Tekan Impor Gandum, Pemerintah Kembangkan Industri Sorgum
Untuk mendorong penggunaan sorgum sebagai bahan baku di industri makanan dan minuman berskala besar, perlu ada ekspansi atau investasi baru untuk memperbesar skala dan kapasitas produksi olahan sorgum saat ini.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersiap mengembangkan industri sorgum dari hulu ke hilir untuk menyubstitusi bahan baku gandum yang selama ini bergantung dari impor. Untuk memenuhi kebutuhan industri di hilir, produksi sorgum yang masih berskala kecil-menengah akan diperbesar. Investasi baru pun dibutuhkan untuk mengembangkan kapasitas produksi.
Di atas kertas, potensi substitusi impor lewat sorgum cukup menjanjikan. Simulasi oleh Kementerian Pertanian menunjukkan, substitusi tepung sorgum sebesar 60 persen pada produk biskuit dan kue kering dapat mengurangi impor gandum hingga 6,1 juta ton, substitusi 25 persen pada produk kue berpotensi menekan impor gandum 2,5 juta ton, dan substitusi 35 persen pada mi dan sejenisnya bisa mengurangi impor gandum hingga 3,5 juta ton.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo lewat rapat kabinet terbatas pada awal Agustus 2022 lalu, pemerintah akan segera mengembangkan industri makanan dan minuman (mamin) berbasis sorgum untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum.
”Kita akan meningkatkan suplai sorgum supaya semakin besar, dengan mendorong adanya investasi baru di sektor pabrik mamin berbasis sorgum,” katanya, Kamis (25/8/2022).
Ia mengatakan, sorgum memiliki potensi besar untuk bersaing dengan gandum karena memiliki umur panen yang lebih singkat serta dapat ditanam dengan sistem ratun. Artinya, sorgum dapat langsung menumbuhkan anakan baru setelah tanaman pertama dipanen sehingga bisa meningkatkan efisiensi pada budidaya sorgum.
”Yang menarik, sorgum bisa diratun, sementara gandum tidak dapat diratun. Tetapi, memang kondisinya suplai (sorgum) kita masih sangat terbatas,” ujarnya.
Saat ini, produksi sorgum di hulu pertanian pada tahun 2021 tercatat masih sebesar 12.626 ton dengan luas panen 3.607,5 hektar. Secara bertahap, produksi sorgum akan ditingkatkan menjadi 52.500 ton dengan luas tanam 15.000 hektar pada 2022 dan 154.464 ton dengan luas tanam 40.000 hektar pada 2024.
Menurut data Kementerian Perindustrian, baru ada empat perusahaan sorgum di sektor hulu yang semuanya berstatus industri berskala kecil dan menengah (IKM). Lokasinya ada di Mataram (Nusa Tenggara Barat), Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), serta Tasikmalaya dan Sukabumi (Jawa Barat), dengan total kapasitas produksi 9.700 ton per tahun.
Sementara itu, di sektor hilir, ada delapan industri pengolahan sorgum yang telah memiliki sertifikat halal. Perusahaan yang juga berstatus IKM itu memproduksi tepung sorgum, nektar, gula, beras sorgum, kue dan biskuit sorgum, serta makanan ringan ekstrudat (puff-dried) dari sorgum.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Perindustrian Kris Sasono Ngudi Wibowo mengatakan, untuk mendorong penggunaan sorgum sebagai bahan baku di industri mamin berskala besar, perlu ada ekspansi atau investasi baru untuk memperbesar skala dan kapasitas produksi olahan sorgum saat ini.
”Kalau perusahaan skala kecil memang sudah cukup banyak yang mengolah sorgum, tetapi dalam konteks substitusi impor gandum, kita tidak bisa hanya bicara skala kecil,” katanya.
Menurut dia, pengolahan sorgum untuk menjadi bahan baku di level industri sebenarnya tidak sulit karena tidak membutuhkan teknologi yang terlalu tinggi. Secara umum, polanya menyerupai tanaman padi, yang dimulai dari tahap panen, perontokan, pengeringan, penyosohan, penepungan, dan pengolahan menjadi berbagai jenis makanan.
”Tidak terlalu rumit, buktinya sekarang industri kecil sudah bisa mengolah sorgum menjadi berbagai produk, dari tepung, gula, sampai camilan jadi,” ujar Kris.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian sedang mengejar target ekstensifikasi lahan untuk memperbesar skala produksi sorgum yang masih terbatas. ”Paling penting itu perluasan lahan dulu. Istilahnya, ada gula, ada semut. Kalau potensinya sudah jelas di wilayah mana, investasi akan bertumbuh karena investor pasti tidak jauh-jauh dari sumber bahan baku,” katanya.
Ada gula, ada semut. Kalau potensinya sudah jelas di wilayah mana, investasi akan bertumbuh karena investor pasti tidak jauh-jauh dari sumber bahan baku.
Tidak 100 persen
Peralihan dari gandum menuju sorgum perlu dimulai dari sekarang, meski tidak bisa dalam waktu cepat. Substitusi harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan banyak faktor, mulai dari kebutuhan industri sampai kesiapan masyarakat untuk mengonsumsi produk dari tepung lain selain terigu.
”Ini masalah mindset konsumen yang sudah puluhan tahun terbiasa dengan tepung terigu. Kita tidak mungkin menyubstitusi 100 persen gandum dengan terigu, hanya sedikit saja, dicampur 10-20 persen dengan tepung sorgum atau tepung lokal lain,” katanya.
Senada, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pelaku industri pada dasarnya siap untuk menyerap tepung sorgum produksi lokal. Namun, tepung terigu tidak mungkin disubstitusi hingga 100 persen, mengingat banyak produk yang masih membutuhkan kandungan gluten dari gandum.
Menurut dia, paling tidak industri mamin dan UMKM yang selama ini bergantung pada tepung terigu bisa mengurangi penggunaannya hingga 30 persen dan menggantinya dengan tepung sorgum.
”Beberapa industri yang tidak membutuhkan gluten mungkin bisa mengganti. Tetapi, untuk produk tertentu, seperti roti, sulit kalau 100 persen. Mi juga, meski sebagian mulai mengurangi dengan menggunakan tepung jagung atau sagu, tetap tidak bisa seluruhnya karena mi tetap butuh kekenyalan,” ujarnya.