Nelayan Terpukul Pandemi dan Pukat
Nelayan kecil dan tradisional mendapat pukulan ganda berupa harga ikan yang anjlok dan tangkapan yang menurun.
JAKARTA, KOMPAS — Penghasilan nelayan kecil dan tradisional anjlok akibat jatuhnya harga ikan seiring turunnya daya beli masyarakat selama pandemi Covid-19. Mereka semakin terpukul oleh berkurangnya tangkapan akibat maraknya penggunaan alat tangkap cantrang dan pukat.
Gambaran tersebut diperoleh dari penelusuran Kompas sepanjang pekan lalu di sentra-sentra perikanan Tanah Air, antara lain, Jayapura, Ambon, Karawang, Indramayu, Cirebon, Rembang, Cilacap, Natuna, dan Anambas.
Di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Hamadi Kota Jayapura, Papua, harga ikan tuna anjlok dari Rp 30.000 per kg sebelum pandemi menjadi Rp 17.000. Itu terjadi karena turunnya penjualan ikan di Pasar Hamadi selama pandemi. Dampaknya, penghasilan nelayan pun berkurang.
Hamzah, nelayan yang ditemui di TPI Hamadi, mengatakan, sebelum pandemi, penghasilannya untuk sekali melaut selama 12 jam bisa Rp 700.000, tetapi kini hanya Rp 200.000.
Karena minimnya pendapatan, banyak nelayan di Hamadi yang memilih tidak melaut. Banyak perahu motor nelayan yang kini mangkrak di TPI Hamadi.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Provinsi Papua Juber Sitorus mengatakan, ada sekitar 4.000 nelayan di Papua yang terdampak pandemi Covid-19. Penghasilan mereka rata-rata anjlok hingga 50 persen.
Sementara di kawasan Maluku, akibat minimnya akses pasar, nelayan tradisional terpaksa menjual ikan dengan harga sangat murah kepada pengepul. Harga jual yang ditentukan oleh pengepul membuat nelayan tak berdaya.
Haris Pilpala (40), nelayan di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, mengatakan, harga ikan momar yang biasanya Rp 9.000 per kg, turun hingga Rp 4.000 per kg. Adapun harga tuna yang sebelumnya sampai Rp 70.000 per kg turun hingga Rp 27.000 per kg.
Baca juga: Konflik Nelayan Berpotensi Meningkat
”Kali ini harga ikan turun terlalu jauh karena permintaan kurang. Kata pembeli ini gara-gara pandemi Covid-19,” kata nelayan yang biasa melaut menggunakan kapal motor berukuran 5 gros ton (GT) tersebut.
Keluhan harga ikan yang murah juga disampaikan Yadi Bustan (45), nelayan asal Desa Kawa, Pulau Seram. Nelayan pencari tuna dan cakalang di Laut Seram itu mengatakan, harga anak tuna anjlok hingga Rp 13.000 per kg, sedangkan cakalang Rp 10.000 per kg. Hasil melaut mereka lebih banyak dijual di perkampungan.
Di Kawa terdapat sekitar 200 nelayan. Setiap nelayan memiliki perahu motor. ”Ada yang coba jual langsung ke Ambon, tetapi rugi karena harga ikan murah dan ongkos perjalanan mahal,” ujarnya.
Hardy (50), nelayan di Kepulauan Aru, mengatakan, harga ikan karang juga anjlok. Ikan kerapu yang sebelumnya Rp 60.000 per kilogram turun menjadi Rp 20.000 per kilogram. ”Banyak nelayan setempat melaut hanya untuk makan sehari-hari,” ujar Hardy yang melaut di Laut Arafura itu.
Anjloknya harga ikan juga terjadi di Karawang, Indramayu, dan Rembang di pantai utara Jawa, serta Cilacap di pantai selatan Jawa. Di kawasan-kawasan tersebut, harga ikan jatuh hingga 50 persen.
