Optimalisasi pemanfaatan energi terbarukan, termasuk adopsi kendaraan listrik, menjadi opsi penghematan subsidi energi dari fosil. Komitmen kuat pemerintah dinantikan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi opsi yang perlu diambil pemerintah seiring pengurangan anggaran subsidi energi mulai tahun depan. Pengembangan energi terbarukan yang bisa menghemat subsidi energi tersebut harus diikuti dengan terobosan peraturan hingga menyiapkan industri manufaktur yang mendukung pengembangan fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, porsi energi terbarukan pada 2021 mencapai 11,5 persen dalam bauran energi nasional. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 1.730 megawatt (MW), dengan kenaikan rata-rata 4,3 persen per tahun. Kapasitas terpasang hingga akhir tahun 2021 mencapai 654,76 MW dari target 854,78 MW. Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan mencapai 23 persen.
”Di tingkat Asia Tenggara, porsi energi terbarukan Thailand dan Vietnam mengalami pertumbuhan yang eksponensial. Dalam empat-lima tahun terakhir, pertumbuhannya mencapai delapan kali lipat. Sementara kondisi Indonesia relatif stabil,” ujar Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya dalam webinar ”Merdeka dari Energi Fosil”, Kamis (18/8/2022), di Jakarta.
Berly menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan porsi energi terbarukan di Indonesia belum tumbuh pesat. Sebagai contoh, feed in tariff (patokan pembelian tenaga listrik berdasar biaya produksi) energi terbarukan rendah. Jika pertumbuhannya ingin dipercepat, harga feed in tariff energi terbarukan harus ditingkatkan atau dibuat sama dengan energi fosil.
Dari sisi kelistrikan, imbuh Berly, pemerintah tidak bisa serta-merta meminta badan usaha, seperti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), melakukan sendiri percepatan adopsi pembangkit listrik energi terbarukan. Pemerintah perlu mendukung dari sisi pendanaan proyek.
”Lalu, pemerintah harus memikirkan kembali skema distribusi listrik jika porsi energi terbarukan didorong tumbuh signifikan. Skema distribusinya sebaiknya tidak harus terpusat pada PLN,” kata Berly.
Pensiun dini PLTU
Analis Climate Policy Initiative, Albertus Prabu Siagian, menambahkan, pengurangan subsidi energi fosil akan membuat masyarakat mempunyai dorongan untuk melakukan efisiensi energi. Selain itu, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 443.000 MW.
PLN juga harus memiliki strategi untuk mendorong kendaraan listrik lebih banyak diadopsi oleh masyarakat lewat pembangunan infrastruktur pendukung, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum.
”Kondisi seperti itu semestinya menjadi pertimbangan utama untuk percepatan pemanfaatan energi terbarukan. Lalu, industri manufaktur untuk fasilitas pengembangan energi terbarukan juga semestinya segera disiapkan,” ucap Albertus.
Sebagai badan usaha, menurut Albertus, PLN juga harus memiliki strategi untuk mendorong kendaraan listrik lebih banyak diadopsi oleh masyarakat lewat pembangunan infrastruktur pendukung, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum. Selama permintaan listrik terkelola dengan baik, Albertus meyakini masa depan PLN tidak akan suram.
Pandangan senada disampaikan Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari. Untuk mendorong percepatan adopsi energi terbarukan, komitmen menghentikan lebih dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batubara harus direalisasikan.
”Kami rasa, untuk percepatan adopsi energi terbarukan, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang tegas. Komitmen pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap perlu serius dijalankan,” kata Adila.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi tahun 2023 sebesar Rp 336,7 triliun. Nilai ini turun 33,07 persen dari anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 yang mencapai Rp 502 triliun. Pengurangan anggaran tersebut bagian dari upaya mencapai target defisit fiskal di bawah 3 persen tahun depan (Kompas, 18/8/2022).
”Total nilai dalam RAPBN 2023 tersebut terdiri dari alokasi subsidi energi Rp 210,7 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 126 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 yang dilakukan secara virtual, Selasa (16/8) sore.
Meski anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun depan menurun, Sri Mulyani menilai, anggaran yang digelontarkan masih cukup tinggi. Oleh karena itu, dia meminta konsumsi bahan bakar minyak jenis pertalite ataupun biosolar dikendalikan dan disalurkan sesuai target sasaran agar anggarannya tidak jebol, tak hanya untuk tahun depan, tetapi juga untuk tahun ini.