Pada 1 Juli 2022 akan dimulai pendaftaran pengguna BBM jenis pertalite untuk kendaraan roda empat atau lebih di 11 kota.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendaftaran data pengguna bahan bakar minyak atau BBM jenis pertalite, yang dijual Rp 7.650 per liter, untuk menertibkan subsidi agar tepat sasaran. Apabila tidak diatur, konsumsi pertalite berpotensi mencapai 28 juta kiloliter tahun ini atau melampaui kuota yang sebanyak 23 juta kiloliter. Pendataan dikhususkan bagi kendaraan roda empat atau lebih.
Pengguna dapat mendaftarkan kendaraannya di situs subsiditepat.mypertamina.id mulai 1 Juli 2022. Pendaftar akan diminta memasukkan sejumlah data, seperti nama, nomor telepon, kartu tanda penduduk (KTP), nomor polisi dan kapasitas mesin (cc) kendaraan, serta foto kendaraan. Setelah mendaftar, pengguna akan mendapat kode QR yang melekat pada kendaraan, bukan orang.
Tak harus di ponsel, kode QR juga dapat dicetak. Semua kendaraan dapat didaftarkan. Akan tetapi, transaksi dengan pemindaian kode QR tersebut masih akan diuji coba di Kota Bukittinggi, Padang Panjang, Kabupaten Agam, Tanah Datar (Sumatera Barat); Banjarmasin (Kalimantan Selatan); Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, Ciamis (Jawa Barat); Manado (Sulawesi Utara); dan Yogyakarta (DI Yogyakarta).
Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting, Kamis (30/6/2022), di Jakarta, mengatakan, pendataan itu sebagai upaya memastikan agar alokasi subsidi tepat sasaran. Pasalnya, saat ini BBM subsidi, yakni pertalite dan biosolar, masih banyak dikonsumsi oleh golongan menengah ke atas atau yang tak berhak mendapat subsidi.
”Orang-orang yang mampu atau 60 persen teratas (kaya) menikmati hampir 80 persen dari total BBM bersubsidi. Sementara masyarakat miskin dan rentan atau 40 persen terbawah hanya menikmati 20 persen. Bisa dilihat di antrean-antrean (kendaraan mewah pada BBM subsidi) di SPBU,” kata Irto.
Irto menambahkan, dengan tren konsumsi pertalite saat ini, maka diperkirakan realisasi penjualan pertalite dan biosolar akan melebihi kuota pada akhir tahun. Dengan asumsi tidak ada pengaturan, realisasi penyaluran pertalite pada akhir 2022 diperkirakan mencapai 28 juta kiloliter (KL) atau melebihi kuota yang sebanyak 23,05 juta KL. Sementara penyaluran biosolar diperkirakan mencapai 17,72 juta KL dari kuota yang sebanyak 14,91 juta KL.
Menurut Irto, lantaran ditekankan pada pendaftaran untuk pendataan, belum ada kriteria-kriteria yang ditetapkan bagi pembeli pertalite. Pembatasan segmentasi pada BBM bersubsidi, termasuk pertalite, nantinya akan tertuang dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Saat ini revisi perpres masih dalam tahap finalisasi.
Pejabat Sementara Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Heppy Wulansari menambahkan, upaya agar BBM bersubsidi lebih tepat sasaran tak terlepas dari situasi geopolitik dunia yang menyebabkan melonjaknya harga minyak mentah dunia. Karena itu, sosialisasi akan terus diberikan agar masyarakat semakin memahami pentingnya pendataan ini.
Edukasi publik
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengemukakan, pendataan untuk membeli pertalite menjadi hal positif, tetapi perlu dilihat kompleksitas akar masalahnya. Akar masalahnya adalah harga jual pertalite jauh di bawah harga keekonomian. Dampaknya anggaran subsidi BBM dipastikan membengkak.
”BBM bersubsidi kita, (harga jual) biosolar, masih ditahan pada harga Rp 5.510 per liter, sedangkan di negara tetangga berkisar Rp 15.000-Rp 25.000 per liter. Penyesuaian (harga) bagian dari edukasi dan perlu dilakukan bertahap mengingat kita ini net importer minyak bumi. Perlu terus didorong penerapan subsidi langsung ke masyarakat,” ujar Komaidi.
Pembengkakan subsidi akibat tingginya harga minyak mentah, yang pada Kamis sore jenis Brent di level 115 dollar AS per barel, melampaui asumsi dalam APBN 2022 yang sebesar 63 dollar AS per barel. Pemerintah juga memastikan subsidi energi tahun ini membengkak dari semula dialokasikan Rp 134 triliun menjadi setidaknya Rp 208,9 triliun.