Belum Efektifnya Penyaluran BBM Bersubsidi Perlu Solusi
Payung hukum pengendalian penyaluran BBM bersubsidi masih menunggu terbitnya revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Pengendalian BBM bersubsidi diperlukan agar beban APBN tidak meningkat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum efektifnya penyaluran bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi menjadi tantangan yang belum terselesaikan dan membutuhkan solusi. Kuota BBM bersubsidi tahun ini, yakni pertalite dan biosolar, diperkirakan jebol lantaran tingginya konsumsi di masyarakat.
Berdasarkan data PT Pertamina Patra Niaga per Juli 2022, untuk pertalite, telah tersalurkan 16,8 juta kiloliter (kl) dari kuota 23 juta kl (73,04 persen). Sementara solar bersubsidi (biosolar) telah tersalurkan 9,9 juta kl dari kuota 14,9 juta kl (66,44 persen). Artinya, dalam lima bulan tersisa, kuota pertalite tinggal 6,2 juta kl dan kuota solar bersubsidi tinggal 5 juta kl.
Di sisi lain, pengendalian BBM bersubsdi belum dilakukan karena masih menunggu terbitnya payung hukum berupa peraturan presiden. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan pertalite sebagai jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) yang disubsidi menggantikan premium yang dihapus dari pasaran. Namun, belum ada pembatasan untuk penggunaan pertalite.
”Yang menjadi permasalahan saat ini adalah ketidakefektifan subsidi, sedangkan kalau kita lihat, kebijakan subsidi ini setengah-setengah. Aplikasi (pendataan konsumen BBM bersubsidi) juga tidak begitu efektif. Harusnya ada kebijakan bersifat spasial,” kata dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, saat dihubungi, Rabu (17/8/2022).
Yayan mengusulkan agar penyaluran pertalite (RON 90) ditempatkan di daerah pinggiran kota atau perdesaan. Sementara di perkotaan minimal disediakan pertamax (RON 92). Dengan demikian, secara psikologis, warga di perkotaan enggan jika harus pergi jauh demi mendapatkan jenis BBM yang lebih murah. Di sisi lain, juga perlu penyesuaian harga pertalite yang saat ini Rp 7.650 per liter atau masih di bawah harga keekonomian.
”Orang pasti akan membeli yang lebih murah. Maka, jika yang lebih murah sulit didapat (jauh dari kota), pasti akan bergeser ke pertamax. Orang-orang di kota umumnya tergolong sudah mampu (untuk membeli BBM nonsubsidi). Pendekatan ini akan lebih efektif ketimbang aplikasi atau seperti yang berlangsung kini,” ujar Yayan.
Ia juga mendorong agar pemerintah menggencarkan pemanfaatan kendaraan berbasis listrik ataupun memperbaiki sarana transportasi publik. Artinya, subsidi untuk BBM dapat dikurangi dan dialihkan pada sektor-sektor tersebut. Di sisi lain, masyarakat perlu dipahamkan bahwa harga energi tidaklah murah.
Sejak 1 Juli 2022, Pertamina melakukan pendataan kendaraan roda empat sebagai persiapan pembatasan BBM bersubsidi sambil menunggu regulasi yang mengaturnya. Nantinya, untuk mengisi pertalite ataupun biosolar, petugas SPBU akan memindai kode batang (barcode) data kendaraan. Apabila tidak memenuhi kriteria, BBM tidak akan keluar dari nozzle (ujung selang di SPBU).
Pendataan tersebut sebagai upaya agar penyaluran BBM bersubsidi lebih tepat sasaran. Pasalnya, menurut data Pertamina, oang-orang yang mampu atau 60 persen teratas (kaya) menikmati hampir 80 persen dari total BBM bersubsidi. Sementara masyarakat miskin dan rentan atau 40 persen terbawah hanya menikmati 20 persen.
”Per Selasa (16/8/2022), sudah 650.000 kendaraan yang didaftarkan,” ujar Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting.
Saat dikonfirmasi apakah pemindaian barcode akan langsung diterapkan pada semua kendaraan roda empat jika peraturan presiden yang mengatur pembatasan konsumsi pertalite terbit, Irto mengatakan, hal tersebut masih dalam pembahasan dengan pemerintah.
Sebelumnya, akhir Juli 2022, anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Saleh Abdurrahman mengemukakan, setelah regulasi pengaturan BBM bersubsidi terbit, akan diikuti sosialisasi, baru kemudian implementasi. Terkait kriteria pengguna pertalite, opsi pertama ialah mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.500 cc. Opsi kedua, di bawah 2.000 cc. Sementara sepeda motor yang masih boleh menggunakan pertalite ialah mesin berkapasitas di bawah 250 cc.
Belum akurat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (16/8/2022), mengatakan, anggaran yang digelontarkan untuk subsidi dan kompensasi energi tahun 2023 sebesar Rp 336,7 triliun (subsidi energi Rp 210,7 triliun dan kompensasi energi Rp 126 triliun). Nilai itu turun 33,07 persen dari anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 yang mencapai Rp 502 triliun (Kompas.id, 17/8).
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rofik Hananto, menilai wajar jika pemerintah tetap memberi subsidi dan kompensasi terkait energi pada 2023. ”Untuk mengantisipasi fluktuasi harga energi yang akan meningkat di tahun 2023 seiring peningkatan permintaan energi karena pulihnya ekonomi dunia,” kata Rofik dikutip dari laman DPR RI, Rabu.
Di sisi lain, dengan adanya bantalan dari APBN tersebut, Rofik menilai memang tak seharusnya pemerintah menaikkan harga BBM. ”Apalagi, kondisi saat ini harga minyak mentah di pasar dunia sudah mulai turun, sekitar 90 dollar AS per barel. Terjadi penurunan sebesar 30 persen selama dua bulan terakhir,” ujarnya.