Perencanaan produksi pangan dinilai penting guna mengatasi problem fluktuasi pasokan dan harga komoditas pertanian. Namun, upaya itu membutuhkan data yang akurat. Kesejahteraan petani juga perlu menjadi perhatian.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga sejumlah bahan pokok dan pangan, termasuk cabai rawit, antara lain dipengaruhi meningkatnya permintaan dan pengaruh cuaca yang menyebabkan munculnya penyakit tanaman di daerah sentra produksi. Agar tidak terus berulang, antisipasi perlu dilakukan, salah satunya dengan perencanaan produksi yang disertai data yang akurat.
Salah satu bahan pangan yang harganya melonjak adalah cabai rawit merah. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga cabai rawit merah pada 18 Mei 2022 masih Rp 47.550 per kilogram (kg), lalu naik jadi Rp 65.100 per kg pada 2 Juni 2022. Harganya sempat mencapai Rp 102.000 per kg pada Senin (11/7/2022), pada Selasa (12/7) turun jadi Rp 99.800 per kg.
Ketua Forum Petani Champion Cabai Jawa Tengah, Sunan saat dihubungi, Selasa (12/7/2022) mengatakan, harga cabai jatuh selama sekitar dua tahun terakhir atau sejak pandemi Covid-19. Harga cabai di tingkat petani bahkan sempat mencapai Rp 4.000 per kg. Kini, setelah adanya pelonggaran mobilitas masyarakat, permintaannya meningkat sekitar dua kali lipat.
Menurut dia, ada salah perhitungan petani karena begitu pelonggaran dilakukan dan cenderung kembali normal, banyak permintaan cabai seperti dari rumah makan, tempat wisata, hingga hajatan. ”Kebutuhan luar biasa banyak. Satu desa saja, setiap minggu ada tiga hajatan. Dengan asumsi per orang (pemilik) hajat itu memerlukan 40-50 kg cabai,” ujar Sunan.
Secara hitung-hitungan, lanjut Sunan, Jawa Tengah sebenarnya surplus cabai. Namun, Jawa Tengah bersama Jawa Timur mesti memenuhi kebutuhan cabai di wilayah Jabodetabek dan luar Pulau Jawa. Sementara di Jawa Timur, saat ini banyak tanaman cabai yang terserang penyakit tanaman bernama antraknosa atau biasa disebut patek.
Menurut Sunan, jika disebut petani cabai menikmati harga saat ini, tidak sepenuhnya tepat. Apalagi, dapat dikatakan, apa yang didapat petani kali ini sebenarnya untuk menutup kerugian akibat harga anjlok pada 2021. ”Petani lebih senang pada harga kisaran Rp 30.000-Rp 40.000 (per kg). Itu nyaman bagi kami dan pemasaran juga baik. Secara produktivitas pun stabil,” katanya.
Petani Champion Cabai Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Bagus Ananto, menyatakan, penyakit antraknosa mengganggu produksi cabai kali ini. Akibatnya, produksi turun sekitar 50 persen. Penanganannya pun tak mudah, setidaknya memerlukan waktu dua bulan.
Situasinya kini dirasa memberatkan petani karena biaya produksi naik seiring naiknya harga pupuk. Adapun petani cabai selama ini tidak menggunakan pupuk bersubsidi. ”(Pupuk) Nonsubsidi ini mahal. Tujuh bulan lalu, pupuk Mutiara (NPK), per zak (50 kg) masih bisa Rp 600.000-an, sekarang mendekati Rp 900.000 (per zak). Harapan kami, sarana produksi pertanian ini diperhatikan,” kata Bagus.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Riyanto berpendapat, selain peningkatan kebutuhan pada hari raya, harga bahan pangan akan naik saat ada gangguan pasokan. Cabai, misalnya, selama ini menjadi komoditas yang produksinya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan pola distribusi.
Menurut Riyanto, jika relatif kecil, kenaikan harga sebenarnya tidak masalah. Hal itu agar produsen juga memiliki insentif untuk memproduksi lebih banyak saat permintaan tinggi. Akan tetapi, perencanaan produksi untuk memenuhi permintaan yang tinggi pada waktu-waktu tertentu penting. ”Perencanaan produksi membutuhkan basis data yang valid dan reliable (andal),” katanya.
Mengenai cabai, lanjut Riyanto, masyarakat memang belum terbiasa menggunakan cabai kering yang sebenarnya memberi nilai tambah dan lebih tahan lama. ”Sulit mengubahnya karena bagi (sebagian besar) masyarakat, harus dari cabai segar. Ini soal selera. Namun, kebutuhan industri dan hotel seharusnya bisa dengan menggunakan cabai kering,” lanjut Riyanto.
Belum terantisipasi
Dekan Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Tinjung Mary Prihtanti menyatakan, fenomena iklim menyebabkan jumlah panen pangan fluktuatif. Sementara teknologi pertanian di Indonesia belum dikembangkan lebih optimal dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Penyebab lain kenaikan harga adalah masih kerap adanya tata niaga tak sehat, seperti upaya menahan kebutuhan barang kebutuhan pokok hingga sejumlah produk pertanian masih bergantung impor. ”(Karena itu) Pertanian memerlukan campur tangan pemerintah. (Soal pangan) Dibutuhkan jaminan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi masyarakat. Di sisi lain, kehidupan petani sebagai pelaku pertanian juga perlu dijamin,” ujarnya.
Sejumlah tantangan itu antara lain bisa diatasi dengan meningkatkan kemampuan produksi dengan memanfaatkan teknologi, mengatur pasokan, serta membuat kebijakan harga yang berpihak kepada petani. Distribusi produk pertanian dari daerah surplus ke daerah defisit juga perlu diatur, termasuk dengan mendorong lembaga buffer stock agar berperan optimal. ”Yang harus dipahami, kenaikan harga produk pertanian tak berkolerasi dengan naiknya keuntungan petani. Petani kita perlu segera ditolong," kata Tinjung.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, menuturkan, intervensi distribusi bahan pangan terus dilakukan, antara lain melalui pengiriman jagung dari gabungan kelompok tani atau penyalur di Kabupaten Bima (NTB) ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Intervensi juga dilakukan pada distribusi cabai rawit merah dari Kabupaten Wajo dan Takalar, Sulawesi Selatan, ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Retno Sri Hartati Mulyandari, menuturkan, pihaknya memasok 1 ton aneka cabai untuk Pasar Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pasokan itu berasal dari sentra cabai yang tergabung dalam Champion Cabai Sumedang, Jawa Barat.
Cabai rawit merah dan cabai merah keriting dijual dengan harga sama dengan harga di tingkat petani, yakni Rp 69.000 per kg. ”Cabai, di beberapa tempat mengalami kenaikan karena ada libur petik Idul Adha. Namun, (harga) masih terbilang stabil. Lewat GPM (gelar pangan murah) ini kami berupaya menambah pasokan sehingga mampu menekan harga di pasaran,” ujar Retno, dalam keterangannya, Selasa (12/7).
Upaya lain dalam menjaga ketersediaan bawang merah dan aneka cabai di pasaran ditempuh melalui kerja sama dengan pemerintah daerah dan jaringan Toko Tani Indonesia Center untuk distribusi dan pemasarannya. Pihaknya juga berkoordinasi secara intensif dengan petani, asosiasi, dan off-taker (penjamin serapan) untuk mengambil produk langsung dari sentra produksi guna memotong rantai pasokan. Selain itu, ada gerakan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).