak akibat pandemi. Merekalah yang mengalami stres, tertekan, dan bahkan menjadi korban dari pandemi di lingkungan kerja. Oleh karena itu, wajar jika mereka ingin perubahan dalam memandang kerja dan lingkungan kerja.
Saling memahami pendapat masing-masing dan melakukan komunikasi yang intens antara karyawan dan manajemen mungkin bisa menjadi solusi. Bahkan, melalui cara ini mereka bisa menemukan dunia baru dalam kerja yang lebih modern. Generasi X yang lebih tua perlu mendengar pendapat karyawan dibandingkan memvonis mereka sebagai generasi yang malas ketika melihat fenomena ini.
Kita tentu berharap fenomena ”mogok kerja” dengan cara baru ini bukanlah akhir dari kultur kerja keras (the end of working hard) yang ada di berbagai bangsa dan organisasi. Kita masih membutuhkan inovasi-inovasi besar agar dunia kerja kembali bergairah. Temuan fenomena quiet quitting ini seharusnya membuat banyak pihak mencari cara-cara yang tepat agar dunia kerja makin produktif.