Usaha mendongkrak nilai tambah dengan menghasilkan produk-produk turunan CPO perlu terus didorong, terutama di kalangan pelaku UMKM. Kini waktunya petani sawit dan UMKM mengambil peran lebih besar dalam industri sawit.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
Pembangunan pabrik minyak sawit mentah dan minyak makan merah berbasis koperasi bakal dimulai tahun 2023. Demikian angin segar yang disampaikan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki seusai rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (18/7/2022). Presiden Joko Widodo dikabarkan, ”Setuju!”
Pernyataan itu tepat 10 hari setelah Presiden Jokowi berdialog secara informal dengan petani kelapa sawit binaan Koperasi Sawit Unggul Sejahtera, Kabupaten Serdang Bedagai, di Kota Medan, Sumatera Utara. Jauh sebelum mengerucut pada gagasan membangun pabrik minyak sawit mentah (CPO) dan minyak sawit merah (red palm oil/RPO) berbasis koperasi, Istana Merdeka memang ”digeruduk” para petani kelapa sawit.
Kelangkaan minyak goreng yang diperparah dengan anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawit membuat petani sawit kelimpungan. Mereka serba salah. Panen TBS rugi, tetapi jika tidak panen, mereka sengsara. Besarnya ongkos panen tak tertutup oleh harga penjualan TBS.
Kisruh minyak goreng di level atas tercoreng oleh dugaan kongkalikong persetujuan ekspor. Penangkapan kapal-kapal pengangkut CPO tak membuahkan hasil karena persetujuan ekspor telah diterbitkan beberapa hari sebelum tenggat larangan ekspor. Kapal-kapal itu pun dinyatakan clear kembali melanjutkan perjalanan ekspornya.
Sementara harga minyak goreng curah di Tanah Air terus diyakini bisa ditekan hingga harga Rp 14.000 per kilogram (kg). Berbagai cara yang ditempuh pemerintah tak juga mampu meningkatkan harga TBS. Sampai-sampai, strategi pungutan ekspor dikeluarkan pemerintah. Namun, langkah itu rupanya belum banyak menolong petani.
Tangki-tangki milik pabrik pengolah kelapa sawit dikabarkan masih terisi penuh. Alhasil, petani makin tersudut. Teriak kegelisahan petani terdengar semakin parau. Pabrik belum mau membeli kembali TBS yang dihasilkan petani.
Kerja keroyokan pun harus ditempuh untuk mengatasi problem itu. Salah satunya dengan membangun pabrik CPO skala kelompok petani dengan kekuatan badan hukum koperasi. Sebab, kekuatan petani sesungguhnya sangat besar. Memang tak ada waktu terlambat karena permainan harga TBS terus berulang dirasakan petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total luas lahan sawit di Indonesia mencapai 14,59 juta hektar. Dari jumlah itu, petani swadaya menguasai 41,44 persen, sedangkan swasta besar mencapai 54,69 persen dan perkebunan negara hanya 3,87 persen. Total volume produksi CPO mencapai 44,8 juta ton. Dari volume itu, kontribusi petani swadaya mencapai 35 persen, sedangkan swasta 60 persen dan negara 5 persen.
Saat menghadap Presiden Jokowi pada 23 Maret 2022, Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) dan Serikat Kelapa Sawit (Srikes) yakin petani mampu membantu mengurai kisruh minyak goreng. Namun, dukungan pemerintah dibutuhkan. Lalu, tercetuslah gagasan pembangunan pabrik CPO dengan turunannya, seperti RPO.
Kini, perjalanan pembangunan pabrik dengan nilai investasi Rp 120 miliar tengah dimatangkan dari berbagai sisi. Sejumlah lembaga, termasuk Lembaga Dana Bergulir Koperasi dan UMKM, siap turun tangan dari sisi pembiayaan.
Tantangan berikutnya adalah perizinan. Pembangunan pabrik pengolah kelapa sawit membutuhkan sejumlah persyaratan. Paling tidak, butuh waktu satu tahun untuk mengurus izin. Memang, kalau untuk membangun pabrik minyak makan merah diperkirakan hanya butuh waktu tiga bulan. Syaratnya, pabrik CPO sudah terbangun dan beroperasi lebih dulu.
Akan tetapi, seperti kata Sutiyana, Ketua KUD Tani Subur Sawit di Desa Pangkalan Tiga, Kecamatan Pangkalan Lada, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, kendati pemerintah pusat telah memberikan lampu hijau, usaha membangun pabrik pengolah tetap membutuhkan waktu. Petani dan koperasi, misalnya, harus menghadapi birokrasi di daerah. Tak hanya di Kalimantan, petani sawit di Sumatera melaporkan persoalan serupa.
Kendati demikian, tidak ada kata terlambat bagi petani dan koperasi petani untuk memulai usaha mengolah sawit dan meningkatkan nilai tambah sawit secara mandiri. Harapannya, ironi kesulitan minyak goreng di negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia tidak terulang lagi di masa depan. Usaha mendongkrak nilai tambah dengan menghasilkan produk-produk turunan CPO perlu terus didorong, terutama di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kini waktunya petani sawit dan pelaku UMKM mengambil peran lebih besar dalam industri kelapa sawit nasional.