Tangkapan turun
Selain harga ikan yang anjlok, nelayan juga terpukul oleh tangkapan yang cenderung menurun. Achmad Dany (23), nelayan dari Desa Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, menceritakan, akhir-akhir ini ia banyak melihat kapal-kapal besar yang menggunakan pukat (trawl). ”Sejak ada pukat, ikan, cumi-cumi, rajungan, dan terumbu karang pada mati sehingga tangkapan kami turun drastis. Jaring nelayan juga pada rusak akibat trawl,” ujarnya.
Sebelumnya, Dany bisa menjaring hingga 10 kg cumi-cumi dan rajungan dalam sekali melaut. Namun kini, rata-rata hanya dapat 2 kg dengan harga rajungan Rp 25.000 per kg.
Hasil melaut tersebut jelas tidak sebanding dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan.Untuk solar perahunya yang berukuran 5 GT saja butuh sekitar Rp 114.000 sekali melaut dan ia sudah harus berangkat ke laut pukul 03.30.
Karena lebih banyak tekornya, Dany pun memutuskan tidak tidak melaut setiap hari. Bahkan, dalam 3tiga bulan terakhir, dirinya sudah jarang melaut.
Di kawasan Pantai Menganti, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, nelayan kecil juga kesulitan menangkap ikan sejak maraknya penggunaan jaring payang, sejenis pukat, oleh kapal-kapal besar di perairan dangkal.
Baca juga: Menteri KKP Buka Ruang Koreksi Aturan Legalisasi Cantrang
”Dulu, mudah dapat ikan kakap 50 kg sampai 1 kuintal, tetapi sekarang cari 10 sampai 20 kg saja sulit sekali gara-gara semakin banyak kapal yang memakai jala payang. Dengan jala itu, ikan paling kecil bisa ikut kena dan jaring kami juga sering rusak karena tersangkut payang,” kata Saliman (45), nelayan Pantai Menganti.
Perairan Natuna, Anambas, dan Tambelan yang memiliki stok ikan cukup besar juga tak luput dari serbuan kapal cantrang dan kapal pukat.
Ketua Aliansi Nelayan Kabupaten Natuna Hendri mengatakan, terdapat sekitar 830 kapal pukat berbagai jenis, terutama purse seine dari pantai timur Sumatera dan cantrang dari pantai utara Jawa, beroperasi di Laut Natuna. Banyak dari kapal-kapal itu yang menangkap ikan di bawah 12 mil dari garis pantai.
”Ini memicu ketidakadilan pemanfaatan sumber daya ikan. Lagi pula cantrang itu menyapu laut sampai ke dasar. Kalau terumbu karang rusak, belum tentu satu minggu kemudian ikannya sudah mau kembali lagi,” ucap Hendri.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra memperkirakan, saat ini ada sekitar 300 kapal pukat berbagai jenis yang beroperasi di wilayah perairan Anambas.
”Kalau malam, perairan Anambas seperti kota, terang sekali. Jumlah kapal pukat yang menggiling laut sudah terlalu banyak, kami khawatir terjadi overfishing,” kata Dedi.
Diperbolehkan kembali
Pengamat kelautan dan perikanan, Suhana, mengatakan, cantrang dan pukat semakin marak setelah awal tahun ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan akan memperbolehkan kembali penggunaan sejumlah alat penangkapan ikan yang sebelumnya dilarang.
Alat tangkap itu, di antaranya pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
”Pukat dan cantrang tidak ramah lingkungan karena merusak ekosistem perairan dan tidak selektif karena ikan kecil juga terjaring,” kata Suhana.
KKP tengah merevisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait usaha perikanan tangkap, termasuk di antaranya alat tangkap ikan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Mohammad Zaini mengatakan, penggunaan alat tangkap cantrang dinilai tidak merusak lingkungan.
”Konflik yang muncul terkait kapal cantrang bukan soal merusak lingkungan, melainkan lebih karena cantrang sering mengganggu dan merusak alat tangkap nelayan tradisional. Jalur penangkapan ini akan kita atur,” katanya. (ERK/SHR/LKT/NDU/DKA/FAJ)