Penerimaan Solid Beri Ruang untuk Perpanjangan Insentif
Perpanjangan pemberian insentif fiskal memang memunculkan potensi pajak yang tidak terpungut. Akan tetapi, hal ini tidak menjadi persoalan selama terdapat faktor lain yang mendorong ekspansi penerimaan pajak.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan pajak yang solid tahun ini diyakini membuat perpanjangan periode insentif fiskal hingga 31 Desember tidak akan mengganggu arus kas negara. Perpanjangan insentif fiskal menjadi respons otoritas atas ketidakpastian ekonomi global akibat tren inflasi global dan suku bunga tinggi.
Keberlanjutan pelonggaran fiskal tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113 Tahun 2022 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan.
Adapun jenis insentif yang diperpanjang hingga 31 Desember 2022 adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah atas penyerahan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19, pembebasan dari pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor, pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22, fasilitas PPh bagi sumber daya manusia di bidang kesehatan, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, dan PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah. Sebelumnya, sejumlah insentif diberlakukan hingga 30 Juni 2022.
Perpanjangan insentif adalah bentuk keberpihakan pemerintah kepada wajib pajak terdampak pandemi Covid-19 sekaligus untuk mendukung pemulihan dan penanganan Covid-19.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, perpanjangan insentif adalah bentuk keberpihakan pemerintah kepada wajib pajak terdampak pandemi Covid-19 sekaligus untuk mendukung pemulihan dan penanganan Covid-19, perpanjangan insentif pajak diberlakukan karena masih ada sejumlah sektor yang belum pulih secara optimal.
”Perpanjangan insentif dilakukan agar pemulihan ekonomi berjalan dengan cepat. Meskipun beberapa sektor sudah mengalami pertumbuhan, masih ada yang tertinggal jika dibandingkan dengan sektor lainnya,” ujarnya dalam diskusi ”Pemulihan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global” secara virtual, Senin (25/7/2022).
Yon mengakui perpanjangan pemberian insentif fiskal memunculkan potensi pajak yang tidak terpungut. Kendati begitu, ia meyakini hal tersebut tidak berdampak signifikan, mengingat proyeksi pendapatan pajak pada tahun ini cukup menjanjikan.
Kementerian Keuangan bahkan mencatat outlook penerimaan pajak hingga akhir 2022 mencapai Rp 1.608,1 triliun. Yon optimistis target ini bisa dicapai mengingat ekspansi penerimaan pajak yang telah terjadi di sepanjang 2021 telah berlanjut pada 2022, dengan pertumbuhan tahunan penerimaan pajak setiap bulannya berkisar 20 persen hingga 50 persen.
Ekspansi penerimaan pajak tahun ini tidak hanya ditopang oleh tingginya harga komoditas Indonesia di pasar global, tetapi juga terdapat faktor lain yang turut memengaruhi ekspansi penerimaan pajak, di antaranya implementasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), serta pemulihan aktivitas ekonomi pasca-pembatasan sosial.
”Saat ini penerimaan tengah mengalami pertumbuhan yang relatif signifikan sehingga APBN punya ruang untuk memperpanjang insentif,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widya Pratama juga menyambut baik perpanjangan insentif pajak ini. Pihaknya sangat mengapresiasi insentif yang diberikan oleh pemerintah, mengingat sejalan dengan pemulihan ekonomi Covid-19 juga dibayangi dengan tekanan inflasi.
”Kami mengapresiasi insentif yang masih diberikan oleh pemerintah walau terbatas. Saat ini tekanan inflasi sedang meningkat, jadi perlu perhatian khusus agar tidak berdampak negatif bagi dunia usaha,” kata Siddhi.
Perpanjangan periode insentif, lanjutnya, turut menjadi sentimen positif bagi dunia usaha dikarenakan belum ada kejelasan kebijakan perihal status pandemi. Dengan kondisi tersebut, pengusaha mengalami ketidakpastian usaha dan hal tersebut berakibat sulitnya menentukan keputusan bisnis.
Saat dihubungi secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengingatkan pemerintah agar terus meningkatkan pengawasan terhadap wajib pajak yang memanfaatkan setiap keringanan fiskal, termasuk perpanjang sejumlah insentif fiskal hingga akhir tahun ini.
Menurut dia, kebijakan tersebut perlu diiringi dengan penataan ulang industri di dalam negeri, terutama di sektor kesehatan. ”Ini mendesak untuk memangkas ketergantungan industri medis pada produk impor, terutama alat kesehatan. Perlu ada transparansi juga terkait dengan ketersediaan pasokan di dalam negeri,” ujar Esther.
Dari sisi moneter, Kepala Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Wira Kusuma menjelaskan, bank sentral akan menjaga pemulihan aktivitas ekonomi dengan mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan. Di samping itu, BI juga akan memperkuat respons bauran kebijakan moneter yang diperlukan baik melalui stabilisasi nilai tukar rupiah, penguatan operasi moneter, maupun suku bunga.
Operasi moneter merupakan langkah preemptive (mendahului) dan visioner untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan SBN (surat berharga negara) di pasar sekunder.
BI, lanjut Wira, juga memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi melalui intervensi di pasar valas yang didukung dengan penguatan operasi moneter. Di samping itu, bank sentral juga terus melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit konsumsi.
”Operasi moneter merupakan langkah preemptive (mendahului) dan visioner untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan SBN (surat berharga negara) di pasar sekunder,” ujarnya.