Dunia Usaha Jadi Katalisator Aliran Investasi Berdampak
Usaha sosial dirancang dengan sebuah ide yang menggabungkan konsep berbisnis, tetapi keuntungannya dialokasikan untuk membantu dan bersolidaritas menangani problem sosial yang muncul di tengah masyarakat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia berkomitmen mendorong pertumbuhan kewirausahaan sosial dengan pendekatan inovatif dan berkelanjutan untuk melancarkan aliran investasi berdampak ke Indonesia. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah menyiapkan ekosistem yang baik agar usaha sosial bisa berdampak positif dan memenuhi kriteria untuk menerima pendanaan.
Dalam sesi diskusi bertema ”Peran Filantropi sebagai Katalisator” yang merupakan bagian dari rangkaian Konferensi Global Asian Venture Philanthropy Network (AVPN) 2022 di Bali, 21-24 Juli 2022, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, saat ini Indonesia memang tengah menjadi salah satu negara tujuan investasi, termasuk investasi berdampak.
Secara umum, investasi berdampak (impact investment) didefinisikan sebagai bentuk investasi pada usaha, bisnis, atau proyek yang tidak hanya memberikan keuntungan finansial kepada investor, tetapi pada saat yang bersamaan juga berdampak positif terhadap lingkungan atau masyarakat di sekitarnya.
Usaha sosial tumbuh dengan baik di Indonesia, dipicu oleh pandemi Covid-19. Sebelum pandemi saja, pada 2018 The British Council mencatat setidaknya terdapat 340.000 usaha sosial di Indonesia.
”Aliran investasi berdampak menyasar usaha-usaha sosial yang memberikan dampak berkelanjutan. Dengan kata lain, usaha sosial dirancang dengan sebuah ide yang menggabungkan konsep berbisnis, tetapi keuntungannya dialokasikan untuk membantu dan bersolidaritas menangani problem sosial yang muncul di tengah masyarakat,” ujarnya, Kamis (23/6/2022).
Arsjad menambahkan, usaha sosial tumbuh dengan baik di Indonesia yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, pada 2018 The British Council mencatat setidaknya terdapat 340.000 usaha sosial di Indonesia. Pandemi yang terjadi dalam dua tahun terakhir membuat jumlah usaha sosial yang memberikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan tumbuh dua hingga tiga kali lipat.
Sayangnya, lanjut Arsjad, usaha sosial menghadapi tantangan dalam mengakses pendanaan agar bisnis ini bisa berjalan secara berkelanjutan. Ini dikarenakan, meski memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat, usaha sosial banyak yang dianggap belum memenuhi kriteria kesiapan menerima pendanaan, termasuk investasi berdampak.
”Kadin siap menjadi katalis dengan memnyediakan dukungan ekosisitem bagi usaha sosial sekaligus mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi dan pendampingan berupa inkubasi dan akselerasi,” ucap Arsjad.
Di Indonesia sendiri, lanjut Arsjad, beberapa venture capital (VC) dan investor filantropi mulai memberi perhatian kepada usaha rintisan sosial yang model bisnisnya berdampak pada lingkungan dan sosial. Bahkan, sejumlah investor lokal khusus mendedikasikan pada investasi berdampak juga sudah mulai berkembang walau dalam skala yang masih relatif kecil.
Sama dengan investasi pada perusahaan yang tercatat di bursa efek, investasi berdampak dapat dilakukan oleh Investor institusi ataupun investor individual. Hal yang membedakan adalah investasi berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) untuk perusahaan yang tercatat di bursa efek umumnya dilakukan oleh manajer investasi (MI), sementara investasi berdampak dilakukan oleh VC atau perusahaan ekuitas swasta.
Data Global Impact Investing Network (GIIN) menunjukkan dana kelolaan investasi berdampak melesat menjadi 502 miliar dollar AS berdasarkan survei terakhir pada April 2019. Sementara penerbitan obligasi hijau yang dapat dikategorikan sebagai investasi berdampak telah mencapai 805 miliar dollar AS berdasarkan data terakhir dari Climate Bond Initiative (CBI) pada Maret 2020.
Investment Director Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) Benedikta Atika menekankan bahwa tidak semua investasi pada perusahaan yang memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai investasi berdampak.
Setidaknya, lanjut Atika, perusahaan perlu memenuhi tiga prinsip untuk dapat menerima investasi berdampak, yakni dampak positif terhadap masyarakat atau lingkungan yang timbul dari usaha harus terencana atau memang menjadi intensi dari perusahaan, jenis usaha menghasilkan dampak positif tambahan, serta dampak yang dihasilkan harus dapat terukur.
Ia menjelaskan intensi atau niat dalam memberikan dampak adalah hal utama yang perlu dimiliki usaha penerima investasi berdampak. Ini berarti dampak yang dihasilkan oleh perusahaan bukanlah dampak yang merupakan hasil sampingan atau kebetulan.
Sementara itu, maksud dari dampak positif tambahan adalah dampak yang dihadirkan perusahaan untuk masyarakat atau lingkungan melebihi dari yang seharusnya. Sebagai contoh, kehadiran perusahaan tidak hanya membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja, tetapi lapangan pekerjaan tersebut juga membuka peluang kerja untuk komunitas terpinggirkan.
”Untuk keterukuran dampak, biasanya perusahaan atau investor punya ukuran tergantung masing-masing sektor. Namun, sebagai contoh, kalau perusahaan tersebut bergerak di sektor energi terbarukan, kontribusi mereka terhadap penurunan emisi karbon jadi tolok ukurnya,” ujar Atika.
Asia menjadi kawasan tujuan investor global dalam menyalurkan pendanaan untuk mencapai tujuan SDGs. Namun, organisasi filantropi Barat rentan terhadap salah alokasi penyaluran modal karena mereka relatif tidak memiliki pengetahuan lokal tentang cara terbaik untuk menyalurkan pendanaan.
Chief Executive of Asian Venture Philanthropy Network (AVPN) Naina Batra menyampaikan, pandemi Covid-19 telah membuat kesenjangan pendanaan global untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) hingga tahun 2030 menjadi berlipat ganda, dengan rata-rata kebutuhan pendanaan per tahun mencapai 4,2 triliun dollar AS.
Asia menjadi kawasan tujuan investor global dalam menyalurkan pendanaan untuk mencapai tujuan SDGs. Namun, menurut Naina, organisasi filantropi Barat rentan terhadap salah alokasi penyaluran modal karena mereka relatif tidak memiliki pengetahuan lokal tentang cara terbaik untuk menyalurkan pendanaan.
”Pendekatan Barat untuk filantropi tidak selalu berhasil di Asia, dan solusi untuk masalah sosial dan lingkungan perlu datang dari lebih banyak investor lokal yang berasal dari Asia,” ujarnya.