Budidaya udang kini tengah menghadapi hambatan di hulu-hilir. Keberhasilan mengelola daya saing menjadi pertaruhan guna mencapai ambisi mendongkrak nilai ekspor 250 persen hingga 2024.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
Komoditas udang yang merupakan salah satu produk andalan perikanan budidaya di Tanah Air tengah menghadapi problem soal daya saing. Harga udang ekspor terus merosot, sementara biaya produksi membengkak seiring merebaknya serangan penyakit.
Tekanan di pasar internasional ditandai dengan melemahnya harga udang sejak awal Mei 2022. Komoditas udang Indonesia, yang sebagian besar diekspor, terkena imbas. Salah satu pemicu tekanan harga adalah membanjirnya produksi udang dari negara-negara produsen lain, seperti Ekuador dan India. Sesuai hukum pasar, produksi berlimpah, sedangkan permintaan stagnan sehingga harga tertekan.
Hambatan pasar juga terjadi tidak lepas dari belum pulihnya perekonomian global dan efek perang Ukraina-Rusia yang berkepanjangan. Saat ini, negara-negara utama tujuan ekspor udang Indonesia antara lain Amerika Serikat, yakni menyerap sekitar 70 persen dari total ekspor udang; Jepang (16 persen); dan China berkisar 3-4 persen.
Per 10 Juni 2022, harga rata-rata udang ukuran 40 ekor per kilogram (ukuran 40) tercatat Rp 62.000 per kg atau turun hampir 25 persen dibandingkan dengan awal Mei 2022 yang mencapai Rp 83.000 per kg. Sementara itu, biaya produksi udang ukuran 40 mencapai Rp 56.000 per kg.
Di tingkat dunia, Indonesia menempati peringkat ke-5 eksportir udang terbesar pada 2019 setelah India, Ekuador, Vietnam, dan China. Namun, kontribusi udang Indonesia di pasar internasional baru sekitar 7,1 persen. Oleh karena itu, peluang pasar masih terbuka luas.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menargetkan nilai ekspor udang naik 250 persen selama kurun tahun 2019-2024, yakni mencapai 4,2 miliar dollar AS. Guna mencapai ambisi itu, produksi udang ditargetkan meningkat hingga 2 juta ton. Volume ekspor udang diharapkan naik rata-rata 15,8 persen per tahun, sedangkan nilai ekspornya diharapkan tumbuh 20 persen per tahun.
Sepanjang tahun 2021, volume ekspor udang tercatat 250.700 ton atau hanya tumbuh 4,9 persen dibandingkan dengan tahun 2020. Sementara nilai ekspor tercatat 2,23 miliar dollar AS atau hanya tumbuh 8,5 persen secara tahunan.
Akan tetapi, perkembangan ekspor udang belum menggembirakan. Sepanjang tahun 2021, volume ekspor udang tercatat 250.700 ton atau hanya tumbuh 4,9 persen dibandingkan dengan tahun 2020. Sementara nilai ekspor tercatat 2,23 miliar dollar AS atau hanya tumbuh 8,5 persen secara tahunan. Pertumbuhan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun 2020, di mana volume ekspor tercatat 239.000 ton atau tumbuh 14,9 persen dan nilai ekspor sebesar 2,04 miliar dollar AS atau tumbuh 18,6 persen secara tahunan.
Hambatan di pasar yang kini semakin berat menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang belum efisien dalam budidaya udang. Harga pokok penjualan (HPP) udang rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara pesaing. Budidaya udang juga menghadapi serangan penyakit yang merebak, seperti acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) dan sindrom kematian dini (EMS) yang berdampak pada kematian udang kurang dari 40 hari. Serangan penyakit telah memicu lonjakan biaya produksi dan tingginya kegagalan produksi.
Di tengah persoalan hulu-hilir budidaya udang, butuh langkah prioritas agar bisa bertahan dengan menekan risiko kegagalan akibat serangan penyakit. Diperlukan mekanisme yang komprehensif guna mendeteksi dini penyakit, terobosan dalam penyediaan pakan, benur, dan induk yang berkualitas unggul, hingga memastikan pola budidaya udang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Target pemerintah untuk menggenjot produksi ditempuh melalui intensifikasi dan ekstensifikasi (perluasan) tambak. Terkait ekstensifikasi, selain membuka kluster udang atau shrimp estate percontohan, pemerintah juga akan mengembangkan tambak-tambak udang terintegrasi, antara lain membuka tambak-tambak baru seluas 6.000 hektar. Pembukaan lahan-lahan baru perlu dipastikan agar tidak memicu masalah baru terkait daya dukung lingkungan.
Sebagai ilustrasi, Ekuador yang berpotensi mengambil alih pasar utama Amerika Serikat telah menerapkan sistem budidaya semiintensif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Padat tebar benih di Ekuador rata-rata 15-30 ekor per meter persegi (m2), sedangkan di Indonesia saat ini bisa mencapai 300 ekor per m2. Negara itu juga memiliki keunggulan letak geografis yang lebih dekat ke pasar AS.
Hambatan daya saing udang tidak dapat diabaikan jika kontinuitas budidaya berkelanjutan ingin dicapai. Indonesia tidak boleh lengah membaca pasar, meski selama Januari-Maret 2022 komoditas udang masih menyumbang nilai ekspor perikanan terbesar, yakni 621,92 juta dollar AS atau 40,64 persen dari total ekspor perikanan Indonesia.
Peluang pasar baru ekspor harus terus digarap. Solusi strategis kini dinantikan demi mengejar target besar menggarap pasar dunia.