Ketegangan geopolitik akibat invasi Rusia ke Ukraina berdampak cepat dalam mendisrupsi sisi suplai dan mengganggu rantai pasok dunia, lalu mendorong lonjakan harga komoditas pangan serta energi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren inflasi global lambat laun mengerek inflasi domestik yang pada Juni 2022 berada di level tertinggi dalam lima tahun terakhir. Selain menggunakan anggaran negara sebagai peredam gejolak, untuk menjaga agar lonjakan inflasi global tidak berdampak pada penurunan daya beli, pemangku kebijakan juga diharapkan bisa mendorong kemandirian pangan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa inflasi Indonesia pada Juni 2022 yang tercatat 4,35 persen didominasi oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang signifikan hingga mencapai 10,07 persen secara tahunan. Sementara pada bulan sebelumnya inflasi harga pangan bergejolak tercatat sebesar 6,05 persen.
Kendati demikian, menurut Febrio, inflasi yang dialami Indonesia masih tergolong moderat ketimbang laju inflasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) yang mencapai 8,6 persen; serta kawasan Uni Eropa mencapai 8,8 persen.
Pemerintah akan terus memantau dan memitigasi sejumlah faktor, baik yang berasal dari eksternal maupun internal yang dapat berpengaruh terhadap lonjakan inflasi nasional.
Meskipun begitu, pemerintah akan terus memantau dan memitigasi sejumlah faktor, baik yang berasal dari eksternal maupun internal yang dapat berpengaruh terhadap lonjakan inflasi nasional. Dari internal, lanjut Febrio, peningkatan harga komoditas pangan meliputi cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah akibat curah hujan tinggi di wilayah sentra produksi sehingga menimbulkan gagal panen dan terganggunya distribusi.
”Untungnya di sisi lain, harga minyak goreng mulai turun seiring melandainya harga minyak sawit mentah CPO (crude palm oil),” ujarnya.
Sementara dari sisi eksternal, Ketegangan geopolitik akibat invasi Rusia ke Ukraina berdampak cepat dalam mendisrupsi sisi pasokan dan mengganggu rantai pasok dunia. Hal ini yang kemudian mendorong peningkatan inflasi global dan lonjakan harga komoditas pangan serta energi secara merata ke berbagai kawasan termasuk ASEAN.
”Pangan dan energi sangat penting bagi masyarakat sehingga Pemerintah akan terus mengantisipasi dan memitigasi risiko dari kenaikan harga kelompok pangan bergejolak melalui berbagai kebijakan untuk menjamin kecukupan pasokan dan keterjangkauan harga pangan bagi masyarakat,” kata Febrio.
Dalam rangka mengantisipasi kenaikan harga komoditas pangan dan energi global, pemerintah secara konsisten berupaya menjaga agar peran APBN sebagai penyerap gejolak (shock absorber) dapat berfungsi optimal untuk mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat serta menjaga agar pemulihan ekonomi makin menguat.
Upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan di antaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng dan mempertahankan harga jual bahan bakar minyak (BBM), elpiji, dan listrik tidak mengalami peningkatan.
Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun. Total tambahan alokasi tersebut terdiri dari tambahan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji, dan listrik sebesar Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) sebesar Rp 275 triliun.
Dalam APBN 2022 sebelum perubahan, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi telah ditetapkan Rp 152,5 triliun, terdiri dari anggaran untuk subsidi sebesar Rp 134 triliun dan kompensasi sebesar Rp 18,5 triliun. Dengan adanya perubahan ini, anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam postur APBN 2022 menjadi sebesar Rp 502,4 triliun.
Dalam Kajian Tengah Tahun Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) 2022, bayang-bayang krisis pangan tentu memberatkan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Oleh karena itu, diperlukan langkah taktis dan fundamental melalui strategi reformulasi kemandirian ekonomi di tengah dinamika global.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan untuk mencapai kemandirian pangan, upaya meningkatkan produktivitas pangan bisa ditempuh dengan cara memberi insentif sehingga petani terdorong meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pangan. Di samping itu, kemitraan dan integrasi dengan industri di sisi hilir juga perlu diperkuat.
Untuk memupuk kemandirian fiskal, lanjut Tauhid, diperlukan langkah pemfokusan ulang kualitas belanja APBN, dengan penundaan atau pembatalan program dan proyek yang tidak relevan dan bukan kebutuhan yang mendesak, seperti pembangunan Ibu Kota Baru. Hal ini bertujuan agar mengoptimalkan peran APBN sebagai penyerap gejolak di tengah dinamika global.
Diperlukan juga peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Peningkatan produk dalam negeri dapat diinisiasi oleh pemerintah melalui kebijakan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah melalui komponen belanja barang dalam APBN. ”Pengadaan barang untuk BUMN juga dapat diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan barang lokal,” ujar Tauhid.
Langkah selanjutnya adalah percepat industrialisasi melalui hilirisasi sumber daya alam, salah satunya dengan mendorong peran investasi/penanaman modal. Hal ini penting untuk memastikan Indonesia bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah di masa depan.