Solar bersubsidi yang sulit didapat nelayan kecil dan harga solar industri yang meroket menjadi lampu kuning bagi sektor perikanan tangkap.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya menyederhanakan prosedur penyaluran bahan bakar minyak atau BBM jenis solar bersubsidi untuk nelayan. Upaya ini untuk merespons persoalan seretnya solar bersubsidi bagi nelayan di sejumlah wilayah. Masalah dinilai krusial bagi perikanan tangkap.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini mengemukakan, pihaknya sedang mengevaluasi persoalan distribusi solar bersubsidi untuk nelayan. Kuota solar bersubsidi yang dialokasikan untuk sektor perikanan berkisar 2,6 juta kiloliter. Dari jumlah itu, sekitar 2,1 juta kiloliter diperuntukkan bagi nelayan kapal berukuran maksimal 30 gros ton (GT).
Jika penyaluran solar bersubsidi optimal, lanjut Zaini, jumlah itu dinilai mencukupi kebutuhan. Solar bersubsidi disalurkan antara lain melalui kios solar pack dealer nelayan (SPDN) dan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN). Namun, banyak SPDN/SPBN mangkrak, yakni hanya sekitar 200 unit yang masih beroperasi dari total sekitar 400 unit.
Mangkraknya SPDN/SPBN mengakibatkan nelayan kecil terpaksa membeli solar eceran dengan harga mahal. Beberapa penyebab SPDN/SPBN mangkrak antara lain pasokan yang minim dan kendala teknis manajemen. Sebagian nelayan membeli solar subsidi dengan pola utang atau bayar belakang, padahal pasokan BBM dari Pertamina harus dibayar tunai. Di sisi lain, solar subsidi kerap diakses tengkulak atau pemodal yang selanjutnya menyalurkan ke nelayan.
”Ini seperti lingkaran setan. Kami sedang berkoordinasi terkait masalah distribusi ini serta melakukan evaluasi terkait kebutuhan dan penyaluran,” ujar Zaini, saat dihubungi di Jakarta, Senin (20/6/2022).
Pekan ini, Kantor Staf Presiden menginisiasi penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara KKP, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Pertamina Patra Niaga, dan pemerintah daerah di enam provinsi/kabupaten/kota. MoU itu terkait penyederhanaan prosedur penyaluran jenis BBM tertentu, yakni solar bersubsidi, untuk nelayan.
“Diharapkan MoU itu mendorong nelayan kecil tidak lagi bermasalah mendapatkan solar bersubsidi. Nelayan kecil diselamatkan supaya jatahnya jangan hilang. Adapun nelayan kapal besar harus ikuti harga BBM pasar, kami nggak bisa berbuat apa-apa,” kata Zaini.
KKP telah mendorong penyederhanaan aturan penyaluran BBM, antara lain, melalui pemanfaatan kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka) sebagai syarat utama mendapatkan BBM bersubsidi. Persoalannya, kartu Kusuka masih sulit dijangkau nelayan kecil. Zaini mengakui, hingga saat ini jumlah nelayan yang memiliki kartu Kusuka baru sekitar 980.000 dari target pemanfaatan kartu Kusuka untuk 2 juta nelayan.
Sementara itu, persoalan harga solar industri mahal dikeluhkan nelayan kapal-kapal besar. Saat ini, harga solar industri sudah menembus Rp 17.300 per liter. Biaya solar mencapai 80 persen dari total biaya operasional. Menurut Ketua I Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus, harga solar industri terus melesat sejak awal Juni 2022 yang sekitar Rp 15.300 per liter. Sementara biaya operasional hanya bisa ditutup jika harga solar maksimum Rp 12.000 per liter.
Butuh pembenahan
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan, persoalan solar bersubsidi nelayan jika terus berlarut akan memicu masalah besar karena operasionalisasi perikanan tangkap masih mengandalkan BBM. Di sisi lain, ia menyoroti kapal perikanan skala besar yang mengeluh BBM mahal, tetapi kerap mengambil jatah BBM bersubsidi untuk nelayan kecil.
Ia menambahkan, pemerintah perlu segera menggulirkan solusi jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek, harus dilakukan pembenahan penyaluran BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Adapun untuk jangka panjang perlu mendorong peralihan solar nelayan ke bahan bakar gas guna mengurangi ketergantungan terhadap BBM.
“Masalah kesulitan BBM sudah darurat untuk perikanan tangkap karena konsumsi BBM besar. Penyaluran solar bersubsidi harus dibenahi agar tidak bocor dan merugikan nelayan kecil,” ucap Halim.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Alan F Koropitan mengemukakan, optimalisasi penyerapan kuota solar bersubsidi untuk nelayan memerlukan sinergi antara BPH Migas, Pertamina Patra Niaga, KKP, dan pemerintah daerah. Tantangan penyaluran solar bersubsidi adalah pendataan nelayan serta transparansi penyaluran solar bersubsidi.
”Nelayan dengan kapal maksimal 10 GT cukup melampirkan Kusuka, maka sudah bisa diproses untuk mendapatkan rekomendasi kolektif perolehan solar bersubsidi,” ujar Alan.
Pembenahan pendataan nelayan bisa dilakukan lewat kartu Kusuka karena sudah terverifikasi dan terintegrasi dengan nomor induk kependudukan (NIK). Pekan ini, KSP menginisiasi MoU antara KKP, BPH Migas, Pertamina Patra Niaga, dan pemerintah daerah dalam hal pemanfaatan kartu Kusuka untuk menggantikan persyaratan bagi nelayan kecil memperoleh solar bersubsidi.
Nelayan kapal berukuran sampai 10 GT cukup menunjukkan Kartu Kusuka agar bisa mendapatkan rekomendasi kolektif dari pemda dalam memperoleh BBM bersubsidi. Lokasi percontohan inisiasi pemanfaatan kartu Kusuka itu antara lain di Kota Medan, Bitung, Kabupaten Sukabumi, Cilacap, Maluku Tengah, dan Provinsi Kepulauan Riau.
Sebelumnya, berdasarkan Peraturan BPH Migas Nomor 17 Tahun 2019 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi Perangkat Daerah untuk Pembelian Jenis BBM tertentu, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi nelayan kapal berukuran hingga 30 GT untuk mendapatkan rekomendasi solar bersubsidi.