Gejala di Dalam Negeri Terkait Inflasi Pangan Perlu Diperhatikan
Dalam rakornas terkait inflasi yang dipimpin Presiden Joko Widodo disampaikan, inflasi nasional saat ini banyak dipengaruhi oleh harga pangan bergejolak (”volatile foods”) yang mencapai 11,47 persen.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi pangan yang terjadi di tingkat global, termasuk Indonesia, dinilai perlu juga dilihat dengan cara pandang ke dalam atau inward-looking. Semua perlu menyadari akan inflasi, diikuti koordinasi semua pihak. Alternatif bahan-bahan pangan yang selama ini bergantung impor perlu disiapkan, sebagai antisipasi situasi berkepanjangan.
Sebelumnya, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8/2022), Presiden Joko Widodo memimpin Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam rapat itu menyampaikan, inflasi nasional saat ini banyak dipengaruhi oleh harga pangan bergejolak (volatile foods) yang mencapai 11,47 persen. Padahal, semestinya tidak boleh lebih dari 5 persen atau paling tidak maksimal 6 persen.
Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakutas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Amirullah Setya Hardi, saat dihubungi pada Jumat (19/8/2022), mengatakan, gejala mesti ditangkap dan disadari semua pihak, termasuk produsen, distributor, hingga konsumen. Artinya, siapa pun dalam sebuah kegiatan perekonomian.
Koordinasi harus diperkuat di segala arah, tak hanya pusat ke daerah. ”Antarkementerian juga harus padu. Juga di daerah, serta masyarakat. Saat ini, semua orang harus aware inflasi itu apa. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di masing-masing daerah diharapkan tahu betul kondisi, misalnya rantai pasok satu komoditas seperti apa. Harus diantisipasi,” ujar Amirullah.
Mengenai ketergantungan pada produk impor, seperti gandum, perlu segera dicarikan alternatif bahan pangan yang bisa dikembangkan. Porang, misalnya, yang beberapa waktu lalu sempat jadi primadona, tetapi kini tampak menurun. Perlu ditinjau, apakah bisa dimanfaatkan untuk pengganti gandum. Respons-respons seperti itu seharusnya bisa cepat dilakukan.
Bukan hanya gandum, tetapi komoditas yang bergantung pada impor lainnya, seperti kedelai. ”Semangatnya ialah mencari alternatif untuk mengurangi ketegantungan impor. Semangat inward-looking. Ini perlu disuarakan karena tak tahu akan berapa lama (dampak situasi global). Kalau lama sekali, bisa kacau, meskipun kita berharap ini hanya temporer,” ucap Amirullah.
Mengenai harga pangan bergejolak (volatile foods), terkadang dinilai sepele, padahal berkaitan juga dengan pola konsumsi masyarakat. Cabai, misalnya, yang produksinya juga rentan terpengaruh cuaca. Di sisi lain, masyarakat Indonesia memiliki standar tinggi, misal hanya ingin cabai segar, sedangkan ini berkait dengan masa simpan cabai. Sementara cabai kering, yang bisa lebih tahan lama, masih kalah diminati.
Namun, dalam mengarahkan itu (mengubah pola konsumsi) tak bisa seketika karena dapat menimbulkan kegaduhan. ”Pelan-pelan. Dan, akhirnya nanti, misalkan harga cabai meningkat, sedangkan pola makan pedas juga makin meningkat, akan terasionalisasi dengan harga. Mungkin orang akan berpikir tidak makan banyak lagi atau bergeser ke cabai bubuk,” ucapnya.
Mobilisasi
Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi, melalui siaran pers, Kamis (18/8/2022), mengatakan, upaya stabilisasi harga pangan antara lain dengan mobilitasi sejumlah komoditas inflasi, seperti bawang merah, jagung, cabai, dan daging. Mobilisasi itu dari wilayah surplus ke wilayah defisit tersebut akan terus digenjot volume dan intensitasnya.
