Konsumsi pertalite dan biosolar tahun ini diperkirakan melampaui kuota. Dampaknya, anggaran subsidi berpotensi membengkak dan keuangan negara bakal tertekan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian konsumsi bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi amat mendesak diterapkan. Apabila konsumsi melampaui kuota, APBN bakal tertekan lantaran menanggung pembengkakan subsidi. Pemerintah didesak segera bertindak dengan mengeluarkan regulasi terkait pengendalian konsumsi tersebut.
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (12/8/2022), berpendapat, inti masalah di balik lonjakan subsidi energi adalah konsumsi. Untuk BBM bersubsidi, terdapat risiko kelebihan kuota pada biosolar sebesar 15 persen dan pertalite 24 persen. Risiko ini tetap terjadi meskipun pemerintah menaikkan anggaran kompensasi dan subsidi energi, serta harga bahan baku sedang turun.
”Sampai sekarang, belum ada regulasi yang bisa dijadikan dasar hukum untuk membatasi BBM bersubsidi. Solar bersubsidi (biosolar), yang secara ketentuan melarang industri besar menggunakannya, tetap saja berpotensi bocor. Mendorong pengendalian Pertamina mengendalikan (konsumsi BBM) juga tidak bisa karena dia adalah badan usaha,” ujar Abra.
Sementara itu, Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, ada dua opsi yang bisa diambil pemerintah. Pertama, pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi. BBM bersubsidi hanya boleh dipakai oleh kendaraan umum dan roda dua. Pemerintah perlu segera menyusun dasar hukumnya untuk memperjelas kebijakan.
Opsi kedua adalah pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi besaran kenaikannya masih bisa diterima. Misalnya, persentase kenaikannya 30 persen dari harga seharusnya. ”Harga minyak mentah di pasar internasional memang sedang turun. Akan tetapi, proyeksi kami masih tetap tinggi. ICP masih akan berkisar 90 dollar AS per barel,” tuturnya.
Dalam konferensi pers APBN Kita pada Kamis (11/8/2022) petang, Kementerian Keuangan mewaspadai potensi naiknya konsumsi BBM sampai akhir tahun sehingga diharapkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) atau PT Pertamina (Persero) menerapkan kebijakan yang mampu mengendalikan konsumsi.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, saat pemerintah meminta persetujuan kenaikan anggaran subsidi ke Badan Anggaran DPR, pemerintah telah menggunakan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) 100 dollar AS per barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.450 per dollar AS. Ini juga diikuti dengan perkiraan konsumsi biosolar 15,1 juta kiloliter dan sekitar 23 juta kiloliter pertalite.
Kementerian Keuangan mewaspadai potensi naiknya konsumsi BBM sampai akhir tahun sehingga diharapkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) atau PT Pertamina (Persero) menerapkan kebijakan yang mampu mengendalikan konsumsi.
”ICP dan kurs itu naik turun. ICP saat ini sedang turun, tetapi tetap punya potensi naik. Hal yang justru kita harus waspadai adalah volume konsumsi yang memang sudah sekitar 15,1 juta kiloliter untuk solar dan sekitar 23 juta kiloliter untuk pertalite. Kita harus mengelola volume konsumsinya dengan baik sehingga kita meminta BPH Migas ataupun Pertamina menerapkan kebijakan yang bisa mengendalikan konsumsi,” kata Isa.
Isa menambahkan, pihaknya tetap mencermati pergerakan ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pihaknya berharap agar ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak naik kembali sampai akhir tahun sehingga mampu menetralkan efek volume konsumsi BBM bersubsidi yang cenderung akan naik dari perkiraan pemerintah atau melampaui kuota.
Subsidi meningkat
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran kompensasi BBM dan listrik bersubsidi kepada Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun ini telah mencapai Rp 293,5 triliun. Angka tersebut melonjak tinggi dibanding tahun lalu yang sekitar Rp 48 triliun. Kompensasi adalah belanja negara atas selisih harga jual BBM dan tarif listrik ke konsumen dengan harga keekonomian.
”Pemerintah telah menahan guncangan harga energi yang sangat tinggi di global. Inilah yang menyebabkan belanja subsidi naik 162 persen hanya dalam satu semester. Anggaran kompensasi masih ada sekitar Rp 189 triliun yang akan dicairkan pada semester II-2022,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga menyoroti kemampuan produksi minyak mentah dalam negeri yang rendah. Dari target APBN 2022 yang sebanyak 703.000 barel per hari, kemampuan produksi sejauh ini di kisaran 596.000 barel per hari. ”(Rendahnya produksi minyak dalam negeri) ini yang patut diwaspadai,” ucapnya.
Berdasarkan data Pertamina, harga keekonomian pertalite Rp 12.500 per liter, sementara harga jualnya ke masyarakat Rp 7.650 per liter. Adapun biosolar yang dijual Rp 5.150 per liter, harga keekonomiannya Rp 12.000 per liter.