Tanpa Pembatasan, Penyaluran BBM Bersubsidi Bisa Lampaui Kuota
Jika penyaluran BBM bersubsidi tidak segera dikendalikan, kuota BBM bersubsidi berpotensi habis sebelum pengujung tahun 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi digital dinilai dapat menjadi solusi untuk mengatasi persoalan distribusi bahan bakar minyak ataupun gas elpiji yang hingga saat ini dinilai belum tepat sasaran. Meski begitu, pemerintah tetap dituntut memikirkan skema yang lebih sederhana agar distribusi subsidi energi tetap bisa dilakukan secara inklusif.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Saleh Abdurrahman, menyebut bahwa strategi digitalisasi penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui aplikasi yang dikembangkan Pertamina sudah sesuai dengan arahan pemerintah, yakni menjadi kunci pengendalian subsidi BBM agar lebih tepat sasaran.
”Konsumen (BBM bersubsidi) harus jelas betul-betul yang berhak. Cara memastikannya adalah melalui pendataan dan pencatatan konsumen secara detail, salah satunya melalui sistem digitalisasi Mypertamina,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (26/7/2022).
Saat ini, 85 persen jaringan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di seluruh Indonesia telah tersedia dan terkoneksi dengan MyPertamina. Dari sisi pengguna, MyPertamina telah diunduh sebanyak 23 juta dan pengguna aktifnya mencapai sekitar 2,5 juta pengguna per bulan.
Ia menuturkan, pengembangan MyPertamina difokuskan agar aplikasi ini dapat menjadi alat untuk melakukan subsidi tertutup atau menyasar konsumen yang memang berhak. Selain itu, pengembangan aplikasi ini ditujukan juga untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan BBM bersubsidi.
Saat ini, lanjut Saleh, sekitar 85 persen jaringan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di seluruh Indonesia telah tersedia dan terkoneksi dengan MyPertamina. Dari sisi pengguna, MyPertamina telah diunduh sebanyak 23 juta dan pengguna aktifnya mencapai sekitar 2,5 juta pengguna per bulan.
”Penyempurnaan terhadap sistem Mypertamina sedang dilakukan agar semakin mudah digunakan dan tidak menimbulkan masalah di lapangan,” ujarnya.
Baca Juga: Cakupan Pendaftaran BBM Bersubsidi Pertamina Diperluas Bertahap
Saleh menambahkan, jika penyaluran tidak segera dikendalikan, kuota BBM bersubsidi berpotensi habis pada Oktober atau November 2022. Pasalnya, realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga Juni 2022, baik solar maupun pertalite, sudah di atas 50 persen. Data hingga 30 Juni menunjukkan penyaluran pertalite sudah mencapai 57,56 persen atau sekitar 13,26 juta kiloliter (kl) dari total kuota tahun ini 23,05 juta kl. Adapun solar sudah mencapai 51,24 persen dari total kuota tahun ini sebesar 15,10 juta kl dengan rata-rata konsumsi bulanan di atas 10 persen.
”Apabila distribusi tidak dikendalikan, pada akhir 2022 penyaluran BBM bersubsidi bisa melebihi kuota. Sosialisasi oleh seluruh pihak, termasuk media, juga sangat penting agar publik bisa paham dan menerima untuk menghindari polemik di masayarakat apabila harga energi dibentuk lewat keekonomian,” tutur Saleh.
Sebelumnya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono mengatakan bahwa sebetulnya pemerintah bisa saja mencabut subsidi dan melepas BBM jenis pertalite dan gas elpiji 3 kilogram dengan harga keekonomian demi menjaga stabilitas APBN. Kendati begitu, opsi tersebut tidak dipilih demi menjaga daya beli masyarakat dan konsumsi di dalam negeri.
Sebagai gantinya, pemerintah justru menambah anggaran belanja untuk subsidi energi. Dalam APBN 2022, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi telah ditetapkan Rp 152,5 triliun, terdiri dari anggaran untuk subsidi sebesar Rp 134 triliun dan kompensasi sebesar Rp 18,5 triliun.
Kemudian, Kementerian Keuangan menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun sehingga pada tahun ini pemerintah secara total menggelontorkan dana untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 520,4 triliun.
