Meski tingkat inflasi di Indonesia masih moderat, bauran kebijakan ekonomi tetap diperlukan untuk menyerap risiko-risiko global yang berpeluang mengganggu stabilitas ekonomi domestik.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Stabilitas Sistem Keuangan membentengi perekonomian domestik dari ancaman stagflasi dengan mengontrol pergerakan inflasi sembari tetap menjaga geliat konsumsi di dalam negeri. Risiko ekonomi eksternal diantisipasi dengan menjaga stabilitas sektor riil melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan hasil rapat berkala III Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Senin (1/8/2022), mengatakan, tekanan inflasi global telah berdampak terhadap tren peningkatan harga berbagai barang di dalam negeri.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 1 Juli 2022 menunjukkan bahwa tingkat inflasi tahun berjalan di periode Januari-Juli 2022 tercatat mencapai 3,85 persen. Sementara tingkat inflasi tahunan Juli 2022 terhadap Juli 2021 mencapai 4,94 persen meningkat dari inflasi tahunan Juni 2022 sebesar 4,35 persen. Adapun inflasi bulanan Juli terhadap Juni mencapai 0,64 persen; lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 0,61 persen.
Beruntung inflasi inti nasional pada Juli masih tetap terjaga rendah pada tingkat 2,86 persen secara tahunan sejalan dengan upaya Bank Indonesia menjaga ekspektasi inflasi.
”Tren inflasi tak lepas dari kenaikan harga komoditas dunia serta gangguan pasokan pangan. Beruntung inflasi inti nasional pada Juli masih tetap terjaga rendah pada tingkat 2,86 persen secara tahunan sejalan dengan upaya Bank Indonesia menjaga ekspektasi inflasi,” kata Sri Mulyani.
Menteri Keuangan mengatakan, meski berada dalam tren menanjak, inflasi tahunan Indonesia masih jauh lebih moderat dibandingkan inflasi negara tetangga seperti Filipina yang mencapai 6,1 persen dan Thailand sebesar 7,7 persen. Upaya untuk menahan laju inflasi terbantu oleh stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM), gas elpiji, dan tarif dasar listrik yang ditopang oleh subsidi.
Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia periode Februari 2021 hingga Februari 2022 menunjukkan adanya penurunan dari 6,26 persen menjadi 5,83 persen. Jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2022 tercatat 8,4 juta orang.
Adapun besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada triwulan I-2022 mencapai Rp 4.513 triliun. Ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,01 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Walaupun catatan tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi masional masih positif, Sri Mulyani menekankan arah kebijakan moneter dan suku bunga dari Amerika Serikat bisa menjadi penghambat pertumbuhan perekonomian nasional di sepanjang sisa tahun 2022.
Pekan lalu AS mengonfirmasi kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua triwulan beruntun. Dengan begitu, perekonomian AS sudah bisa dikategorikan masuk ke dalam jurang resesi.
Terkait kondisi tersebut, Sri Mulyani mengatakan, ancaman resesi AS akan mengentak aktivitas perdagangan global, terlebih, ekonomi China masih menghadapi perlambatan. Kondisi ini berpotensi membuat kinerja ekspor Indonesia bakal tertahan yang kemudian diikuti oleh melandainya harga komoditas di pasar global.
Bagi Indonesia, kata Sri Mulyani, gejolak eksternal bisa menekan ekspor beberapa komoditas andalan, seperti batubara, minyak sawit mentah, besi dan baja, serta logam mineral lainnya. Adapun penurunan ekspor dan pelemahan harga komoditas bisa berimbas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Penurunan pendapatan industri berorientasi ekspor dapat menekan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) badan, sedangkan terkoreksinya harga komoditas akan mengurangi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
”KSSK sangat mewaspadai kondisi ini meskipun kita optimis Indonesia punya daya tahan yang sangat baik, baik dari stabilitas sistem keuangan maupun stabilitas sektor riil,” katanya.
Salah satu upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas di sektor riil adalah dengan memperpanjang periode sejumlah insentif fiskal yang semula berakhir pada 30 Juni 2022 menjadi tetap berlaku hingga 31 Desember 2022. Perpanjangan insentif fiskal menjadi respons otoritas atas ketidakpastian ekonomi global akibat tren inflasi global dan suku bunga tinggi.
Dari sisi kebijkaan moneter, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, sepanjang inflasi inti terjaga rendah, otoritas moneter masih akan tetap mempertahankan besaran suku bunga acuan BI. ”Dasar utama suku bunga adalah bagaimana perkiraan inflasi inti ke depan dan keseimbangan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, tidak otomatis kalau negara lain naik maka BI juga naik,” ujarnya.
Perry menegaskan kebijakan moneter bukan hanya mengatur besaran suku bunga, melainkan terdapat juga menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta mengelola likuiditas. Bank sentral saat ini mulai mengurangi likuiditas jangka pendek melalui kenaikan giro wajib minimum (GWM) untuk menjaga stabilitas nilai tukar tanpa mengganggu kemampuan perbankan membiayai kredit yang terus tumbuh.
Pada Juni 2022, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 9,13 persen secara tahunan. Sementara pada periode yang sama intermediasi perbankan melanjutkan perbaikan dengan pertumbuhan kredit sebesar 10,66 persen secara tahunan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar mengungkapkan, tekanan terhadap pasar keuangan global juga sudah mulai berdampak pada pasar saham domestik.
Untuk menjangkar inflasi dari sisi permintaan, BI punya kepentingan untuk meningkatkan suku bunga acuan. (David Sumual)
Kendati secara tahun kalender sejak awal Januari hingga 27 Juli 2022 aliran modal masuk ke pasar bursa tercatat mencapai Rp 58,29 triliun, sejak Mei hingga 27 Juli investor pasar modal mencatatkan aksi jual bersih senilai Rp 13,88 triliun.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menilai, untuk menjangkar inflasi dari sisi permintaan, BI punya kepentingan untuk meningkatkan suku bunga acuan. Ia memproyeksi bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin hingga akhir tahun 2022.
Sementara itu, dari sisi suplai, David mengimbau pemerintah untuk tetap menjaga pasokan pangan dan juga distribusi. Kinerja positif dari tim pengendalian inflasi baik di level pusat dan daerah dalam meminimalisasi risiko terhambatnya pasokan bahan pangan harus dipertahankan agar harga di tingkat konsumen tetap terkendali.