Penerimaan Negara Masih Terkerek Kenaikan Harga Komoditas Global
Proyeksi penerimaan perpajakan yang tumbuh mencapai 15,3 persen dari tahun sebelumnya melampaui situasi sebelum pandemi Covid-19. Pada 2017-2019 rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan sebesar 6,5 persen.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah optimistis penerimaan perpajakan di sepanjang tahun 2022 dapat melampaui target yang sudah dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2022. Optimisme terbangun di tengah ketidakpastian yang meliputi dunia, penerimaan Indonesia diyakini tetap akan terkerek oleh tren kenaikan harga komoditas global.
Dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI, Senin (13/6/2022), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu memaparkan, penerimaan perpajakan tahun ini mampu tumbuh 15,3 persen dibandingkan realisasi tahun lalu, mencapai Rp 1.784 triliun. Penerimaan ini meliputi penerimaan bea dan cukai sebesar Rp 299 triliun serta penerimaan pajak sebesar Rp 1.485 triliun.
Adapun target penerimaan perpajakan yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam 2022 tercatat hanya sebesar Rp 1.506,9 triliun.
”Proyeksi penerimaan perpajakan yang tumbuh mencapai 15,3 persen dari tahun sebelumnya melampaui situasi sebelum pandemi yang rata-rata pertumbuhannya sebesar 6,5 persen sepanjang 2017-2019. Untuk tahun ini, Indonesia masih menikmati harga komoditas global yang sangat tinggi sehingga bisa terdampak dalam penerimaan,” ujarnya.
Proyeksi penerimaan perpajakan yang tumbuh mencapai 15,3 persen dari tahun sebelumnya melampaui situasi sebelum pandemi yang rata-rata pertumbuhannya sebesar 6,5 persen sepanjang 2017-2019.
Meski demikian, pemerintah tetap berhati-hati dengan ketidakpastian yang terjadi di seluruh dunia, baik dalam kebijakan moneter maupun sistem perdagangan global. Kunci dari dapat terpenuhinya target penerimaan perpajakan, lanjut Febrio, adalah kebijakan yang tepat dalam mengatur kebijakan perdagangan ekspor ataupun pasokan untuk kebutuhan dalam negeri.
”Indonesia walaupun sempat harus melarang ekspor beberapa komoditas, kami berhasil menjaga suplai dalam negeri dan saat ini sudah lepas lagi ekspor. Di banyak negara, praktik ini sangat lumrah,” kata Febrio.
Pada tahun lalu, kondisi ekonomi mulai membaik sejalan dengan kasus Covid-19 yang terkendali dan terakselerasinya vaksinasi pada 2021 sehingga pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 20,4 persen.
Lonjakan pertumbuhan penerimaan perpajakan pada tahun lalu dikatrol oleh anjloknya penerimaan di tahun pertama pandemi yang terkontraksi hingga negatif 16,9 persen. Kontraksi penerimaan perpajakan yang terjadi pada 2020 disebabkan adanya kebutuhan gelontoran insentif fiskal untuk membantu dunia usaha dalam mengatasi krisis pandemi Covid-19.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengakui bahwa saat ini penerimaan negara dari komoditas memang masih menjadi salah satu penopang utama penerimaan negara. Namun, ia mengingatkan bahwa penerimaan akan rentan bila hanya bergantung pada lonjakan harga komoditas yang terjadi secara musiman.
Penerimaan akan rentan bila hanya bergantung pada lonjakan harga komoditas yang terjadi secara musiman.
Siklus kenaikan harga komoditas, lanjutnya, tidak menentu karena dipengaruhi oleh beragam faktor. Salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan dari komoditas tersebut dan juga peningkatan ataupun penurunan permintaan dari komoditas tersebut.
Agar tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas, pemerintah disarankan untuk mengubah struktur perekonomian yang didasarkan atas komoditas menjadi nonkomoditas.
”Meskipun prosesnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar, perekonomian Indonesia akan lebih kokoh bila ditopang oleh produk yang bernilai tambah lebih tinggi. Dengan begitu, saat harga komoditas global turun, dampaknya terhadap rendahnya penerimaan negara tidak signifikan,” ujarnya.
Yusuf mencontohkan, pemerintah bisa mengembangkan industri manufaktur. Menurut dia, dengan berkembangnya industri manufaktur, selain perekonomian akan tumbuh lebih tinggi, juga akan memberikan dampak yang lebih baik terhadap penerimaan negara, baik itu pajak maupun nonpajak. Dalam jangka pendek, pemerintah bisa mendorong penerimaan negara dengan melakukan ekstensifikasi ataupun intensifikasi penerimaan pajak.
Proyeksi diperlebar
Kementerian Keuangan juga memperlebar proyeksi rasio pajak (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2023. Sebelumnya telah ditentukan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2023, rasio pajak diproyeksikan sebesar 9,3 persen-9,59 persen, kini menjadi 9,3 persen-10 persen.
Febrio Kacaribu mengatakan, melebarnya proyeksi rasio pajak terhadap PDB merupakan cerminan ketidakpastian yang masih tinggi. Batas bawah sebesar 9,3 persen mencerminkan ketidakpastian yang membayangi perekonomian pada tahun depan. Sementara batas atas yang ditetapkan sebesar 10 persen mencerminkan implementasi dari Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) dan optimisme pemulihan ekonomi yang semakin membaik.
Melebarnya proyeksi rasio pajak terhadap PDB merupakan cerminan ketidakpastian yang masih tinggi.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Amir Uskara mengatakan, berdasarkan pembahasan dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Panitia Kerja (Panja) Penerimaan Negara Komisi XI DPR menilai terdapat potensi kenaikan penerimaan pajak pada 2023. Selain adanya tren kenaikan harga komoditas global, membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri juga mendorong penerimaan perpajakan.
”Panja memproyeksikan penerimaan pajak di kisaran Rp1.978 triliun dapat membuat rasio perpajakan mencapai kisaran 9,76 persen atau mencapai posisi sebelum pandemi pada 2019,” kata Amir.