Risiko Negatif Kebijakan Visa Nomaden Digital Perlu Diantisipasi
Rencana pemerintah menerapkan visa nomaden digital memerlukan kajian yang matang dan pengawasan wisman yang ketat.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan visa nomaden digital bisa menjadi terobosan yang memudahkan warga negara asing bekerja sambil berwisata. Terobosan ini diyakini mampu meningkatkan jumlah kunjungan, lama tinggal, dan pengeluaran wisatawan saat berada di Indonesia. Akan tetapi, pemerintah perlu mengantisipasi dampak buruk yang berpotensi muncul dari kebijakan itu.
Nomaden digital adalah orang yang mencari nafkah dengan bekerja jarak jauh, biasanya memakai mekanisme dalam jaringan (daring), dan berada di berbagai lokasi pilihan mereka (bukan lokasi bisnis tetap). Nomaden digital bisa berasal dari orang yang bekerja tetap pada perusahaan, pekerja lepas yang dengan waktu dan tempat yang fleksibel, dan pelaku bisnis daring.
Penasihat Tim Ekonomi Kerthi Bali Research Center Universitas Hindu Indonesia, Cipto Gunawan, saat dihubungi pada Rabu (29/6/2022) di Jakarta mengatakan, nomaden digital mulai populer sekitar tahun 2010. Sejumlah ruang kerja bersama atau coworking space di sejumlah negara menjadi incaran mereka, termasuk Coworking Space Hubud (Ubud, Bali), Ko Hub (Ko Lanta, Thailand), dan Hubba (Bangkok, Thailand). Karena pandemi Covid-19, mereka mencari lokasi-lokasi yang memiliki kasus Covid-19 relatif rendah, terbuka dikunjungi, dan ditinggali dalam waktu lebih lama dari biasanya. Selain itu, karena pandemi pula, pekerja jarak jauh (remote worker) semakin banyak bermunculan.
Orang-orang seperti itu memerlukan visa khusus agar bisa tinggal lebih lama di suatu negara karena normal visa hanya 30–90 hari. Bali, Indonesia termasuk salah satu destinasi incaran nomaden digital ataupun pekerja jarak jauh. Beberapa contoh destinasi lainnya ialah Ceko, Estonia, Thailand, Portugal, Spanyol, dan Kroasia.
”Konsep bekerja dari Bali yang sempat didorong pemerintah merupakan turunan dari nomaden digital. Indonesia butuh kebijakan visa khusus nomaden digital karena pasarnya telah berkembang, walaupun sisi negatifnya tinggi,” katanya.
Cipto lantas menyebutkan sejumlah sisi negatif nomaden digital. Sebagai contoh, definisi bekerja secara legal di banyak daerah tidak terlalu jelas sehingga ada kecenderungan muncul konflik pajak. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh oknum nomaden digital untuk kepentingan negatif. Sisi negatif lain ialah potensi kejahatan siber dan konflik sosial budaya.
Menurut Cipto, rencana pemerintah menerapkan kebijakan visa nomaden digital seharusnya disertai mekanisme pendaftaran dan pengawasan orang asing yang cukup ketat. Oleh karena itu, pemberian waktu lamanya visa yang berlaku sangat penting diperhatikan.
”Hal yang mengkhawatirkan, kini muncul rumor pemerintah akan memberikan durasi visa nomaden digital lima tahun seperti visa second home. Ini terlalu lama, bahkan beberapa negara lain yang lebih dulu menerapkan tidak lebih dari 24 bulan. Semakin lama jangka waktu visa, semakin tinggi pula risiko penyelewengan dan semakin sulit mengawasi,” ujarnya.
Lebih jauh, saran dia, pemerintah harus menerapkan kriteria ketat. Sebagai contoh, warga negara asing bersangkutan harus menyertakan bukti minimum penghasilan, asuransi kesehatan dan perjalanan, bukti kerja sendiri tanpa kepemilikan, bukti bekerja dengan perusahaan, dan police background check. Pemerintah juga harus membuat daftar pekerjaan yang boleh ataupun dilarang.
Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Mohamad Yusuf saat dihubungi terpisah berpendapat, kebijakan visa nomaden digital merupakan kebijakan yang cukup fundamental. Dia berharap pemerintah sudah melakukan kajian cukup matang dan dikomunikasikan kepada semua pelaku di ekosistem industri pariwisata nasional.
”Bukan sekadar meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman),” katanya.
Selain merumuskan kriteria penerima visa nomaden digital, dia menyarankan pemerintah harus memiliki skenario pengawasan, termasuk urusan pajak dan keamanan siber. Tujuannya, untuk meminimalkan pelanggaran.
Dari sisi pelaku usaha pariwisata, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asita Budijanto Ardiansjah berpendapat, rencana kebijakan visa nomaden digital merupakan terobosan pemerintah yang baik, tetapi harus diuji efektivitasnya mendongkrak daya saing industri pariwisata nasional. Sejauh ini, pihak pelaku usaha masih menunggu kejelasan detail pelaksanaan regulasi, termasuk menyangkut harga visa.
”Pola perjalanan warga negara asing yang melakukan nomaden digital/bekerja jarak jauh juga harus jadi perhatian agar bisa mengukur efektivitas kebijakan untuk industri. Sebab, pekerja jarak jauh ataupun nomaden digital biasanya mengincar destinasi yang punya jaringan telekomunikasi andal,” ucapnya.
Subkoordinator Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Achmad Nur Saleh saat dikonfirmasi membenarkan bahwa peraturan pelaksana kebijakan visa nomaden digital sedang dibahas. Terkait dengan hal itu, dia menyebut sudah ada rujukan ’peraturan umum’, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam konferensi pers mingguan awal pekan ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno menjelaskan, rencana kebijakan visa nomaden digital merespons tren digitalisasi dan bekerja jarak jauh. Kebijakan ini, jika jadi diberlakukan, akan menjadi terobosan regulasi.
”Rencana kebijakan visa nomaden digital juga selaras dengan keinginan kami meningkatkan kunjungan wisman berkualitas di Indonesia. Berkualitas yang dimaksud adalah ada penambahan lama tinggal. Kebijakan ini sudah tahap akhir pembahasan,” katanya.
Bali menjadi sasaran utama lokasi pelaksanaan kebijakan visa nomaden digital jika jadi direalisasikan. Sandiaga menyebut tahun 2022, pihaknya menargetkan ada 1,5 juta kunjungan wisman ke Bali.
Dengan adanya kebijakan visa nomaden digital, wisman yang berkunjung ke Indonesia dapat meningkatkan lama tinggal yang dampaknya adalah mendukung penambahan pengeluaran ke usaha pariwisata lokal.
”Kami akan terus melakukan orkestrasi dan sinkronisasi rencana promosi agar Bali menjadi top of mind wisman. Selain itu, kami berupaya menggaet adanya penyelenggaraan acara bertaraf internasional di sana sehingga mampu mendukung Bali sebagai kawasan kerja bagi para nomaden digital,” kata Sandiaga.