Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 menjadi 2,9 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,1 persen.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Konflik geopolitik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia telah memorakporandakan pasar energi dan komoditas pangan. Kondisi ini terjadi karena kedua negara merupakan penghasil utama komoditas energi dan pangan dunia. Perang menjadi malapetaka baik untuk kemanusiaan maupun untuk dinamika perekonomian global.
Invasi militer Rusia ke Ukraina menyebabkan aktivitas logistik di sekitar Laut Hitam terhenti. Sanksi yang diberikan Uni Eropa dan dunia kepada Rusia ataupun aksi balasannya menimbulkan implikasi luas, seperti kenaikan harga minyak, pangan, dan biaya distribusi global.
Situasi masih diperparah dengan kondisi internal Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa sebagai motor utama pertumbuhan global. China tertekan dengan kebijakan penutupan wilayah akibat peningkatan kasus Covid-19 yang masih terjadi.
Pergerakan harga komoditas pangan, energi, dan barang subtitusi lain yang merangkak naik secara global, seiring dengan invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 lalu, memantik eskalasi masalah di negeri Paman Sam.
Inflasi Amerika Serikat pada Mei 2022 tercatat mulai terkerek ke angka 8,6 persen secara tahunan. Persentase ini menjadi level tertinggi sejak 1982.
Bergeser ke wilayah Eropa, inflasi Inggris pada April 2022 mencapai 9 persen secara tahunan, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Tren kenaikan inflasi pada periode yang sama di zona ini juga dialami Jerman (7,9 persen), Italia (6,9 persen), bahkan Lituania mencatat dua digit inflasi sebesar 18,9 persen.
Wilayah Asia Tenggara tidak luput dari tren lonjakan inflasi global. Pada April 2022, Laos mencatatkan inflasi sebesar 9,9 persen. Kemudian pada Mei 2022, Thailand mencatatkan inflasi 7,1 persen serta Filipina sebesar 5,4 persen.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, inflasi Indonesia pada Mei 2022 terhadap Mei 2021 terbilang rendah, yakni 3,55 persen. Meski masih rendah, sejak awal tahun inflasi Indonesia terus merangkak naik. Tren lonjakan inflasi secara global patut diwaspadai agar tidak tertransmisi pada kenaikan harga-harga di pasar domestik dalam negeri.
Hantaman inflasi global membuat pelambatan pertumbuhan ekonomi global semakin nyata. Inflasi global yang merangkak naik diiringi oleh pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global yang bergerak turun.
Dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 menjadi 2,9 persen dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,1 persen. Sementara inflasi diperkirakan mencapai 5,7 persen di negara maju dan 8,7 persen di negara berkembang, yang berarti lebih tinggi dari kalkulasi sebelumnya.
Kondisi periode inflasi yang disertai dengan penurunan PDB disebut stagflasi. Stagflasi didefinisikan sebagai sebuah kondisi ketika ekonomi tidak bertumbuh dan secara bersamaan terjadi inflasi. Istilah ini sendiri merupakan terminologi gabungan dari istilah stagnasi dan inflasi.
Istilah ini pertama kali muncul di periode 1960 dari seorang politisi Inggris, Macleod dalam pidatonya di Dewan Rakyat Britania Raya. Dalam pidato tersebut, Macleod menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang terjadi di Inggris pada masa itu.
Stagflasi berpotensi mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat pesat. Adapun cara mengatasi stagflasi ini adalah menjaga pertumbuhan ekonomi agar terus meningkat sehingga mengurangi pengangguran.
Untuk mengantisipasi efek buruk dari stagflasi, inflasi di Indonesia perlu dijaga agar tetap rendah. Dalam catatan sejarah, Indonesia pun pernah mengalami kondisi stagflasi pada tahun 1998 seiring terjadinya krisis moneter.
Sepanjang periode krisis tersebut, terjadi kenaikan drastis harga-harga secara keseluruhan yang salah satunya disebabkan oleh jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Di tengah situasi serba tak pasti ini, diperlukan mitigasi untuk mengantisipasi situasi secara jangka pendek dan panjang. Kenaikan harga komoditas energi dan pangan akan menekan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di mana alokasi subsidi akan membengkak.
Untungnya, penerimaan juga meningkat akibat kenaikan harga komoditas, khususnya batubara dan minyak sawit sebagai komoditas utama ekspor Indonesia, sehingga meski subsidi meningkat, defisit fiskal 2022 diproyeksikan turun dari 4,85 menjadi 4,5 persen.
Situasi yang sulit juga dialami otoritas moneter. Jika inflasi meroket, Bank Indonesia akan terpaksa menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat harga kredit modal kerja meningkat sehingga berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi. Namun, tetap ada peluang bagi Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan tetap rendah seiring bantalan cadangan devisa yang masih besar dan transaksi berjalan yang tercatat surplus.
Peran fiskal dalam menyangga kesejahteraan sosial juga diperlukan secara lebih permanen sehingga bisa menopang sektor kesehatan dan pendidikan lebih baik. Dengan begitu, diharapkan tingkat produktivitas penduduk akan meningkat.
Setidaknya, hingga akhir tahun, perekonomian Indonesia masih cukup aman dan berpotensi tumbuh sekitar 5 persen secara tahunan. Akan tetapi, mengingat pertumbuhan banyak ditopang kenaikan harga komoditas, perlu diwaspadai efek pembalikan ketika harga komoditas mulai turun.