Hingga Juli 2022, NFA telah memobilisasi bawang merah sekitar 37.000 kilogram dari sentra produksi di Bima, Nusa Tenggara Barat, ke Palembang (Sumatera Selatan), Bangka (Bangka Belitung), dan Temanggung (Jawa Tengah). Sementara hingga 8 Agustus 2022, sebanyak 2,7 juta kg jagung telah dimobilisasi dari NTB dan Sumsel ke kabupaten/kota di pulau Jawa.
Adapun komoditas cabai rawit merah hingga Juli 2022 telah didistribusikan 79.000 kg dari sentra produksi di Wajo, Sulawesi Selatan, ke Pulau Jawa. Sementara pada stabilisasi harga daging, NFA berkerja sama dengan PT Berdikari dan asosiasi pedagang daging dalam memobilisasi 1.405 ekor sapi hidup guna memenuhi kebutuhan daging di DKI Jakarta dan sekitarnya.
”Kami menjadi penghubung wilayah surplus dengan wilayah defisit, juga petani-peternak dengan off-taker serta asosiasi. Semuanya dilakukan dengan mekanisme B2B (business to business). Dalam aksi ini, NFA memberikan subsidi biaya transportasi agar saat tiba di lokasi tujuan, harga jual komoditas tetap wajar,” kata Arief.
Selain mengamankan rantai pasok dari hulu ke hilir, imbuh Arief, upaya penguatan infrastruktur pangan juga dilakukan. NFA telah menda daerah yang membutuhkan bantuan sarana infrastruktur. Yang akan disalurkan antara lain reefer container (peti kemas berpendingin dan cold storage untuk memperpanjang masa simpan produk pangan.
Pascapanen
Kepala Divisi Pengadaan Komoditi Perum Bulog Budi Cahyanto, dalam diskusi ”Tantangan Pangan Hadapi Krisis Global” secara daring, Jumat, mengatakan, peningkatan investasi dilakukan oleh Bulog. Di antaranya dengan membangun pusat pengeringan jagung (CDC) yang bakal berjumlah enam unit, dengan kapasitas masing-masing 120 ton per hari per unit. Jika ditotal, kapasitasnya mencapai 108.000 ton per tahun.
”Saat ini sedang dikerjakan seperti di Dompu (NTB) dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Diperkirakan kesiapannya pada Desember (2022). Maka, ketika Indonesia kekurangan jagung dan berpotensi membuat harga naik, kita bakal sudah memiliki stok-stok jagung,” ucap Budi.
Sejumlah pengembangan infrastruktur pascapanen Bulog lainnya ialah 13 unit penggilingan padi modern (MRMP) di wilayah-wilayah produsen, 7 unit mesin rice to rice (RTR) untuk peningkatan kualitas beras, 4 unit gudang modern dan pusat distribusi, serta 20 gudang komoditas pangan (GKP). Diharapkan kerawanan kenaikan harga pangan dapat semakin ditekan.
”Ke depan, infrastruktur ialah sesuatu yang harus ada sehingga kami menyediakannya. Ini semua untuk menopang kebutuhan serta stabilisasi pasokan dan harga di Indonesia,” ucap Budi.
Ketua Dewan Pakar DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Agus Pakpahan, dalam diskusi yang sama, menuturkan, sudah saatnya Indonesia masuk pada dimensi functionally. Perlu ditekankan bahwa sumber karbohidrat bukan hanya beras, tetapi juga sagu, sukun, dan lainnya. Begitu juga pada protein.
”Kalau kita sambungkan misal sumber karbohidrat pada sagu, ubi jalar, ubi kayu, dan lainnya dijadikan tepung, akan ada tepung nusantara. Itu akan menghidupkan daerah-daerah di Indonesia. Sagu di barat ada di Riau, sedangkan di Timur ada di Maluku dan Papua. Ini akan jadi supplier. Tak perlu dibongkar dan tak perlu dikonversi jadi sawah,” kata Agus.