Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen. Konflik Rusia-Ukraina dinilai memicu lonjakan inflasi serta perlambatan ekonomi global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Tumpukan peti kemas di terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (31/5/2013).
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi global saat ini dihantui risiko stagflasi, yakni terjadi lonjakan inflasi yang dibarengi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah menyadari bahwa lonjakan inflasi global perlu diantisipasi dengan kebijakan moneter yang terukur dan tidak terburu-buru.
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 dari proyeksi awal tahun sebesar 4,1 persen menjadi 2,9 persen. Dalam laporan ”Global Economic Prospect” edisi Juni 2022 yang diterima Kompas, Rabu (8/6/2022), pemangkasan itu dilakukan karena invasi Rusia ke Ukraina dinilai memicu lonjakan inflasi serta perlambatan ekonomi global.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mencatat bahwa periode stagflasi atau pelemahan pertumbuhan ekonomi global yang diiringi oleh inflasi tinggi, seperti situasi saat ini, terakhir kali terjadi pada dekade 1970-an. Peningkatan risiko stagflasi membuat resesi ekonomi akan sulit dihindari.
Pemangkasan itu terpaksa dilakukan oleh Bank Dunia karena invasi Rusia ke Ukraina memicu lonjakan inflasi serta perlambatan ekonomi global.
Dalam siaran persnya, Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan, invasi Rusia mengakibatkan harga pangan dan energi melonjak. Inflasi global menjadi tidak bisa dihindari di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi banyak negara.
Selain dihantam oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, ekonomi global juga menghadapi gangguan rantai pasok yang disebabkan restriksi sosial di China. ”Risiko stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas bagi ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah,” kata Malpass.
Guna mengurangi risiko, lanjut Malpass, pembuat kebijakan harus bekerja untuk mengoordinasikan bantuan untuk Ukraina, melawan lonjakan harga minyak dan pangan, meningkatkan pengurangan utang, memperkuat upaya untuk menahan Covid-19, dan mempercepat transisi ke ekonomi rendah karbon.
DIREKTORAT JENDERAL PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN PERDAGANGAN
Paparan Direktorat Jenderal Perjanjian Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan terkait Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Chile atau IC-CEPA
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan bahwa pengetatan kebijakan moneter yang terlalu cepat dan ketat tidak berdampak signifikan terhadap penurunan tingkat inflasi.
Tingkat inflasi yang meninggi di sejumlah negara, lanjut dia, disebabkan oleh produksi atau suplai yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan, sementara percepatan pengetatan moneter hanya akan menyasar sisi permintaan. ”Perlu dipahami bahwa inflasi dunia saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh hambatan dari sisi produksi atau pasokan dibandingkan dipengaruhi oleh sisi permintaan,” ujarnya.
Isu ini, kata Sri Mulyani, akan menjadi topik utama yang dibicarakan dalam forum-forum internasional, termasuk G20 di bawah Presidensi Indonesia tahun ini. Dengan begitu, ia berharap kecepatan dari pengetatan kebijakan moneter Indonesia yang bertujuan untuk menjinakkan inflasi dapat dikurangi sehingga pemulihan ekonomi global dapat berlangsung lebih optimal.
Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi secara meluas yang tecermin dari pemangkasan yang dilakukan baik di kelompok negara maju maupun berkembang. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa, sebagai episentrum konflik geopolitik, tahun ini direvisi ke bawah dari 4,2 persen menjadi 2,5 persen.
Bank Dunia juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dua negara ekonomi besar, yakni Amerika Serikat (AS) dan China, masing-masing menjadi 2,5 persen dan 4,3 persen tahun ini. Negara-negara lain yang mengalami pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi adalah Jepang menjadi 1,7 persen, India menjadi 7,5 persen, dan Brasil menjadi 1,5 persen.
Sementara itu, perekonomian Rusia diprediksi mengalami kontraksi 8,9 persen dan Ukraina terkontraksi 45,1 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia hanya turun 0,1 persen dari sebelumnya 5,2 persen menjadi 5,1 persen.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan terus diarahkan untuk menjadi instrumen penting dalam merespons dinamika ekonomi, termasuk menjadi peredam gejolak untuk memastikan terlindunginya daya beli masyarakat.
Menurut dia, perekonomian Indonesia terus menunjukkan ketahanan di tengah gejolak global yang terjadi sehingga dapat menjadi satu dari sedikit negara yang dapat mengembalikan level pertumbuhan menuju level prapandemi sejak tahun 2021.
”Saat ini, risiko perekonomian global telah bergeser dari krisis pandemi ke potensi krisis energi, pangan, dan keuangan. Pemerintah Indonesia akan terus menjaga agar kinerja ekonomi domestik terus menguat meski di tengah pelbagai tantangan global,” kata Febrio.