Biaya Produksi Terus Naik, Waspadai Inflasi Lebih Tinggi
Pada satu titik, harga produk jadi di pasaran akan terus naik seiring dengan semakin tingginya beban biaya produksi yang harus ditanggung produsen. Inflasi produsen tertinggi terjadi di sektor makanan minuman.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inflasi di tingkat produsen tercatat sudah melampaui inflasi konsumen yang pada Juli 2022 ini menyentuh 4,94 persen secara tahunan. Beban biaya produksi yang meningkat itu berpotensi mendorong kenaikan harga produk jadi di pasaran dalam waktu dekat dan dapat semakin mendorong kenaikan inflasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indeks Harga Produsen (IHP) gabungan tiga sektor, yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan pada triwulan II-2022 adalah sebesar 165,80, naik dari IHP triwulan II-2021 sebesar 148,34.
Dengan kata lain, inflasi di tingkat produsen pada triwulan II-2022 secara tahunan kini sudah mencapai 11,77 persen, jauh melampui inflasi di tingkat konsumen yang pada Juli 2022 mencapai 4,94 persen.
Inflasi produsen tertinggi terdapat di sektor makanan dan minuman, yaitu industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buah, sayuran, minyak dan lemak, yakni 10,16 persen secara tahunan. Selain itu, industri kertas, barang dari kertas dan cetakan (9,29 persen), industri pengilangan minyak bumi dan gas (8,55 persen), industri pupuk (7,41 persen), dan industri logam dasar (6,97 persen).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman, Minggu (14/8/2022), mengatakan, saat ini, beberapa produsen sudah mulai menaikkan harga produk jadi di pasaran karena tidak kuat menahan kenaikan biaya produksi yang sudah terjadi sejak pandemi Covid-19.
Contohnya, harga mi instan, yang beberapa waktu lalu sempat ramai dibicarakan akibat pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahwa harga mi instan akan naik tiga kali lipat seiring dengan naiknya harga gandum dunia. ”Tidak sampai tiga kali lipat, tetapi memang sudah naik. Produsen masih berupaya agar harganya tidak naik terlalu tinggi dengan cara menekan untung,” kata Adhi.
Menurut data Kementerian Perdagangan berdasarkan pantauan harga di 216 pasar rakyat di 90 kabupaten/kota di 34 provinsi, harga mi instan merek Indomie rasa kari ayam per Agustus 2022 adalah Rp 2.916 per kemasan, naik 8,3 persen secara tahunan dari Rp 2.692 per kemasan pada Agustus 2021.
Tahun depan
Meski demikian, Adhi menegaskan, produsen tidak bisa berlama-lama menahan kenaikan harga produk jadi di tengah kenaikan biaya produksi yang terimbas ketidakpastian kondisi ekonomi global. Terlebih, produsen makanan dan minuman dari skala kecil dan menengah (IKM). Pada satu titik, harga produk jadi di pasaran akan meningkat seiring dengan tingginya beban biaya produksi yang ditanggung produsen.
”Perkiraan saya, kalau sampai tahun depan kondisi perekonomian masih seperti ini, tentu perusahaan tidak bisa berlama-lama menahan untung,” ujarnya
Produsen tidak bisa berlama-lama menahan kenaikan harga produk jadi di tengah kenaikan biaya produksi yang terimbas ketidakpastian kondisi ekonomi global.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan, biaya produksi sebenarnya sudah melejit sejak rantai pasok terganggu akibat pandemi Covid-19. Dengan adanya ketidakpastian perekonomian global akibat ketegangan geopolitik di berbagai poros saat ini, biaya produksi naik semakin tinggi.
Apalagi, industri alas kaki di Indonesia masih cukup bergantung pada bahan baku impor. ”Harga barang sudah pasti naik. Sekarang juga mulai naik. Variasinya macam-macam, ada yang naik 10 persen, ada yang lebih, tergantung penggunaan bahan baku impornya,” tutur Firman.
Menurut dia, produsen tidak bisa terus-menerus ”berpuasa” menahan kenaikan harga setelah dua tahun terakhir harus mentolerir kenaikan biaya input akibat dampak pandemi. Jika hal itu dilakukan, arus kas perusahaan akan terganggu, investasi baru terhambat, dan tidak ada penambahan tenaga kerja. ”Akan sulit kalau dalam kondisi sekarang kita harus terus mempertahankan harga,” ucapnya.
Insentif
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, kenaikan harga produk jadi manufaktur akan berdampak pada kenaikan inflasi yang lebih tinggi di tingkat konsumen.
Berdasarkan analisis CORE, inflasi pada akhir tahun 2022 adalah 5-6 persen, dengan catatan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak naik serta produsen tidak mentransmisikan biaya produksi sepenuhnya ke konsumen. ”Kalau beban produksi semua ditransmisikan dalam bentuk harga barang jadi yang lebih tinggi di konsumen, inflasi di akhir tahun ini bisa-bisa lebih tinggi dari 6 persen,” ujarnya.
Untuk mencegah hal tersebut, dunia industri memerlukan insentif tertentu di komponen biaya input lain yang bisa menyeimbangkan tingginya kenaikan biaya produksi. ”Misalnya, kalau harga input bahan baku sudah tinggi, pemerintah bisa membantu dari sisi biaya energi yang digunakan industri,” kata Faisal.
Menurut Adhi, ada dua bentuk dukungan yang dibutuhkan sektor makanan dan minuman. Pertama, insentif fiskal berupa penurunan bea masuk bahan baku impor dan keringanan pajak. Kedua, jaminan bahan baku alternatif dari industri lokal.
Seperti dalam konteks diversifikasi bahan baku gandum, pemerintah tidak bisa hanya sekadar menginstruksikan petani untuk menanam sorgum dan industri untuk menyerapnya sebagai bahan baku pengganti, tanpa mengiringinya dengan program strategis.
”Harus dikawal, bagaimana bentuk dukungannya terhadap petani di hulu? Dari benih, pupuk, jaminan asuransi tanam, sampai kerja sama dengan industri untuk menjadi off-taker. Harganya juga harus dijaga agar tidak terlalu mahal,” tutur Adhi.
Sementara itu, Firman menilai, di tengah krisis seperti ini, pemerintah seharusnya bisa melonggarkan aturan impor bahan baku untuk industri alas kaki. ”Kita perlu menerapkan smart protection, artinya proteksinya diseleksi secara ketat. Misalnya, meringankan bea masuk impor bahan baku,” katanya.