Penyaluran bantuan pembiayaan perumahan belum optimal. Sementara itu, laju kekurangan rumah terus bertambah.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyaluran bantuan pembiayaan perumahan bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah masih perlu didorong. Skema pembiayaan yang diselenggarakan pemerintah belum terserap optimal.
Bantuan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terdiri atas tiga jenis, yakni fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan subsidi bantuan uang muka, bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT), serta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Dari data Badan Pengelola Tapera, per 29 Juli 2022, penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) FLPP sejumlah 116.155 unit atau 51,4 persen dari target, sedangkan penyaluran Tapera tercatat baru 2.000 unit. Adapun penyaluran BP2BT, seperti dirilis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), berjumlah 3.024 unit atau 13,4 persen dari target.
Mulai tahun 2022, Kementerian PUPR membagi segmentasi layanan FLPP untuk MBR berpenghasilan tetap, BP2BT untuk MBR berpenghasilan tidak tetap, dan Tapera untuk melayani peserta Tapera. Saat ini, peserta Tapera baru sebatas pegawai negeri sipil (PNS). Kriteria MBR antara lain berpenghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan.
Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Badan Pengelola Tapera Ariev Baginda mengakui, penyaluran pembiayaan Tapera masih sedikit. Penyebabnya, keterbatasan kemampuan mencicil karena terikat banyak pinjaman lain sehingga pengajuan KPR melalui skema Tapera ditolak bank.
”Penyerapan masih rendah karena belum memenuhi syarat, antara lain tersangkut banyak pinjaman lain, sehingga ditolak bank. Sebagian lainnya sudah memiliki gaji di atas MBR,” katanya saat dihubungi, Senin (1/8/2022), di Jakarta.
Alokasi penyaluran Tapera diperuntukkan bagi kepemilikan rumah, biaya renovasi rumah, ataupun pembangunan rumah. Alokasi dana Tapera tahun ini sebesar Rp 2,95 triliun. Pihaknya mengimbau kesadaran PNS untuk memanfaatkan peluang pembiayaan itu guna menjangkau rumah layak huni.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah terhadap rumah layak huni. “Kami harapkan dapat meningkatkan kualitas hidup para penerima bantuan dengan memiliki rumah yang lebih layak, sehat dan nyaman," katanya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, pemerintah menargetkan peningkatan akses rumah layak huni dari 56,75 persen menjadi 70 persen atau setara 11 juta rumah tangga. Adapun hingga saat ini, rumah tangga yang belum memiliki rumah (backlog) mencapai 12,7 juta rumah tangga, dengan laju kekurangan rumah ditaksir bertambah 800.000-900.000 unit per tahun.
Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna, pemerintah sedang mengupayakan penyediaan perumahan di kota-kota besar dan metropolitan melalui skema hunian vertikal. Dari sisi pembiayaan, diperlukan mekanisme kreatif yang dapat membantu MBR untuk menjangkau perolehan satuan rumah susun. Diantaranya adalah skema sewa beli, pembiayaan kepemilikan bertahap (staircasing ownership), kerjas ama pemerintah dan badan usaha (KPBU), dan optimalisasi dana FLPP.
“Skema-skema tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu opsi pembiayaan untuk memperbesar penyaluran bantuan pembiayaan perumahan bagi MBR di perkotaan,” tambah Herry, dalam siaran pers, Senin.