Pembangunan ekonomi hijau menuntut ketersediaan SDM yang kompeten di bidang energi hijau. Akan ada serapan tenaga kerja 1,8 juta orang sampai 2030 nanti.
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas sumber daya manusia atau SDM dan penguasaan teknologi masih menjadi tantangan dalam program pembangunan ekonomi hijau di Indonesia. Pelaku industri juga membutuhkan dukungan fiskal dan nonfiskal dari pemerintah dalam hal penggunaan energi bersih.
Menurut Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam, target serapan tenaga kerja baru sebanyak 1,8 juta orang hingga 2030 membutuhkan kompetensi tertentu, khususnya di sektor industri energi terbarukan. ”Selain tantangan kapasitas SDM dan penguasaan teknologi, ada hal lain yang tak kalah penting, yaitu investasi,” ujarnya, Senin (8/8/2022), di Jakarta.
Kompetensi SDM yang berdaya saing dan produktivitas ekonomi, lanjut Medrilzam, menjadi salah satu bagian transformasi ekonomi menuju pembangunan ekonomi hijau. Apabila Indonesia tidak bersiap diri bertransformasi ke arah ekonomi hijau, sektor perdagangan bakal terdampak oleh trade barrier atau hambatan perdagangan. Pasalnya, sejumlah negara mulai menerapkan persyaratan hijau pada komoditas yang diperdagangkan, seperti penggunaan energi bersih di bagian produksi.
Untuk mendukung terwujudnya industri hijau, Deputi Bidang Promosi dan Penanaman Modal Kementerian Investasi Nurul Ichwan menambahkan, pemerintah harus siap memberikan dukungan, salah satunya dengan memasok energi bersih untuk listrik industri. Strategi itu sudah disiapkan kendati realisasinya tak mudah, khususnya terkait dana.
Apalagi, ketergantungan Indonesia terhadap komoditas batubara juga masih tinggi. Selain untuk memasok konsumsi listrik dalam negeri, juga sebagai sumber pemasukan utama negara. Menurut Nurul, hal itu harus segera diatasi pemerintah melalui komunikasi lintas kementerian yang intensif untuk menyusun strategi.
”Kalau kita gagal memberikan energi bersih bagi industri, akan memunculkan kegagalan ekonomi luar biasa. Investment is driven by market. Kita tidak bisa apa-apa kalau market menolak barang kita meski semurah apa pun karena barangnya tidak hijau,” kata Nurul.
Insentif
Salah satu tantangan pemanfaatan energi bersih di Indonesia adalah membuat harganya kompetitif jika dibandingkan dengan energi fosil. Ini membutuhkan dukungan regulasi.
Terkait dengan hal itu, menurut Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah, dibutuhkan, antara lain, insentif fiskal dan nonfiskal pada penggunaan energi hijau. Proses penggunaan di tingkat konsumen juga mesti dipermudah. ”Dari sisi perencanaan dan target penggunaan energi hijau ada kemajuan. Namun, dalam membuat turunan kebijakan dan komitmen harus lebih serius,” katanya.
Salah satu tantangan pemanfaatan energi bersih di Indonesia adalah membuat harganya kompetitif jika dibandingkan dengan energi fosil. Ini membutuhkan dukungan regulasi.
Alin menambahkan, transisi ke energi terbarukan juga akan berdampak pada perubahan struktur ekonomi. Prosesnya penting selalu dipantau untuk mengetahui proporsi sektor yang bergeser, termasuk dalam penyediaan teknologi dan sumber daya manusia.
Hal senada disampaikan Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Muhammad Yusrizki. Menurut dia, dukungan pemerintah berupa regulasi, infrastruktur, dan insentif amat dibutuhkan. Misalnya, untuk mengurangi konsumsi listrik dari energi fosil, swasta butuh dukungan regulasi untuk membeli listrik rendah karbon tanpa menunggu terwujudnya jaringan listrik berbasis energi terbarukan yang dioperasikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
”Tetapi, kendala eksternal ini tidak bisa diatasi kalau kita sebagai komunitas dunia usaha tidak punya komitmen yang sama,” ucap Yusrizki.