Sekuritisasi Aset Dinilai Bisa Urai Problem Pembiayaan Rumah
Masalah kekurangan kepemilikan dan keterhunian rumah dinilai berpotensi meningkat karena peningkatan daya beli tak mampu mengejar kenaikan harga rumah. Tak hanya tanah, kenaikan harga material dorong inflasi perumahan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan papan di Tanah Air masih menjadi tantangan besar. Harga hunian yang terus melambung membuat masyarakat sulit membeli rumah. Peran sekuritisasi kredit pemilikan rumah dinilai bisa menjadi salah satu jalan keluar dari masalah pembiayaan rumah.
Secara umum, sekuritisasi aset adalah proses penciptaan surat berharga dengan agunan berupa piutang. Adapun sekuritisasi kredit pemilikan rumah (KPR) adalah penjualan tagihan KPR milik perbankan kepada investor di pasar modal melalui penerbitan efek beragun aset (EBA). Dana hasil penerbitan dapat digunakan sebagai tambahan likuiditas perbankan yang dapat disalurkan kembali untuk pembiayaan KPR.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kekurangan (backlog) kepemilikan rumah saati ini telah mencapai 12,75 juta, sedangkan backlog berdasarkan keterhunian rumah mencapai 7,6 juta. Jika masalah ini tidak diurai, di tengah demografi kependudukan Indonesia yang didominasi penduduk dengan usia relatif muda, antrean kebutuhan rumah semakin panjang.
”Backlog bisa terus meningkat karena pertumbuhan daya beli masyarakat tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah. Jika tidak diurai, masalah ini akan terus menggulung setiap generasi,” ujarnya dalam pembukaan Seminar Internasional Securitization Summit 2022 bertema ”Unlocking Securitization Role in Developing Sustainable Finance” yang berlangsung secara hibrida, Rabu (6/7/2022).
Backlog bisa terus meningkat karena pertumbuhan daya beli masyarakat tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah.
Sri Mulyani menambahkan, masalah pasokan yang menyebabkan adanya backlog hunian tidak hanya disebabkan oleh pergerakan harga tanah yang signifikan, teruatama di kota-kota besar, tetapi juga karena inflasi harga bahan baku rumah. Jika masalah ini tidak diurai, dampaknya bisa merembet pada lesunya perekonomian negara.
”Kontribusi sektor perumahan terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) cukup signifikan dengan share terhadap PDB (produk domestik bruto) di atas 13 persen. Terlebih lagi sektor hunian juga punya kontribusi yang besar terhadap penciptaan lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Untuk menjembatani ketimpangan pemenuhan kebutuhan hunian, kata Sri Mulyani, dari sisi APBN pemerintah menggelontorkan sejumlah insentif dengan memanfaatkan instrumen keuangan negara. Pemerintah telah menggelontorkan dana mencapai Rp 85,7 triliun melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang diberikan sejak 2010 hingga semester I-2022.
Sri Mulyani menyebut anggaran FLPP yang disediakan dalam APBN 2022 mencapai Rp 19,1 triliun untuk 200.000 rumah masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan hunian yang mencapai 12,7 juta unit. Untuk itu, sekuritisasi KPR dapat berperan untuk menopang keuangan negara dalam upaya menekan tingkat kekurangan hunian.
Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) Ananta Wiyogo menyampaikan, sekuritisasi akan menjembatani antara aset tidak likuid seperti portofolio KPR dan tenor pembayaran 15 tahun bisa menjadi likuid di pasar modal. Sekuritisasi aset dinilainya amat bermanfaat untuk memperkuat ekosistem pembiayaan perumahaan di Tanah Air.
Melalui instrumen keuangan yang relatif aman dengan imbal hasil yang baik, maka investor akan merasa nyaman untuk meningkatkan investasi mereka pada EBA. Imbasnya likuiditas yang dihasilkan dari instrumen ini dapat kembali disalurkan untuk menekan kekurangan tingkat hunian secara nasional.
”Perseroan membuka diri kepada Kementerian Keuangan dalam memberi masukan untuk membangun ekosistem pembiayaan perumahaan yang lebih kuat di Indonesia,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Herry Trisaputra Zuna mengatakan, untuk menekan backlog tingkat hunian, pemerintah mendorong para pengembang untuk terlibat dan berkolaborasi membangun rumah vertikal alias rumah susun (rusun) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Tantangan ke depan di daerah perkotaan adalah masalah urbanisasi yang cukup tinggi dan masih banyak masyarakat yang menempati rumah tinggal tidak layak huni. ”Pemerintah dan pihak swasta perlu berkolaborasi bersama dengan pengembang untuk menggalakkan rumah vertikal bagi rumah subsidi,” ujarnya.
Ketahanan pangan
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menyebut dalam tiga tahun terakhir ketahanan pangan Indonesia masih berada dalam kondisi optimal karena produksi dalam negeri yang masih cukup tinggi di tengah keterbatasan pasokan impor bahan baku pangan serta tingginya harga pangan dunia akibat gejolak geopolitik global.
”Ketahanan pangan Indonesia aman dari sisi produksi beras dan komoditas pangan lainnya baik untuk kebutuhan dalam negeri bahkan ekspor. Pemerintah masih terus membangun ketahanan pangan terutama di tengah situasi geopolitik yang menimbulkan kerawanan ketahanan pangan,” ujarnya.
Ketahanan pangan ini pun menjadi isu yang mengemuka dalam presidensi G20 Indonesia seiring kini menjadi sumber inflasi dunia dengan adanya perang di Ukraina yang menimbulkan dampak rantai pasok khususnya terhadap makanan dan pupuk.