Bank Dunia: Pandemi Covid-19 Ungkit Penggunaan Layanan Keuangan Digital
Bank Dunia menyebutkan dua pertiga orang dewasa di dunia sekarang melakukan atau menerima pembayaran digital. Di negara berkembang, porsi orang dewasa yang menerima pembayaran digital tumbuh menjadi 57 persen pada 2021.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, sesuai laporan studi Bank Dunia, ”Global Findex Database 2021”, menyebabkan peningkatan penggunaan pembayaran digital. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, tidak termasuk China, lebih dari 40 persen orang dewasa melakukan pembayaran daring untuk pertama kalinya saat pandemi.
Lebih dari sepertiga orang dewasa di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2021 telah membayar tagihan listrik langsung dari rekening resmi. Di India, lebih dari 80 juta orang dewasa melakukan pembayaran digital pertama kali setelah dimulainya pandemi Covid-19, sementara di China terdapat lebih dari 100 juta orang dewasa melakukannya.
Dalam laporan yang sama, Bank Dunia menyebutkan, dua pertiga orang dewasa di seluruh dunia sekarang melakukan atau menerima pembayaran digital. Di negara berkembang, porsi orang dewasa yang melakukan atau menerima pembayaran digital tumbuh dari 35 persen pada 2014 menjadi 57 persen pada 2021.
Di negara berkembang juga, 71 persen memiliki rekening di bank, akun layanan finansial di lembaga finansial lain, ataupun aplikasi keuangan yang bisa diakses dengan ponsel pintar. Porsi itu naik dari 63 persen pada 2017 dan 42 persen pada 2011.
World Bank Group President David Malpass dalam pernyataan resmi, Kamis (30/6/2022), mengatakan, revolusi digital telah mendorong peningkatan akses dan penggunaan layanan keuangan di seluruh dunia. Cara orang melakukan transaksi pembayaran, meminjam, dan menabung juga ikut berubah.
”Pemerintah perlu menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung, mempromosikan digitalisasi pembayaran, serta memperluas akses lebih lanjut ke rekening formal dan layanan keuangan, terutama bagi perempuan dan orang miskin. Prioritas kebijakan seperti itu dapat mengurangi potensi kemunduran pembangunan akibat tumpang tindih krisis,” ujar Malpass.
Untuk Indonesia, Bank Dunia melaporkan indeks inklusi keuangan Indonesia tahun 2017 hanya sebesar 48,9 persen. Kemudian, indeks inklusi keuangan Indonesia tahun 2021 naik tipis menjadi sekitar 51 persen.
Persentase orang dewasa Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas dan belum memiliki akun rekening bank semakin berkurang. Laporan Global Findex Database 2014 menyebutkan persentasenya 64 persen, kemudian 51 persen pada 2017, dan menjadi 48 persen pada 2021.
Mengenai praktik pembayaran daring, Global Findex Database 2021 melaporkan, praktik pembayaran tagihan utilitas sangat bervariasi. Di Mesir, misalnya, hampir semua orang yang melakukan pembayaran utilitas secara tunai, seperti halnya lebih dari 80 persen dari mereka yang membayar tagihan listrik di Indonesia, Maroko, Myanmar, dan Pakistan. Namun, di banyak negara di Afrika sub-Sahara, termasuk Kenya dan Uganda, Brasil, Republik Islam Iran, Malaysia, Mongolia, Rusia, dan Turki, mayoritas orang dewasa membayar tagihan listrik langsung dari rekening bank.
Studi itu menunjukkan bahwa ponsel dapat mengatasi beberapa hambatan orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank dan tidak bisa mengakses layanan keuangan. Misalnya, layanan keuangan digital yang tersedia di ponsel pintar dapat mengurangi masalah jarak fisik antara lembaga keuangan dan pelanggan mereka. Di Indonesia, misalnya, 36 persen orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank menyebut jarak ke kantor lembaga keuangan sebagai penghalang dan 55 persen di antara kelompok ini melaporkan memiliki ponsel.
Infrastruktur
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras Adha, Kamis, di Jakarta sependapat dengan laporan Global Findex Database 2021 bahwa pandemi menjadi berkah terselubung terhadap peningkatan inklusi keuangan, khususnya dari sisi penggunaan layanan finansial digital. Namun, peningkatan tersebut tidak banyak dirasakan oleh masyarakat yang minim akses terhadap internet. Kebanyakan masyarakat tersebut masuk dalam kategori miskin dan mayoritas berada di wilayah perdesaan.
”Inklusi keuangan memiliki tren meningkat. Namun, inklusi keuangan pada layanan keuangan digital masih bergantung pada akses pada internet, sebab akses internet sangat beragam di berbagai tingkatan sosial-ekonomi dan antarwilayah,” ucap Al Farras.
Ekosistem ekonomi digital membuat para pelaku industrinya harus berkolaborasi untuk bisa mengembangkan bisnisnya. Ditambah lagi, semakin besarnya skala bisnis, ada kebutuhan pelaku usaha untuk memperluas cakupan bisnis ke lini bisnis terkait untuk mengurangi biaya proses bisnis ataupun belanja modal. Fenomena ini, menurut Al Farras, bagus untuk meningkatkan inklusi keuangan pada layanan keuangan digital.
”Masih ada peluang meningkatkan inklusi keuangan digital melalui program QRIS Bank Indonesia. Adanya program tersebut juga membuat potensi peningkatan akses nasabah layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi,” kata Al Farras.