Dunia Usaha Dibayangi Ketidakpastian Tahun Politik
Berbagai manuver yang digencarkan sejumlah elite membuat tahun politik seolah datang lebih cepat. Ketidakpastian itu menambah rumit iklim berusaha di tengah ancaman resesi global dan inflasi tinggi.
Oleh
agnes theodora, ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
TOTOK WIJAYANTO
Calon investor berkonsultasi dengan petugas pelayanan terpadu satu pintu di Gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) , Jakarta, Selasa (26/1/2021). BKPM mencatat total realisasi investasi pada 2020 sebesar Rp 826,3 triliun. Pencapaian tersebut lebih tinggi 1,1 persen dari target investasi yang ditetapkan sebesar Rp 817,2 triliun. Angka ini juga lebih besar dari realisasi 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Dari total investasi itu, investasi asing (PMA) sebesar 49,9 persen dan investasi dalam negeri (PMDN) 50,1 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman resesi global dan kenaikan inflasi di tingkat produsen bukan satu-satunya kendala yang harus dihadapi dunia usaha dalam waktu dekat. Tahun politik yang datang lebih cepat ikut membawa ketidakpastian yang berpotensi melambatkan kinerja investasi.
Meskipun pemilihan umum baru akan digelar pada 2024 dan berbagai tahapan teknisnya baru dimulai pada 2023, suhu politik sudah memanas dari sekarang. Berbagai manuver yang digencarkan sejumlah elite membuat tahun politik seolah datang lebih cepat. Ketidakpastian itu menambah rumit iklim berusaha di tengah ancaman resesi global dan inflasi.
Dalam Forum Afternoon Tea Kompas Collaboration Forum (KCF) yang digelar Jumat (15/7/2022), sejumlah pelaku usaha menyampaikan kecemasan mereka dalam menghadapi dinamika politik yang tak terduga itu.
Direktur Corporate Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azam mengatakan, di samping ancaman resesi global dan inflasi di tingkat produsen (cost-push inflation) yang saat ini mulai memberatkan pelaku usaha, risiko terbesar yang akan dihadapi dunia usaha dalam waktu dekat adalah tahun politik dan segala ketidakpastiannya.
Menurut dia, menjelang pemilu, berbagai kebijakan yang bersifat populis di mata masyarakat biasanya akan lebih mendominasi. Padahal, kebijakan itu kerap berbanding terbalik dengan kebutuhan sektor riil.
Potensi munculnya kebijakan populis di tahun politik itu dinilainya akan melambatkan kinerja investasi. ”Saya yakin investasi yang sifatnya jangka panjang dan dalam jumlah besar pasti akan menunggu hingga pemilu selesai. Ini akan menjadi tantangan bagi dunia usaha,” kata Bob.
Di sektor otomotif, ia memandang keputusan pemerintah untuk tidak melanjutkan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) sebagai salah satu bentuk kebijakan yang sifatnya populis.
Menurut dia, kebijakan itu tidak populer karena terkesan hanya memberikan insentif pada kelompok masyarakat tertentu yang hendak membeli kendaraan. Padahal, ujar dia, kebijakan itu mampu mendorong setoran pajak dari sektor otomotif yang lebih besar ke APBN.
Sejauh ini, realisasi investasi masih terpenuhi sesuai dengan target yang dipasang pemerintah. Pada triwulan I tahun 2022, misalnya, realisasi investasi mencapai Rp 282,4 triliun, tumbuh 28,5 persen secara tahunan dan 16,9 persen secara triwulanan.
Risiko terbesar yang akan dihadapi dunia usaha dalam waktu dekat adalah tahun politik dan segala ketidakpastiannya.
Kementerian Investasi mencatat, angka tersebut menjadi rekor pertumbuhan tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Jika dibandingkan dengan target investasi 2022 yang dipatok sebesar Rp 1.200 triliun, capaian pada awal tahun itu sudah mencapai 23,5 persen dari target.
