Pembiayaan Syariah Bisa Jadi Alternatif Pendanaan Transisi Energi
Wapres Ma’ruf Amin menilai transisi energi berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip syariah sehingga pembiayaan dengan skema syariah dapat dimanfaatkan.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan transisi energi membutuhkan pembiayaan dan investasi yang sangat besar. Indonesia membutuhkan setidaknya 30 miliar dollar AS untuk membiayai transisi energi dalam 8 tahun ke depan. Salah satu solusi pembiayaan transisi energi dapat dilakukan melalui pembiayaan yang berbasis syariah. Prinsip keuangan berkelanjutan dinilai sejalan dengan prinsip keuangan syariah.
”Transisi energi berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip syariah sehingga pembiayaan dengan skema syariah dapat dimanfaatkan dengan tujuan tersebut,” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin ketika membuka acara Energi Transition Working Group (ETWG) G20 Seminar Series, ”Unlocking Innovative Financing Schemes & Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition in Emerging Economies”, di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Narasumber yang hadir dalam diskusi antara lain Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar, CoChair of Think 20 Bambang Brodjonegoro, serta Chair of Energy Transitions Working Group (ETWG) Yudo Dwinanda Priaadi.
Menurut Wapres Amin, syariah tidak hanya berisi hukum yang mengatur kehidupan manusia, tapi juga melindungi kepentingan dan kemaslahatannya. ”Maqashid al-syariah atau tujuan tertinggi hukum Islam bukan hanya berkisar seputar tujuan-tujuan religius atau spiritual, melainkan telah menjadi panduan bagi itihad ulama untuk menemukan jawaban atas isu-isu kontemporer yang menyangkut kemaslahatan umat manusia,” tutur Wapres.
Baca Juga: Paradoks Transisi Energi
Sumber dana pembiayaan syariah harus berasal dari mekanisme lembaga keuangan yang berbasis syariah. Salah satu sumber pembiayaan syariah yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya adalah wakaf uang. Pada 2018, Badan Wakaf Indonesia menyebutkan potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun.
Wapres menegaskan bahwa wakaf uang ini bisa dipakai untuk pembiayaan proyek EBT atau investasi melalui keuangan Islam yang keuntungan atau imbal hasilnya dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan energi berkelanjutan.
”Dana wakaf seyogianya tidak hanya dimanfaatkan untuk aktivitas keagamaan, seperti pembangunan masjid, tetapi juga dapat digunakan dalam wujud lain yang menyangkut kemaslahatan umat manusia, bahkan keberlangsungan kehidupan di masa yang akan datang,” ucapnya.
Selain melalui wakaf uang, Wapres Amin melihat terdapat potensi sangat besar untuk pengembangan sukuk atau Islamic Bond sebagai instrumen penghimpunan dana dari masyarakat untuk pembiayaan transisi energi.
Ketika diminta tanggapan terkait kepercayaan masyarakat yang menurun terhadap lembaga sosial Islam dengan kasus korupsi di lembaga filantropii Aksi Cepat Tanggap (ACT), Wapres Amin meyakini bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga sosial Islam masih tinggi.
”Jadi, saya pikir kepercayaan masyarakat. Apalagi ini dikelola oleh pemerintah, wakaf sukuk, wakaf, kemudian juga perbaikan iklim, energi terbarukan. Ini semua akan transparan, terbuka karena dikelola oleh pemerintah,” ujarnya.
Nazir-nazir yang mengelola wakaf juga diharapkan menjalani pelatihan dan sertifikasi sehingga memiliki kemampuan mengelola wakaf.
”Saya kira lembaga sosial Islam yang terpercaya itu banyak, ini ACT kan salah satu saja. Ini tidak boleh kemudian menghilangkan kepercayaan masyarakat. Karena itu, kita mengingatkan kepada lembaga-lembaga seperti ACT ini harus lebih transparan, ya. Dengan transparansi itu, orang akan bisa percaya. Jadi, nanti laporan-laporan keuangannya agar lebih terbuka sehingga tidak ada lagi dugaan-dugaan,” tutur Wapres.
Wapres menambahkan bahwa banyak sekali lembaga wakaf yang memiliki properti di negara-negara lain, seperti Kuwait, Emirat, Arab Saudi, dan Mesir. ”Nah, ini yang bisa dikembangkan di Indonesia, potensinya sebenarnya besar, tetapi belum terorganisir dengan baik sehingga kita ke depan membenahi organisasi selain efektif dalam pengumpulan penggunaan, juga bisa terkontrol dengan baik,” ucapnya.