”Sebenarnya disadari bahwa subsidi energi, khususnya gas elpiji, banyak yang kurang tepat sasaran karena banyak dinikmati oleh kelas menengah atas. Pemerintah telah mempertimbangkan untuk melakukan transformasi skema subsidi, dari subsidi terhadap barang menjadi subsidi terhadap orang atau sistem tertutup,” kata Edy.
Terlalu eksklusif
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Riadhi, berpendapat, penerapan sistem berbasis digital justru berpotensi menjauhkan masyarakat miskin tanpa akses internet dari kesempatan untuk mengakses BBM bersubsidi. Padahal, merekalah yang menjadi sasaran utama dalam program ini.
”Konsumen yang berhak menerima subsidi tidak semua memiliki gawai, maka ada kemungkinan justru masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi tidak bisa membeli pertalite. Ini, kan, ironis,” kata Fahmy.
Di satu sisi, pembatasan akses terhadap BBM bersubsidi memang perlu dilakukan demi menjaga keuangan negara, apalagi di tengah tingginya disparitas harga di konsumen dengan acuan harga di tingkat global. Namun, pemerintah juga perlu memikirkan skema yang lebih sederhana tanpa mengesampingkan kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki akses digitalisasi.
Baca Juga: Pengaturan Pertalite Cegah Subsidi Jebol
Fahmy pun menyarankan agar distribusi subsidi komoditas energi dilakukan secara tertutup, yang artinya tidak dijual di pasar bebas atau dijual di pasar umum dengan syarat-syarat tertentu. ”Misalnya, yang dapat membeli adalah orang miskin yang sudah terdaftar sebagai pemegang Kartu Keluarga Sejahtera. Dengan pemakaian kartu itu, orang itu bisa membeli satu gas elpiji 3 kilogram setiap bulannya,” ujarnya.
Namun, persoalannya saat ini, pembagian Kartu Keluarga Sejahtera merupakan kewenangan Kementerian Sosial. Adapun untuk penentuan warga yang berhak mendapatkan subsidi BBM dan elpiji merupakan kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mau tidak mau, kedua instansi itu harus mengintegrasikan data warga sasaran subsidi tersebut.
Dihubungi secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan, pemerintah perlu membenahi data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) agar penyaluran subsidi dapat tepat sasaran di tengah kenaikan harga energi global.
Jika penerima subsidi lebih tepat sasaran melalui pembenahan DTKS, lanjut dia, pemerintah dapat mempertanggungjawabkan potensi kenaikan anggaran subsidi energi. ”Perlu digarisbawahi bahwa pembenahan data, terutama DTKS, memainkan peran penting,” katanya.
Yusuf menuturkan, pembenahan DTKS ini berhubungan dengan efektivitas dari penyaluran subsidi energi dan realisasi bantuan sosial karena kenaikan harga minyak dunia bisa memengaruhi kenaikan penerimaan dalam APBN. Terlebih lagi, pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi energi sebagai konsekuensi agar tidak menaikkan harga BBM, gas elpiji, dan tarif dasar listrik di tengah harga energi dunia yang melonjak.
Oleh karena itu, ia menegaskan, pertanggungjawaban pemberian subsidi ataupun bantuan sosial sangat penting mengingat pelebaran anggaran merupakan respons pemerintah dalam memastikan harga BBM tidak berdampak terhadap kenaikan inflasi. ”Kenaikan inflasi yang sangat besar tidak terjadi karena harganya separuh ditanggung pemerintah,” ujarnya.
Hal yang lebih penting adalah memastikan anggaran yang tersedia untuk subsidi energi tetap cukup dan tidak membebani APBN.
Ia menambahkan, pembenahan DTKS juga berhubungan dengan kebijakan penggunaan aplikasi MyPertamina dalam membeli BBM jenis pertalite, yang bertujuan memastikan anggaran subsidi tersalurkan dengan tepat. Meski demikian, Yusuf tak memungkiri perbaikan DTKS tidak akan secara langsung berdampak terhadap inflasi.
”Namun, yang lebih penting adalah memastikan anggaran yang tersedia untuk subsidi energi tetap cukup dan tidak membebani APBN,” kata Yusuf.