Pemanfaatan teknologi mesti terus digalakkan dalam mengatur tata kelola ketersediaan dan kebutuhan pangan. Misalnya, dengan teknologi ozon, yang bisa memperpanjang waktu pemanfaatan komoditas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah upaya menahan dampak inflasi pangan global akibat perang Rusia-Ukraina, Indonesia malah dihadapkan pada lonjakan harga sejumlah bahan pokok yang banyak diproduksi di dalam negeri. Untuk mengatasi persoalan ini, produksi dan distribusi pangan perlu terus diperkuat.
Berdasarkan pantauan Kompas di sejumlah daerah, terjadi lonjakan harga beberapa bahan pokok, terutama cabai dan bawang merah, dalam sebulan terakhir. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga cabai rawit merah pada 18 Mei 2022 masih Rp 47.550 per kilogram, lalu merangkak naik menjadi Rp 65.100 per kg pada 2 Juni 2022. Harga komoditas tersebut terus melonjak hingga mencapai Rp 102.000 per kg pada Senin (11/7/2022).
Demikian pula halnya pada komoditas bawang merah ukuran sedang. Pada 12 Mei 2022 harganya masih Rp 39.800 per kg, lalu terus naik dan pada 15 Juni mencapai Rp 50.250 per kg. Pada Senin, harganya menyentuh Rp 64.750 per kg.
Dikutip dari situs Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Jumat (8/7/2022), kenaikan harga cabai yang terjadi sejak awal Juni 2022, antara lain, disebabkan produktivitas yang menurun sebagai dampak cuaca ekstrem. Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan April-Mei 2022 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan April-Mei 2021. Hal tersebut juga memicu peningkatan penyakit.
Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University Nunung Nuryartono, saat dihubungi Senin, mengatakan, perlu dilihat betul bagaimana produksi dan distribusi pangan selama ini.
”Kita mesti punya neraca bahan pangan tiap komoditas, seperti mana titik-titik produksi dan konsumsi. Lalu distribusinya bagaimana. Seharusnya bisa pakai aplikasi sehingga traceability (ketertelusuran) dalam konteks alur distribusi terdeteksi semua. Lalu pemerintah bersama pihak-pihak berwenang mesti menjaga jangan ada spekulan-spekulan yang memanfaatkan,” katanya.
Pemanfaatan teknologi, kata Nunung, mesti terus digalakkan dalam mengatur tata kelola ketersediaan dan kebutuhan pangan. Misalnya, dengan teknologi ozon, yang bisa memperpanjang waktu pemanfaatan komoditas. Teknologi itu sudah ada dan diyakini akan sangat baik jika diterapkan di berbagai sentra produksi pangan.
”Kita harus melihatnya dengan komprehensif. Daerah tak sekadar menjadi titik produksi, tetapi teknologi masuk. Pun dalam aspek distribusi atau sistem logistik, yang harus dipersiapkan dengan bagus. Mana daerah yang kekurangan harusnya langsung terdeteksi sehingga pengiriman bisa langsung dilakukan,” kata Nunung yang juga Dekan FEM IPB University.
Terkait lonjakan harga cabai dan bawang merah, yang memicu inflasi tahunan menjadi 4,35 persen per Juni 2022, Nunung mengingatkan agar daya beli masyarakat lapisan bawah mesti dijaga. ”Sebab, impaknya bisa berentet. Perlu dilihat apakah program-program pemerintah sudah benar-benar menjangkau masyarakat yang kesulitan,” kata Nunung.
Pemerintah, kata Nunung, harus betul-betul mewaspadai ancaman krisis energi dan pangan, yang antara lain telah membuat Sri Lanka kolaps. ”Untuk energi (bahan bakar minyak) kan sementara ini ditahan dengan subsidi yang cukup besar. Kebijakan fiskalnya jalan. Pada pangan, neraca bahan pangan per item itu mesti betul-betul dicermati,” katanya.
Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) yang kini telah terbentuk sebenarnya memiliki kewenangan dan tugas untuk memonitor produksi dan distribusi pangan setiap saat. Kepala NFA Arief Prasetyo Adi pernah mengatakan, pihaknya akan menyiapkan dasbor yang menunjukkan data pangan nasional berupa stok berbagai komoditas yang dapat diakses publik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, melalui keterangan pers, Kamis (7/7/2022), mengungkapkan, perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada perekonomian Indonesia, sekurang-kurangnya pada sektor pangan dan energi. Pemerintah masih mengabsorpsi dampak kenaikan harga komoditas global melalui kebijakan fiskal, antara lain dengan meningkatkan subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.
”Dalam jangka pendek, kebijakan perlindungan sosial perlu dipertebal untuk menjaga daya beli masyarakat miskin dan menengah ke bawah yang menjadi kelompok paling rentan dari dampak kenaikan harga,” katanya.
Pupuk
Pasokan pupuk di dalam negeri juga perlu mendapat perhatian karena sebagian bahan bakunya masih impor sehingga harganya melonjak tajam. Padahal, pupuk berkaitan erat dengan produksi pertanian sehingga juga menjadi faktor penting dalam menopang ketahanan pangan.
Direktur Utama PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Rahmad Pribadi, dalam wawancara tertulis dengan Kompas, menuturkan, sebagai produsen pupuk urea terbesar di Asia Tenggara, pihaknya menerapkan strategi mitigasi dalam menghadapi pasar petrokimia global yang kian dinamis. Harga natural gas dunia diperkirakan bakal naik signifikan, imbas krisis energi di Eropa. Juga ada pengaruh larangan ekspor pupuk oleh Pemerintah China, salah satu pemasok utama dunia untuk fosfat.
Selain inovasi dari sisi rantai pasok, PKT, bersama Pupuk Indonesia Group juga mengamankan pasokan bahan baku dan penjajakan sumber pemasok bahan baku dari sejumlah negara alternatif. ”Seperti Juni lalu, bersama Kementerian Pertanian dan melalui PT Pupuk Indonesia, kami menandatangani nota kesepahaman dengan Jordan Phospate Mines Co Plc (JPMC), perusahaan asal Jordania, untuk penyediaan bahan baku fosfat,” ujar Rahmad.
Hingga 30 Juni 2022, produksi pupuk urea PKT sebesar 48,4 persen dari target 2022 yang 3,42 juta ton. Sementara pada amoniak tercapai produksi 55,31 persen dari target 2,79 juta ton. Adapun produksi NPK 54,14 persen dari target 250.000 ton.