Meski harga komoditas mulai mengalami penurunan dalam sepekan terakhir, pemerintah tetap optimistis mencapai target PNBP yang ditetapkan pada APBN 2022 mengingat kinerja dan aktivitas ekonomi domestik mulai pulih.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan negara bukan pajak pada paruh pertama tahun 2022 mengalami pertumbuhan positif, ditopang oleh adanya ”durian runtuh” dari kenaikan harga komoditas. Kendati demikian, pemerintah perlu menggali potensi penerimaan bukan pajak lainnya mengingat saat ini tren kenaikan harga komoditas global telah berbalik turun.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga akhir Juni 2022 telah mencapai Rp 281 triliun. Capaian ini tumbuh 35,5 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 207 triliun.
Realisasi PNBP semester I-2022 telah mencapai 58,3 persen dari target yang ditetapkan pada Peraturan Presiden (Perpres) No 98/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2022 sebesar Rp 481,6 triliun.
Faktor tingginya harga komoditas tentu memengaruhi baik di PNBP, kepabeanan dan cukai, maupun di pajak.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengakui bahwa pertumbuhan PNBP secara tahunan pada semester I-2022 ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Di samping itu, pemulihan ekonomi yang turut membaik juga memberikan dampak terhadap pendapatan negara.
”Faktor tingginya harga komoditas tentu memengaruhi baik di PNBP, kepabeanan dan cukai, maupun di pajak,” ujar Isa dalam pertemuan dengan awak media di Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Meski harga komoditas mulai mengalami penurunan dalam sepekan terakhir, Isa tetap optimistis akan mencapai target yang ditetapkan pada APBN 2022 mengingat kinerja dan aktivitas ekonomi domestik mulai pulih. Pemulihan ekonomi domestik tecermin dari sejumlah sektor di dalam PNBP.
Realisasi PNBP sumber daya alam pada semester I-2022 mencapai Rp 114,6 triliun, yang meliputi PNBP sumber daya alam migas sebesar Rp 74,6 triliun, atau tumbuh 86,8 persen secara tahunan jika dibandingkan pada periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp 39,3 triliun. Realisasi tersebut meliputi minyak bumi sebesar Rp 66,1 triliun dan gas bumi sebesar Rp 8,4 triliun.
Sementara itu, pada PNBP sumber daya alam non-migas juga mengalami kenaikan signifikan sebesar Rp 40 triliun, atau tumbuh 101,8 persen jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama pada tahun lalu yang hanya mencapai Rp 19,8 triliun.
Lebih rinci, PNBP sumber daya alam non-migas terdiri dari pendapatan pertambangan minerba dengan realisasi Rp 36,3 triliun, pendapatan kehutanan (Rp 2,2 triliun), pendapatan panas bumi (Rp 900 miliar), dan pendapatan perikanan (Rp 600 miliar).
Pendapatan perikanan, lanjut Isa, dinilai cukup signifikan karena dapat tumbuh 111,8 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2021 yang hanya mencapai Rp 300 miliar. ”Pencapaian di sektor perikanan ini dan 36,3 persen dari target Rp 1,7 triliun yang kita harapkan di tahun ini. Sektor perikanan saat ini terus melakukan pembenahan,” ujar Isa.
Di luar itu, untuk Pendapatan Kekayaan Negara Dipisahkan (KND), pada semester I-2022 telah terkumpul Rp 35,5 triliun atau 95,7 persen dari target yang sebesar Rp 37,1 triliun. Realisasi didorong oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah melakukan pembayaran dividen di semester I-2022.
Sementara untuk PNBP lainnya telah terkumpul Rp 85,1 triliun atau telah mencapai 75,8 persen dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah. PNBP lainnya terdiri dari pendapatan penjualan hasil tambang sebesar Rp 28,7 triliun, pendapatan minyak mentah (DMO) sebesar Rp 2,7 triliun, serta pendapatan PNBP kementerian/lembaga sebesar Rp 53,7 triliun.
Penurunan hanya terjadi pada pendapatan badan layanan umum (BLU) tercatat hanya sebesar Rp 45,8 triliun. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2021 di periode yang sama sebesar Rp 60,3 triliun.
Rentan
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy melihat, potensi naiknya harga komoditas di tahun 2023 sangat kecil. Ini berdasarkan asumsi kondisi geopolitik dan perekonomian global yang menuju pemulihan dibandingkan tahun ini.
Ia mengakui, saat ini penerimaan negara dari komoditas memang masih menjadi salah satu penopang utama, baik itu penerimaan pajak maupun penerimaan nonpajak. Kendati demikian, bergantungnya penerimaan negara pada komoditas dinilai sangat rentan.
”Rentan yang dimaksud penerimaan negara memang bisa meningkat tiba-tiba ketika harga komoditas mengalami kenaikan, tetapi di saat yang bersamaan harga komoditas bisa turun dan akhirnya berdampak pada lebih rendahnya penerimaan negara,” kata Yusuf.
Selain itu, siklus kenaikan harga komoditas juga tidak menentu, dipengaruhi oleh beragam faktor, termasuk di dalamnya ketersediaan supply dari komoditas tersebut dan juga peningkatan ataupun permintaan dari komoditas tersebut.
Dengan demikian, agar penerimaan negara tidak bergantung pada ekspor komoditas, pemerintah disarankan untuk mengubah struktur perekonomian yang didasarkan atas komoditas menjadi nonkomoditas meskipun prosesnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
”Struktur yang dimaksud artinya, perekonomian tidak ditopang sepenuhnya oleh komoditas mentah, tetapi juga didorong oleh produk-produk yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi,” ujarnya.
Tunggakan
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 112 perusahaan pertambangan yang sempat melakukan penunggakan pembayaran atas pemanfaatan kawasan hutan (PKH) dengan potensi penerimaan mencapai Rp 1 triliun. Atas kondisi ini potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) menjadi lebih rendah.
”Terdapat 112 perusahaan yang masih aktif melakukan produksi, bayar royalti terus, tetapi menunggak iuran PKH,” kata Direktur PNBP Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Kurnia Chairi.
Terungkapnya data tersebut, lanjut Kurnia, merupakan hasil dari kerja sama pertukaran informasi terkait kewajiban setoran perusahaan ke negara antar-sejumlah kementerian. Adapun total potensi penerimaan negara yang belum dibayarkan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencapai Rp 3 triliun. ”Kemenkeu dan KLHK masih terus mengidentifikasi pihak mana saja yang belum membayar iuran kepada negara,” kata Kurnia.