Paradoks Transisi Energi
Perang Ukraina memunculkan paradoks transisi energi di tengah ketidakpastian global. Transisi energi Uni Eropa kini di persimpangan jalan. Pelajaran penting untuk membuat ketahanan dan kemanan energi kita lebih tangguh.
Perang Ukraina memunculkan paradoks dalam transisi energi di tengah ketidakpastian global.
Transisi energi mengacu pada pergeseran sektor energi global dari sistem produksi dan konsumsi energi berbasis fosil—termasuk minyak, gas alam, dan batubara —ke sumber energi baru terbarukan (EBT), seperti angin, matahari, dan baterai lithium-ion. Meningkatnya penetrasi EBT ke dalam bauran pasokan energi, dimulainya elektrifikasi, dan peningkatan penyimpanan energi merupakan pendorong utama transisi energi.
Pada Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, 22-26 Mei, perang Rusia-Ukraina dianggap berimplikasi parah pada bentuk kecepatan transisi energi—tak hanya di Eropa, tetapi juga seluruh dunia. Segitiga kebijakan energi, yang biasanya bertujuan menyeimbangkan keamanan pasokan, keterjangkauan, dan keberlanjutan, telah mengalami pergeseran. Tanpa mengabaikan dua tujuan lain, keamanan pasokan jadi prioritas banyak negara, terutama di Eropa.
Meningkatnya penetrasi EBT ke dalam bauran pasokan energi, dimulainya elektrifikasi, dan peningkatan penyimpanan energi merupakan pendorong utama transisi energi.
Uni Eropa (UE), kawasan yang berbatasan dengan wilayah perang di Ukraina, selama ini dikenal paling ekspansif dan ambisius mencapai target net zero emission (NZE). Kini transisi energinya di persimpangan jalan. Dengan kemampuan teknologi dan kapitalnya, negara-negara UE, seperti Jerman dan Inggris, mampu melakukan percepatan transisi energi dibanding umumnya negara berkembang di belahan bumi lain.
Jerman kini menghadapi krisis energi karena harga listrik cenderung naik akibat gangguan pasokan gas alam cair yang selama ini diimpor dari Rusia. Padahal, impor gas ini jembatan dan bagian dari skenario transisi energi Jerman agar lebih ramah lingkungan. Perang di Ukraina mendorong Rusia mengajukan syarat pemakaian mata uang rubel dalam transaksi untuk melawan sanksi ekonomi AS dan UE.
Baca juga ”Boom” Komoditas dan Energi, Pedang Bermata Dua
Sebagai kampiun teknologi transisi energi, Jerman terkena imbas perang yang belum tahu kapan berakhir. Diberitakan The Guardian (3/3/2022), agar bisa bertahan tanpa ketergantungan terhadap impor gas dari Rusia, Jerman dan negara UE lain memberlakukan kebijakan efisiensi energi. Masyarakat diminta hemat energi dengan menurunkan suhu termostat di rumah hingga 1 derajat celsius.
Langkah strategis
Eropa selama ini sangat bergantung pada Rusia untuk minyak dan gas. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), UE mengimpor 155 miliar meter kubik gas alam dari Rusia. Impor dari Rusia ini menyumbang sekitar 45 persen impor gas UE dan hampir 40 persen dari total konsumsi gasnya. Lebih dari seperempat impor minyak mentah UE berasal dari Rusia.
Sebagai salah satu pengekspor terbesar gas dunia, Rusia memanfaatkan sumber daya gasnya untuk kepentingan geopolitiknya. Salah satu strategi adalah memanipulasi aliran energinya untuk menjaga loyalitas negara-negara mitra. Dalam perang di Ukrania, Rusia menggunakan kelimpahan gasnya sebagai senjata ekonomi dan politik.
Tak heran, setiap negara di UE memberi respons berbeda terkait embargo produk gas Rusia karena begitu berartinya gas bagi mereka. Proposal pelarangan impor gas dari Rusia, sebagai bentuk sanksi ekonomi terhadap Rusia, dianggap akan memperumit keamanan energi mereka, bisa memicu lonjakan harga, dan memukul balik menjadi krisis energi di Eropa.
