Mewujudkan Rumah Impian bagi Warga Indonesia
Keterbatasan lahan menjadi pangkal persoalan penyediaan hunian rakyat. Mengapa pemerintah tidak menggunakan aset-asetnya berupa kantor, pasar, bank, atau lahan kosong untuk dibangun hunian terpadu bersubsidi?
Belum semua masyarakat Indonesia mampu membeli rumah. Kekurangan penyediaan rumah dan terus melambungnya harga rumah membuat sebagian masyarakat masih bermimpi memiliki rumah. Program Sejuta Rumah dapat dikembangkan untuk mewujudkan harapan kepemilikan hunian idaman bagi masyarakat urban dan berusia milenial.
Gambaran belum semua warga memiliki rumah terekam dari Statistik Kesejahteraan 2020 yang mencatat baru 80,1 persen keluarga di Indonesia yang memiliki rumah. Data tersebut memberikan petunjuk bahwa masih ada satu dari lima keluarga yang belum memiliki hunian sendiri.
Kurangnya pasokan rumah dan minimnya daya beli membuat sebagian masyarakat belum mampu membeli hunian. Sejumlah langkah tekah dilakukan pemerintah seperti membuat Program Sejuta Rumah untuk menjawab kebutuhan perumahan bagi warganya.
Saat mencanangkan pada 29 April 2015 oleh Presiden Joko Widodo menyebutkan satu juta rumah ditargetkan dibangun setiap tahun. Kebijakan ini terutama diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yaitu kelompok nelayan, pekerja/buruh, PNS, TNI, dan Polri.
Program Sejuta Rumah tersebut terbagi menjadi pembangunan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan rumah untuk non-Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Pembangunan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dilaksanakan oleh Kementerian PUPR dalam bentuk rumah susun, rumah khusus, dan rumah swadaya.
Di samping Kementerian PUPR, pembangunan rumah subsidi juga dilaksanakan oleh kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, pengembang, program corporate social responsibility (CSR), serta masyarakat.
Tahun ini, capaian Program Sejuta Rumah adalah 763.127 unit. Pembangunan hunian hingga 30 September 2021 tersebut terdiri dari 571.028 unit rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan 192.099 unit rumah non-MBR.
Dengan tambahan 763.127 unit di tahun ini, sejak 2015 Program Sejuta Rumah telah membangun 6.517.444 unit hunian di seluruh Indonesia. Pada 2018 dan 2019 pembangunan rumah tersebut bahkan melampaui target satu juta dalam satu tahun. Sebanyak 1.132.621 unit rumah dibangun pada 2018 dan pada 2019 dibangun 1.263.634 unit tempat tinggal.
Pembangunan hunian tersebut terus dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Tak dimungkiri hingga saat ini masih ada ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal.
Kekurangan penyediaan rumah terlihat dari catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Saat ini angka kekurangan rumah (backlog) mencapai 7,6 unit. Jumlah tersebut dapat terus naik karena kebutuhan rumah mencapai 500.000-700.000 unit per tahun. Ini artinya, persoalan pemenuhan kebutuhan dasar papan masih jadi kebutuhan mendesak sekalipun Program Sejuta Rumah telah dilaksanakan.
Kawasan urban
Pangkal persoalannya adalah keterbatasan lahan yang dimiliki untuk membangun rumah bersubsidi. Problem tersebut diiringi oleh keterbatasan anggaran Negara yang masih harus berbagi dengan berbagai proyek infrastruktur lainnya seperti pembangunan jalan tol, jalur kereta api, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan lain-lain.
Betul, bahwa di satu sisi ada keterbatasan daya beli masyarakat dan kekurangan pasokan rumah. Namun, kedua hal tersebut merujuk pada keterbatasan lahan yang membuat pembangunan rumah belum mampu mengimbangi kebutuhan hunian warga serta melambungnya harga rumah yang tidak terjangkau oleh masyarakat luas.
Sebagaimana infrastruktur jalan tol, laju pengembangan pembangunan rumah bersubsidi juga terkendala di pasokan lahan. Terlebih, ketersediaan lahan tersebut cukup minim di kawasan perkotaan.
Akibatnya, hunian atau tempat tinggal di kawasan perkotaan semakin tidak terjangkau terlebih bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak lain dari mahalnya harga rumah di kawasan perkotaan adalah terdorongnya lokasi rumah bersubsidi berada jauh dari pusat kota. Sebagai contoh, beberapa lokasi rumah bersubsidi di seputaran Jakarta berjarak 40-70 kilometer, seperti di kawasan Maja, (Lebak), Ciampea (Bogor), dan Tambun Utara (Bekasi).
Melihat kekurangan penyediaan rumah (backlog) dan kebutuhan rumah baru yang terus meningkat setiap tahunnya, pemerintah perlu mengantisipasi program pembangunan rumah dengan mencermati sejumlah fenomena terutama konsumsi pasar perumahan saat ini.