Ketika mendampingi Wapres Amin dalam keterangan pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa, pada forum G20, kementerian keuangan memiliki agenda yang konvergen terkait perubahan iklim. ”Tadi telah disampaikan bahwa Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan emisi CO2 dan itu adalah suatu komitmen yang penting buat dunia ataupun terutama juga buat Indonesia. Pembiayaan atau pendanaannya dibutuhkan pendanaan yang sangat besar,” ujarnya.
Aspek pembiayaan transisi energi ini perlu didesain agar mudah dijangkau. ”Dari sisi pembiayaan, instrumen sukuk yang green itu sudah kita introduce; sejak tahun 2018 kita bahkan sudah meng-issue lebih dari 3,5 billion dollar AS menggunakan instrumen green sukuk secara global dan bahkan juga sudah kita introduce di tingkat lokal dan retail,” tutur Sri Mulyani.
Pemanfaatan instrumen pembiayaan yang basisnya syariah, seperti wakaf serta sukuk untuk transisi energi, juga akan terus dipikirkan. Sri Mulyani menegaskan bahwa komitmen penanganan perubahan iklim tidak mungkin dilaksanakan tanpa didukung instrumen pembiayaan dan teknologi. ”Ikatan ahli ekonomi Islam juga saya minta terus mengeksplorasi berbagai kemungkinan finansial yang sifatnya syariah tersebut,” katanya.
Transisi energi secara alami akan terjadi jika harga komoditas-komoditas energi yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) lebih kompetitif. Namun, alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi energi masih sangat besar demi menjaga daya beli masyarakat, terutama ketika harga komoditas energi dunia meningkat.
Aspek keadilan
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, yaitu 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dan terus ditingkatkan hingga 31 persen pada 2050. Saat ini pemanfaatan EBT masih berada di kisaran 12,16 persen.
Wapres Amin menegaskan bahwa pencapaian target tersebut tidak boleh mengabaikan aspek keadilan bagi masyarakat. Transisi energi secara berkeadilan adalah tujuan yang hendak dicapai. Transisi energi harus kita lakukan untuk memitigasi dampak perubahan iklim, tetapi itu tidak serta-merta menjadikan energi terbarukan tersedia secara lebih setara dalam konteks sosial dan ekonomi.
Aspek sosial dari transisi energi yang berkeadilan antara lain diwujudkan dengan memperhitungkan dampak sosialnya secara cermat.
”Beberapa provinsi di Indonesia yang perekonomiannya sangat tergantung pada batubara tentu akan sangat terdampak oleh kebijakan transisi energi. Oleh karena itu, kita juga mesti memastikan aspek jaring pengaman sosial agar kebijakan peralihan energi tidak menyusahkan masyarakat kita,” kata Wapres Amin.
Transisi energi harus dilaksanakan untuk menekan emisi karbon yang dapat memperparah dampak perubahan iklim. Kesepakatan negara-negara tentang transisi energi bertujuan ke titik yang sama, yaitu peningkatan pemanfaatan energi bersih secara berkelanjutan. ”Proses transisi energi mesti kita akselerasi melalui cara-cara yang lebih inovatif dan partisipatif,” ujar Wapres.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menambahkan, pemerintah berkomitmen mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional. ”Dalam roadmap ini, kami bertujuan untuk mengembangkan hampir 600 GW energi terbarukan dalam bauran energi, yang berasal dari solar, hidro, laut, panas bumi, serta hydrogen,” kata Arifin.
Perkembangan arsitektur global yang dinamis tidak boleh menjadi halangan untuk melanjutkan transisi menuju energi bersih di masa depan. ”Saya sangat senang bahwa semua anggota G20, termasuk Indonesia, telah mengikrarkan Net Zero Emissions yang akan menjadi dasar kokoh untuk implementasi lebih lanjut dari program transisi energi di masing-masing negara,” paparnya.
Arifin menuturkan, sumber daya untuk mendukung roadmap transisi energi tidak hanya dari energi terbarukan, tetapi juga dari sumber daya mineral, seperti nikel, tembaga, bauksit, mangan, untuk memproduksi baterai bagi kendaraan listrik dan sebagai penyimpanan pembangkit listrik energi terbarukan. ”Diharapkan, dengan strategi komprehensif tersebut, Indonesia dapat meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi kita,” kata Arifin menambahkan.
Indonesia juga terus memperkuat kerja sama dengan negara-negara mitra dan lembaga keuangan internasional untuk menemukan mekanisme pendanaan yang inovatif guna memenuhi kebutuhan investasi dalam mendukung transisi energi.