Hilirisasi industri sudah dimulai dan semestinya dilanjutkan. Namun, perlu juga ada pembenahan supaya hasilnya optimal.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengoptimalkan hilirisasi industri yang sudah dimulai pemerintah menjadi penting. Selain memperbaiki ekosistem bisnisnya, beberapa komoditas juga perlu mendapatkan nilai tambah untuk menghilangkan ketergantungan kepada negara lain.
Ekonom senior Indef, Drajad Wibowo, menilai perlu ada optimalisasi hilirisasi industri yang sudah dilakukan. ”Pertama, kita perlu memperbaiki ekosistem bisnis agar sisi pemerataan dari hilirisasi bisa maksimal. Pelaku usaha menengah dan kecil yang mendapat nilai tambah dari hilirisasi perlu diperbanyak,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Kamis (4/8/2022).
Kedua, tak hanya di komoditas sektor pertambangan, Drajad menyebutkan, hilirisasi agroindustri juga perlu digenjot. ”Sawit contohnya, banyak dikerjakan di Amerika Utara dan Uni Eropa. Jadi harus hilirisasi,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah diminta memerhatikan hilirisasi sektor minyak dan gas. Hal ini dinilai perlu karena selama puluhan tahun Indonesia bergantung pada Singapura yang sesungguhnya tidak memiliki sumber minyak. Saat ini, industri hilir migas Indonesia masih tertinggal.
Rabu (3/8/2022), Presiden Joko Widodo bertemu dengan para ahli ekonomi di Istana Negara, Jakarta. Hadir antara lain ekonom senior Core Hendri Saparini, Aviliani dan Esther Sri Astuti dari Indef, Prof Nunung Nuryantono Dekan Fakultas Ekonomi Manajemen IPB University, Prof Agustinus Prasetyantoko Rektor Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, dan Prof Ari Kuncoro Rektor UI.
Dalam acara yang dimulai dengan makan siang pada pukul 12.00 itu, menurut Aviliani, Presiden membahas tiga hal, yakni hilirisasi industri, infrastruktur, dan UMKM.
Drajad pun mengapresiasi hilirisasi yang yang sudah dicapai Presiden Jokowi dan jajarannya. Dia mengatakan sudah menyerukan pentingnya industri hilir sejak ia menjabat anggota DPR periode 2004-2009. Saat itu, ujarnya, baru pada tahapan berdebat, tetapi Presiden Jokowi mewujudkannya. Karena itu, Presiden berhadapan langsung dengan negara besar dan pemain tambang global yang dirugikan. Tekanannya jelas jauh lebih besar.
Secara konkret, hilirisasi mengubah pendapatan ekspor Indonesia. Pada tahun 2012-2014, ekspor besi/baja Indonesia hanya 1,6 miliar-2,1 miliar dollar AS. Tahun 2019, ekspornya 7,9 miliar dollar AS. Setelah hilirisasi tahun 2020, ekspor besi/baja naik menjadi 11,3 miliar dollar AS dan bahkan melonjak hampir dua kali lipat menjadi 21,4 miliar dollar AS pada 2021.
”Itu semua tidak akan tercapai jika hilirisasi nikel tidak dilakukan. Lawan yang dihadapi pun tidak main-main. Uni Eropa marah karena Indonesia melarang ekspor bijih nikel pada 2020. Industri baja di sana terancam kekurangan nikel, sementara Indonesia adalah eksportir nikel kedua terbesar ke Uni Eropa,” tuturnya.
Karena itu, Drajad mengapresiasi niat politik kuat Presiden Jokowi mendorong hilirisasi. Selain itu, hilirisasi tidak berhenti di nikel, Presiden Jokowi beberapa kali mengatakan hilirisasi berlanjut ke bauksit, tembaga, dan mineral lain.
Secara konkret, hilirisasi mengubah pendapatan ekspor Indonesia.
Drajad mendukung tekad ini. Sebab, manfaat hilirisasi jelas. ”Nilai tambah naik signifikan. Ini mendorong pertumbuhan. Neraca perdagangan dan pembayaran diuntungkan. Ini memperkuat stabilitas makro, termasuk nilai tukar,” tambahnya.
Sementara itu, Esther Sri Astuti dari Indef mengingatkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk optimalkan hilirisasi. Pertama, infrastruktur di kawasan industri, jalan, bandara dan pelabuhan perlu terintegrasi. Dengan demikian, biaya logistik murah, harga barang bersaing di pasar global.
Kedua, permintaan pasar internasional juga perlu dipahami. ”Jangan sampai hilirisasi industri hanya semata memenuhi ambisi hilirisasi tetapi tidak memperhatikan demand masyarakat internasional atau buyer. Contoh, kopi, market ingin certified label, tetapi kita baru bisa ekspor green bean,” ujarnya, Rabu (3/8/2022).
Selain itu, semua kepingan penting dalam rantai pasok perlu disiapkan di dalam negeri. Hilirasi juga memerlukan produk tengah (intermediate) selain bahan baku. Bila produk tengah ini belum ada, investor bisa diundang untuk membangun pabrik yang memproduksi produk tengah ini.