Untungkan Kelas Menengah Atas, Penyaluran Subsidi Energi Perlu Dipertajam
Saat ini subsidi energi juga turut dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Penambahan anggaran subsidi energi yang tak tepat sasaran berpotensi menggeser konsumsi energi ke produk yang harganya di bawah keekonomian.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi mekanisme penyaluran subsidi energi mendesak untuk segera dilakukan. Jika tidak disalurkan secara tepat sasaran, gelontoran subsidi dan kompensasi energi yang tahun ini nilainya mencapai Rp 500 triliun akan minim manfaat bagi pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.
Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2022 menyebutkan, penyaluran aliran dana untuk subsidi energi tahun ini yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagian besar menguntungkan rumah tangga kelas menengah atas. Kedua kelompok rumah tangga ini menyerap 42-73 persen bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan 29 persen elpiji bersubsidi.
Sejalan dengan itu, Bank Dunia merekomendasikan pemerintah untuk menghapus subsidi energi guna memperbesar alokasi anggaran untuk bantuan sosial (bansos). Penghentian subsidi energi dapat menghemat 1 persen produk domestik bruto (PDB). Penghematan dapat dialihkan menjadi tambahan bansos sebesar 0,5 persen PDB untuk bantalan ekonomi kelompok rumah tangga bawah.
Bank Dunia merekomendasikan pemerintah untuk menghapus subsidi energi guna memperbesar alokasi anggaran untuk bantuan sosial (bansos). Penghentian subsidi energi dapat menghemat 1 persen produk domestik bruto (PDB).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengakui, saat ini subsidi energi juga turut dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Ia mencontohkan, hanya 23,3 persen penggunaan elpiji 3 kilogram (kg) oleh masyarakat golongan miskin, sementara sisanya 57,9 persen merupakan orang golongan mampu.
Sementara berdasarkan materi rapat kerja antara Kementerian Keuangan dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, pekan lalu, 60 persen masyarakat golongan mampu menikmati hampir 80 persen dari total konsumsi BBM bersubsidi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan. Sisanya, yaitu 40 persen masyarakat golongan miskin hanya menikmati konsumsi BBM bersubsidi sebanyak 17,1 liter per rumah tangga per bulan.
”Bagaimanapun di tahun 2022 kita sudah sepakati untuk APBN berperan sebagai peredam kejut (atas gejolak harga). Tetapi, ke depan pemerintah juga akan memastikan penyalurannya tepat sasaran,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (28/6/2022).
Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun. Total tambahan alokasi tersebut terdiri dari tambahan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji, dan listrik sebesar Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) sebesar Rp 275 triliun.
Sebelumnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi telah ditetapkan Rp 152,5 triliun, terdiri dari anggaran untuk subsidi sebesar Rp 134 triliun dan kompensasi sebesar Rp 18,5 triliun. Dengan adanya perubahan ini, anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam postur APBN 2022 menjadi sebesar Rp 502,4 triliun.
Febrio memastikan reformasi agar penyaluran subsidi energi menjadi lebih tepat menyasar masyarakat kelompok ekonomi bawah akan dilakukan. Hasil kajian banyak lembaga, termasuk Bank Dunia, akan menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk bisa mempertajam kebijakan subsidi.
Ia mengatakan, agenda reformasi subsidi energi ini akan disesuaikan dengan waktu, terutama melihat kondisi perekonomian terkini. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan harga-harga komoditas yang saat ini sedang tinggi untuk menjaga daya beli.
Sejak tahun lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mewacanakan reformasi penyaluran subsidi energi dari skema penyaluran dari terbuka menjadi tertutup. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada awal tahun lalu mengatakan, implementasi dari penyaluran subsidi tertutup masih menunggu kesiapan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
”Ini untuk menjaring masyarakat yang berhak mendapat subsidi dan tidak mengganggu daya beli mereka,” kata Suharso.
Senior Resident Representative Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Indonesia James P Walsh, dalam wawancara dengan harian Kompas, mengungkapkan, untuk menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah bisa mendesain program bantuan langsung tunai, alih-alih menambah anggaran subsidi energi yang menurut dia tidak punya dampak pada pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menilai, penambahan anggaran subsidi energi yang tidak tepat sasaran berpotensi memicu pergeseran konsumsi energi ke produk yang harganya di bawah keekonomian. Kondisi ini akan menghambat proses diversifikasi BBM kualitas kurang baik menuju BBM berkualitas baik.
Penambahan anggaran subsidi energi yang tidak tepat sasaran berpotensi memicu pergeseran konsumsi energi ke produk yang harganya di bawah keekonomian.
”Dengan adanya gelontoran subsidi energi, masyarakat cenderung akan mengonsumsi energi dengan subsidi dengan emisi yang lebih kotor yang kualitas lingkungannya lebih rendah,” ujarnya.
Di samping itu, pembengkakan nilai subsidi juga akan mengurangi jatah alokasi anggaran untuk sektor yang lebih penting, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Menurut Yayan, dana subsidi dan kompensasi yang mencapai Rp 500 triliun bisa digunakan untuk membangun lebih dari 200.000 sekolah dasar dengan estimasi biaya Rp 2,19 miliar per unit.