Pengalaman Jerman adalah representasi kasus yang mewakili banyak negara Eropa. Sedemikian berat tekanan dari krisis energi akibat perang Ukraina, Jerman sempat berwacana mengaktifkan kembali tiga pembangkit nuklirnya yang sudah ditutup. Namun, pemangku kepentingan PLTN di Jerman tak setuju karena pertimbangan pengalaman buruk Chernobyl (1986) dan Fukushima (2011).
Seberat apa pun tantangan krisis energi di Eropa, keberlanjutan transisi energi global dan upaya mengurangi impor gas dari Rusia harus dijadikan peluang bersejarah. Dengan cepat UE telah mengambil langkah strategis memadukan ”Kesepakatan Hijau Eropa” dengan saran 10 Poin Rencana dari IEA, yang memberikan panduan praktis untuk mengurangi ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia.
Komisi Eropa juga telah menyepakati REPowerEU yang akan fokus pada fase penghentian gas Rusia secara teratur dan terjangkau pada 2027.
Transisi energi sebagai upaya mencegah pemanasan global, sesuai komitmen Kesepakatan Paris 2015, harus terus dilanjutkan dengan mengedepankan transisi yang adil.
Komitmen transisi energi
Paradoks berikutnya adalah ketimpangan peta jalan transisi energi antara negara-negara maju dan negara berkembang. Paradoks terjadi ketika negara-negara kaya, termasuk di Eropa Barat, telah membuka peluang penggunaan batubara, termasuk opsi pemanfaatan nuklir, untuk mengatasi krisis energi mereka. Sementara pada saat yang sama, negara-negara miskin dan berkembang didesak mengadopsi penggunaan energi ramah lingkungan yang membutuhkan investasi besar.
Transisi energi sebagai upaya mencegah pemanasan global, sesuai komitmen Kesepakatan Paris 2015, harus terus dilanjutkan dengan mengedepankan transisi yang adil. Sejalan dengan komitmen internasional pada perubahan iklim, EBT menjadi keharusan untuk dikembangkan. Porsi EBT perlu diperbesar melalui substitusi energi fosil dengan teknologi hijau yang ramah lingkungan.
Menjawab tantangan transisi energi saat ini, sebagai presidensi G20, Indonesia bisa jadi mediator kelompok negara maju dan berkembang. Dengan potensi EBT 3.683 gigawatt, Indonesia bisa jadi episentrum transisi energi negara berkembang. Di pertemuan G20 di Bali, November 2022, selain menunjukkan capaian transisi energinya mewakili negara berkembang, Indonesia bisa mendesakkan transisi yang adil dan kemitraan energi hijau untuk menerapkan solusi menuju nol bersih.
Kemitraan adalah kata kunci yang semakin penting dan menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi global atas dasar energi bersih.
Kemitraan adalah kata kunci yang semakin penting dan menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi global atas dasar energi bersih. Beberapa negara bisa menyumbangkan pengetahuan mereka tentang transisi energi dengan mengembangkan teknologi nol karbon, yang lain memiliki kondisi alami untuk menyediakan energi hijau. Kemitraan win-win perlu diciptakan untuk transisi energi yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan yang juga bisa menciptakan peluang kerja baru.
Bagi Indonesia, dampak geopolitik perang di Ukraina pada krisis energi global, terutama di Eropa, harus dijadikan pelajaran untuk membuat ketahanan dan keamanan energi kita lebih tangguh. Ketahanan berarti cadangan energi harus cukup dan tak terputus, serta perlunya mendiversifikasi rute pasokan untuk mengimbangi gangguan pasokan yang tiba-tiba. Keamanan energi berkaitan dengan investasi untuk memasok energi sesuai kebutuhan masyarakat.
Keamanan energi ini penting agar sistem energi mampu bereaksi segera terhadap perubahan mendadak dalam keseimbangan pasokan-permintaan.
Eko SulistyoKomisaris PT PLN (Persero)