Sebelumnya, pada 2021, realisasi investasi juga mencapai Rp 901,02 triliun, melebihi target yang dipasang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar Rp 864 triliun dan target yang dipasang oleh Presiden Joko Widodo sebesar Rp 900 triliun.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia meyakini, kinerja investasi selama tahun 2022 tidak akan banyak terganggu oleh ancaman resesi global dan kenaikan inflasi. Sejauh ini, iklim berusaha masih relatif kondusif dan capaian investasi masih sesuai target. Indonesia justru mendapat ”durian runtuh” dari kisruh ekonomi global saat ini, seperti di sektor tambang dan energi.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia (tengah), Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri) dan peneliti Litbang Kompas Ignatius Kristanto (kanan) saat berbicara dalam diskusi Afternoon Tea #10 Kompas Collaboration Forum (KCF) bertema "Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Investasi di Indonesia" yang diselenggarakan di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Jumat (15/7/2022). Acara itu dihadiri oleh sejumlah CEO dari berbagai perusahaan yang tergabung dalam KCF.
Meski demikian, ia belum bisa memprediksi iklim berinvestasi pada 2023 nanti. Sejauh ini, proyek investasi yang sudah masuk masih berjalan. Meski beberapa negara yang berinvestasi diperkirakan akan menghadapi resesi tahun ini, menurut Bahlil, investasi yang masuk tidak mungkin mangkrak karena itu justru akan lebih merugikan para investor.
”Sampai tahun 2022 ini, menurut data kami, investasi masih baik-baik saja. Tahun depan itu akan menjadi pertanyaan besar, tetapi kami sekarang sedang membuat analisis seperti apa nanti tren berinvestasi di tahun 2023. Memang akan dinamis, tetapi kita harus tetap optimistis,” ujarnya.
”Wait and see”
Dihubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menuturkan, di tengah ketidakpastian di tahun politik, pelaku usaha umumnya akan memilih menunggu (wait and see) siapa yang akan terpilih dalam pemilu, sebelum mengambil keputusan investasi yang besar.
”Itu akan menentukan rencana mereka setelah 2024. Mungkin (investasi) akan ditahan sedikit jika, misalnya, hendak ekspansi, sampai sudah relatif jelas siapa yang akan terpilih,” ujar Yusuf.
Namun, dinamika politik tidak serta-merta pasti menghentikan investasi. Pelaku usaha dari sektor yang tidak terlalu rentan terhadap dampak perubahan kebijakan dan regulasi umumnya dapat tetap melanjutkan rencana ekspansi dan membantu mendorong perekonomian.
Di tengah dinamika politik yang tak pasti itu, menurut Yusuf, iklim usaha perlu dijaga agar tetap kondusif. Salah satunya, melalui kepastian regulasi dan kebijakan. Kebijakan dan regulasi yang berubah-ubah, ujarnya, dapat membuat investor ragu-ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
TOTOK WIJAYANTO
Calon investor antre untuk berkonsultasi di ruang pelayanan terpadu satu pintu, Gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) , Jakarta, Selasa (26/1/2021). BKPM mencatat total realisasi investasi pada 2020 sebesar Rp 826,3 triliun. Pencapaian tersebut lebih tinggi 1,1 persen dari target investasi yang ditetapkan sebesar Rp 817,2 triliun. Angka ini juga lebih besar dari realisasi 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Dari total investasi itu, investasi asing (PMA) sebesar 49,9 persen dan investasi dalam negeri (PMDN) 50,1 persen.
Ia mencontohkan, perselisihan terkait gugatan penetapan upah minimum di DKI Jakarta, yang justru memunculkan ketidakpastian. ”Perlu kepastian, apakah regulasi berubah atau tidak. Gestur-gestur seperti itu perlu dikurangi atau dihilangkan, jangan sampai yang hendak berinvestasi jadi ragu-ragu,” katanya.
Sementara itu, berkaca dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, ia menilai, kebijakan populis berpotensi kembali muncul menjelang pemilu. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk melakukan belanja populis dalam bentuk bantuan sosial.
Belanja populis seperti itu, ujarnya, akan sangat ditentukan oleh kapasitas APBN saat ini. ”Misalnya pada tahun 2023 (pemerintah) hendak menanggung subsidi dalam jumlah besar. Itu terlihat populis, tetapi perlu dilihat juga penerimaannya apakah dapat mengimbangi dari sisi belanja atau baik dari sisi penerimaannya,” ujarnya.
Ia menilai, salah satu persoalan penting adalah memastikan penyaluran bantuan tepat sasaran. ”Selama ini kerap tidak tepat sasaran dan menjadi masalah bertahun-tahun. Namun, kalau kita lihat, tahun ini sepertinya ada upaya lebih serius dari pemerintah untuk memastikan itu. Tinggal ditunggu saja bagaimana pelaksanaannya,” ujar Yusuf.