Sejumlah harga bahan pokok naik dalam beberapa hari terakhir. Rupiah yang melemah terhadap mata uang dollar AS berpotensi pula menaikkan inflasi di dalam negeri.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, ADITYA PUTRA PERDANA, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia masih dihantui ancaman inflasi akibat meningkatnya harga pangan. Dalam situasi ketidakpastian ekonomi global dan perang Rusia-Ukraina, rantai pasok global pun terganggu yang imbasnya merembet hingga menyebabkan lonjakan harga pangan dunia.
”Perang membuat rantai pasok pangan dan pupuk terganggu. Beberapa negara sudah mengalami kenaikan harga pangan sangat signifikan. Ini menjadi perhatian kita walau inflasi pangan nasional masih terkendali akibat produksi yang baik,” ujar Sri Mulyani dalam seminar internasional Securitization Summit 2022 bertema ”Unlocking Securitization Role in Developing Sustainable Finance” yang berlangsung hibrida di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Di tengah stabilitas produksi dan pergerakan harga komoditas pangan dalam negeri, tambah Sri Mulyani, pemerintah tetap mewaspadai pergerakan inflasi tahunan yang hingga semester I-2022 sudah mencapai 3,6 persen. Untuk menjaga tingkat inflasi sesuai target 2-4 persen tahun ini, pemerintah bersama otoritas terkait akan tetap menjaga momentum pemulihan ekonomi domestik yang sangat kuat, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 mencapai 4,9-5,4 persen.
”Mesin pertumbuhan ekonomi mulai didorong dari sisi konsumsi rumah tangga, investasi dalam bentuk berbagai macam ekspansi kapasitas, dan juga dari sektor eksternal. Untuk itu, APBN mulai bergeser menjadi instrumen menjaga tingkat konsumsi dan investasi,” ujarnya.
Adapun untuk menjaga tingkat konsumsi, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 104,8 triliun untuk membayar kompensasi bahan bakar minyak dan listrik pada semester I-2022. Realisasi tersebut setara 35,7 persen dari pagu yang dianggarkan pemerintah dalam belanja negara tahun ini sebesar Rp 293,5 triliun.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan terus memantau kenaikan harga bahan pokok, yang menjadi penyumbang inflasi, terlebih menjelang Idul Adha. Komunikasi terus dijalin antarkementerian/lembaga guna mencari solusi agar harga dapat terjangkau oleh masyarakat, sementara, di hulu, petani mendapat harga baik.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, Rabu (6/7), harga daging sapi kualitas 1 di tingkat nasional ialah Rp 138.000 per kilogram (kg) atau meningkat dari 30 Juni 2022 yang sebesar Rp 137.700 per kg. Adapun harga cabai rawit merah Rp 97.250 per kg atau naik dari 30 Juni yang sebesar Rp 95.300 per kg. Sementara harga bawang merah ukuran sedang Rp 60.750 per kg atau meningkat dari empat hari sebelumnya, Rp 60.250 per kg.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Jakarta, Rabu, mengatakan, sejak mulai menjabat Menteri Perdagangan, yang dilakukannya ialah meninjau harga berbagai komoditas di pasar tradisional di berbagai daerah. Kendati ada sejumlah komoditas seperti telur dan ayam yang harganya sudah berangsur turun di beberapa tempat, diakuinya harga masih tetap tinggi. Adapun harga beras dan gula stabil.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, jika kondisi tidak banyak berubah, bukan tidak mungkin pada akhir tahun inflasi bisa mencapai 5 persen. Adapun pada Juni 2022, inflasi Indonesia 4,3 persen.
Rekomendasi Indef atas situasi tersebut antara lain meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri lewat insentif bagi petani, meningkatkan penggunaan produk buatan dalam negeri, mempercepat hilirisasi sumber daya alam, dan mempercepat realisasi kerja sama perdagangan dengan negara nontradisional.
Faktor lain yang berpotensi menaikkan inflasi adalah kian melemahnya rupiah terhadap dollar AS. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan Rabu ditutup di posisi Rp 15.015 per dollar AS.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, berpendapat, ada kaitan antara depresiasi rupiah dan potensi kenaikan inflasi. Depresiasi rupiah membuat harga barang impor semakin mahal. Adapun konsumsi dan bahan baku industri manufaktur masih bergantung pada impor.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menambahkan, depresiasi rupiah memiliki dampak menguntungkan sekaligus merugikan. Pihak yang diuntungkan adalah eksportir. Dengan jumlah penjualan dan uang yang sama, mereka memperoleh tambahan nilai uang dari konversi dollar AS ke rupiah. Pihak yang dirugikan adalah importir. Mereka mengalami kenaikan ongkos secara tidak langsung yang dipicu dari naiknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Apalagi, industri manufaktur masih sangat bergantung pada impor.