Presiden Minta Pusat dan Daerah Kerja Sama Kendalikan Inflasi
Presiden Joko Widodo menginstruksikan pemerintah pusat dan daerah bersinergi dan berkoordinasi untuk mengendalikan inflasi. Ini agar daerah yang berkelebihan pasokan bisa mendistribusikan ke daerah yang kekurangan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah laju inflasi yang terus meningkat, Presiden Joko Widodo meminta kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah untuk bersinergi dan berkoordinasi mengendalikan inflasi. Kelebihan pasokan di suatu daerah harus bisa didistribusikan secara tepat ke daerah lain yang kekurangan sehingga tak ada kelangkaan barang dan harganya terkendali.
Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022 di Jakarta, Kamis (18/8/2022), Presiden menegaskan pentingnya sinergi, koordinasi, dan kerja sama antara kementerian/lembaga serta pemerintah daerah, baik dalam tataran Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) maupun Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Pada kesempatan itu, Presiden didampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Turut hadir secara daring perwakilan lebih dari 500 pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
”Saya ingin bupati, wali kota, gubernur, betul-betul mau bekerja sama dengan TPID di daerah dan TPIP. Tanyakan, di daerah apa saja yang harga barangnya naik? Apa saja yang menyebabkan inflasi?” kata Presiden Joko Widodo.
Ia menjelaskan, suatu waktu dirinya pernah berkunjung ke Merauke, Papua. Di sana, Presiden menemukan panen raya beras sehingga harganya murah, tetapi tidak ada yang beli. Padahal, di daerah lain sedang ada yang kekurangan beras. Dari peristiwa ini, Presiden menekankan pentingnya sinergi dan koordinasi. ”Tim pengendali inflasi yang pusat coba cek daerah mana yang punya cabai melimpah, beras melimpah. Ini harus disambungkan,” ujar Presiden.
Presiden menambahkan, inflasi di Indonesia akan bisa ditangani. Sebab, salah satu permasalahan inflasi di Indonesia adalah permintaan dan penawaran. Selama barang pangan itu tersedia dari daerah lain, inflasi bisa teratasi dan dikendalikan dengan baik.
Ia juga menyinggung bahwa inflasi saat ini tidak hanya dipicu oleh perubahan cuaca yang mengganggu produktivitas tanaman dalam negeri, tetapi juga faktor global. Belum lepas dari tekanan ekonomi karena pandemi Covid-19, dunia memasuki era ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia yang mengganggu rantai pasok komoditas energi dan pangan. Hal ini memicu kenaikan inflasi di berbagai negara di dunia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi nasional pada Juli 2022 mencapai 4,94 persen secara tahunan (yoy) atau masih di bawah inflasi di sejumlah negara lain. Negara-negara itu, antara lain, Korea Selatan yang sebesar 6,3 persen, Singapura yang sebesar 6,7 persen, India yang sebesar 6,7 persen, Thailand yang sebesar 7,7 persen, Amerika Serikat sebesar 8,5 persen, Uni Eropa sebesar 8,9 persen, dan Turki yang meroket hingga 79,6 persen.
”Inflasi saat ini jadi momok di seluruh dunia. Tapi saya yakin kita bisa mengendalikannya karena barangnya (pangan dan energi) ada, kok, di sini. Ini pentingnya kita koordinasi,” ujar Presiden.
Presiden juga secara khusus menyinggung lima provinsi dengan inflasi tertinggi pada Juli 2022 yang jauh di atas inflasi nasional. Lima provinsi itu adalah Jambi dengan inflasi 8,55 persen, Sumatera Barat 8,01 persen, Bangka Belitung 7,77 persen, Riau 7,04 persen, dan Aceh 6,97 persen. ”Dalam kondisi yang tidak biasa, kita tidak bisa bekerja biasa-biasa saja sesuai standar. Cek data mikro, makro, hingga detailnya,” ujar Presiden.
Inflasi pangan
Perry menjelaskan, inflasi Indonesia pada Juli 2022 yang sebesar 4,94 persen memang masih lebih rendah dari negara lain. Namun, angka itu memang sudah melebih batas atas proyeksi inflasi Bank Indonesia dan pemerintah, yakni 4 persen. Inflasi saat ini banyak dipengaruhi oleh harga pangan bergejolak (volatile foods) yang inflasinya pada Juli 2022 mencapai 11,47 persen. ”Ini semestinya tidak boleh lebih dari 5 persen atau paling tidak maksimal 6 persen,” ujar Perry.
Senada dengan Presiden Joko Widodo, Perry menjelaskan, lonjakan harga pangan ini dipicu oleh disrupsi rantai pasok global yang disebabkan perang Ukraina dan Rusia. Dari dalam negeri, gangguan cuaca dan distribusi antardaerah juga turut mendorong inflasi.
Airlangga menambahkan, untuk mendukung pertanian, pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran kredit usaha rakyat (KUR) untuk pertanian Rp 90 triliun dari plafon KUR 2022 yang sebesar Rp 370 triliun.
Guna menekan lonjakan harga komoditas energi, pemerintah sudah mengalokasikan subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 hingga Rp 502 triliun. Ini agar harga pertalite, solar, dan gas elpiji kemasan 3 kilogram tidak dinaikkan harganya.
Saat dihubungi secara terpisah, Kamis, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, inflasi harus terus dikendalikan karena ini terkait dengan daya beli masyarakat. Ketika inflasi terus meningkat, hal itu akan menggerus daya beli masyarakat. Adapun daya beli yang merosot ini menurunkan konsumsi yang akhirnya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.
”Ketika pertumbuhan ekonomi ini tidak bisa dipacu, kita sulit menciptakan lapangan kerja sehingga kita jadi sulit mengurangi pengangguran dan mengentaskan rakyat miskin. Inflasi ini penting untuk menjaga iklim investasi dan konsumsi untuk mendorong kesejahteraan masyarakat,” ujar Piter.
Piter juga sepakat bahwa koordinasi dan sinergi antarpihak perlu terus dilakukan untuk terus mengendalikan inflasi pangan. ”Koordinasi itu, seperti jumlah pasokan, kapan jadwal tanam serta panen, sangat membantu mencegah kelangkaan barang yang bisa memicu kenaikan harga,” ujar Piter.
Dia juga menyarankan pemerintah untuk terus mempertahankan subsidi energi agar tidak terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan komoditas energi lainnya. Sebab, apabila harga komoditas ini naik, bisa memicu efek domino kenaikan harga dari produsen ke konsumen. Perkiraannya, bila harga komoditas energi ini naik, inflasi Indonesia bisa lepas ke level 8 persen.