Upaya mengurangi sampah makanan di sektor industri pariwisata bisa dimulai dari manajemen bahan masakan hingga pengelolaan residu makanan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor industri pariwisata, terutama hotel, restoran, dan jasa boga, turut menjadi penyumbang sampah makanan. Untuk mengatasi masalah ini, solusi yang bisa dipakai adalah perbaikan manajemen bahan masakan hingga pengelolaan residu makanan secara integratif.
Wakil Ketua Yayasan Generasi Baru Dapur Indonesia (GBDI) Fahrur Rosidi menggambarkan, subsektor jasa boga sering kali menyisakan 5-15 persen kelebihan pangan siap santap. Kemudian, katering acara menyisakan 10-15 persen makanan yang sudah disiapkan, tetapi tidak habis dikonsumsi. Adapun katering industri menyisakan 5 persen pangan siap santap.
”Masih ada sejumlah pengusaha di subsektor jasa pariwisata itu yang tidak mau memikirkan dampak kelebihan pangan siap santap. Konsumen mereka juga kerap tidak peduli. Kalaupun mau dilakukan manajemen sampahnya, masih ada penyedia jasa dan konsumen yang tidak bersedia karena bakal ada ongkos tambahan,” ujar Fahrur dalam diskusi bertajuk ”Pengelolaan Food Waste pada Industri Pariwisata”, Kamis (7/7/2022), di Jakarta.
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Ida Bagus Wayan Gunam, mengatakan, subsektor usaha perhotelan termasuk paling banyak menghasilkan sampah makanan dibandingkan restoran, kafetaria, dan kantin. Fenomena ini terjadi secara global.
Menurut Ida Bagus, tenaga kerja yang tidak terlatih, cara pengelolaan stok bahan masakan ataupun proses produksi makanan yang tidak efisien, dan kurangnya identifikasi keinginan tamu bisa menjadi penyebab masih timbulnya sampah makanan di perhotelan. Staf hotel dan tamu perlu memiliki kesadaran untuk mengantisipasi terjadinya sampah makanan.
CEO Surplus Indonesia M Agung Saputra menambahkan, ada opsi lain untuk mengatasi makanan berlebih tersebut, yakni menjual makanan berlebih kepada warga dengan harga lebih murah. Sebagai contoh, Fave Hotel di Bandung, Funny Pancake ’n Coffee di Bali, dan Roti Bee di Bali. Ketiganya bekerja sama dengan Surplus Indonesia untuk memasarkan makanan berlebih lewat aplikasi Surplus.
”Dari data internal kami, hotel dan restoran yang sudah bekerja sama dengan kami bisa mengurangi financial loss 50-80 persen,” ujar Agung.
Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Frans Teguh mengatakan, solusi pertama untuk mengurangi sampah makanan di sektor industri pariwisata adalah edukasi terus-menerus, baik kepada pelaku industri maupun wisatawan. Solusi kedua yaitu mendorong pelaku industri punya sistem pengelolaan sampah makanan secara terpadu.
“Beberapa pelaku industri pariwisata sudah mempunyai manajemen sampah makanan, tetapi kekurangannya belum aktif mengadopsi teknologi. Jika menggunakan teknologi, misalnya perangkat digital, mereka akan lebih mudah melakukan pengadaan dan mendeteksi potensi food waste atau food loss,” ujarnya.
Dari sisi pemerintah, dia menyebut sudah ada wacana skema insentif investasi hijau bagi bisnis yang berkecimpung di pengelolaan limbah terpadu. Adanya insentif dinilai mampu memacu pengurangan sampah makanan.