Fenomena pertama yang dapat dicermati adalah sebaran lokasi penduduk. Dari hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan 56 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Jumlah penduduk urban ini diprediksi terus meningkat menjadi 66 persen pada 2035.
Tumbuhnya populasi yang tinggal di kawasan perkotaan ini seiring perkembangan wilayah kota yang menawarkan banyak lapangan kerja dan fasilitas hidup. Salah satu kawasan perkotaan yang banyak menarik penduduk untuk tinggal di sana adalah Jabodetabek.
Terdapat 8,7 juta rumah tangga di wilayah Jabodetabek dengan 28,7 persen di antaranya merupakan rumah tangga komuter. Kelompok masyarakat ini merupakan segmen yang membutuhkan hunian.
Namun, seiring berkembangnya kawasan, harga rumah di seputar Jabodetabek terus mengalami kenaikan pesat dan harga rumah makin tidak terjangkau. Merujuk data BTN House Price Index (HPI) kuartal I-2021, Jabodetabek merupakan kawasan dengan pertumbuhan harga rumah tertinggi di Indonesia. Kenaikannya sebesar 5,88 persen secara tahunan (year-on-year).
Milenial
Fenomena kedua selain lokasi populasi adalah dominannya konsumen usia muda terutama dari generasi milenial. Data Sensus Penduduk 2020 dari BPS menyebutkan, saat ini penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z (1997--2012) dan generasi Milenial (1981--1996). Proporsi kedua generasi tersebut mencapai 53 persen dari total populasi.
Populasi generasi Milenial bukan hanya masuk dalam kategori usia produktif dan usia tenaga kerja, tapi juga menjadi populasi keluarga muda Indonesia saat ini. Tidak heran, jika konsumen yang mencari hunian saat ini didominasi generasi milenial dan generasi Z.
Generasi ini memiliki tipikal pencarian hunian secara digital. Hampir 90 persen pencarian properti yang dilakukan kelompok masyarakat berusia 25-34 tahun ini dilakukan melalui telepon pintar (Kompas 30/9/2021).
Kekhasan lain, mereka memilih hunian bukan sebagai tempat tinggal semata, tapi juga membuka ruang-ruang hunian sebagai tempat berekspresi yang lekat dengan kawasan komersial, hiburan, dan mudah diakses. Karenanya, model membangun properti campuran (mixed use) yang memadukan areal komersial di kawasan hunian, dengan akses yang dekat dengan jalur transportasi massal seperti kereta komuter dan bis menjadi daya tawar menarik bagi pangsa pasar utama properti saat ini.
Perpaduan program pembangunan perumahan rakyat dengan melihat kebutuhan kelompok masyarakat yang membutuhkan hunian dapat dilakukan sebagai strategi mengurangi backlog rumah. Saat ini sebagian keluarga muda (kaum milenial) berada di seputar perkotaan yang membutuhkan hunian murah dengan dukungan akses trasportasi publik dan fasilitas sosial.
Kemampuan pemerintah dalam Program Sejuta Rumah juga dapat dikembangkan dengan menambah porsi pembangunan hunian di luar Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Tidak dimungkiri, fenomena lain dari harga rumah yang terus meningkat membuat ceruk masyarakat yang belum bisa membeli rumah juga makin melebar.
Pada 2018 dan 2019, Program Sejuta Rumah bahkan melampaui target satu juta hunian dalam satu tahun
Sekalipun pemerintah sudah memperluas batasan penghasilan yang dapat memanfaatkan KPR Bersubsidi maksimal Rp 8.000.000, tetapi di masa lesunya perekonomian rakyat akibat pandemi Covid-19 ini tidak hanya masyarakat berpenghasilan rendah, melainkan juga dari kalangan masyarakat berpenghasilan terbatas yang juga terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya.
Kebijakan pemerintah melalui Program Sejuta Rumah perlu mendapat dukungan dari legislatif dengan menambah anggaran perumahan untuk mewujudkan jutaan impian masyarakat Indonesia yang belum memiliki hunian idaman. Tambahan anggaran ini bukan hanya membuat program pembangunan hanya sebatas satu juta unit, tapi meningkat menjadi dua juta unit bahkan tiga juta unit dengan sasaran penduduk yang juga meluas.
Baca juga: Milenial Mendominasi Pasar Properti
Dukungan juga dibutuhkan dari pemerintah daerah untuk menyediakan lahan-lahan strategis bagi pembangunan hunian terpadu. Aset-aset pemerintah daerah berupa perkantoran, pasar, bank, atau lahan kosong dapat diubah menjadi kawasan hunian terpadu seperti rumah susun Pasar Rumput, Jakarta Selatan yang dilengkapi pasar dan fasilitas sosial lainnya.
Model pembangunan hunian terpadu ini dapat diterapkan di berbagai lokasi yang menjadi aset pemda di seputar Jabodetabek untuk menjawab permasalahan kekurangan pasokan hunian sekaligus membantu masyarakat yang mengalami kesulitan daya beli untuk memenuhi kebutuhan hunian layak yang terjangkau. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Milenial Kian Sulit Gapai Rumah Impian