Waspada Penipuan Bermodus Akun Media Sosial Palsu Perbankan
Belakangan marak penipuan dengan modus akun palsu perbankan yang seakan-akan resmi untuk menipu nasabah dengan promo palsu agar mengirimkan sejumlah uang dan data pribadi nasabah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perlu mewaspadai maraknya penipuan bermodus akun media sosial palsu perbankan. Penipu berperan seolah-olah pihak resmi perbankan menawarkan peningkatan fasilitas dan status nasabah dengan meminta sejumlah uang dan data pribadi nasabah.
Direktur PT Bank Central Asia Tbk Haryanto T Budiman menjelaskan, saat ini banyak akun palsu yang mengaku seolah-olah akun resmi BCA yang beredar di berbagai jenis media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Modus yang beredar viral adalah penawaran yang dilakukan akun palsu tersebut kepada nasabah untuk menjadi nasabah BCA Prioritas cukup dengan biaya Rp 10 juta. Penipu merangsang calon korban dengan menyebut program itu sebagai promo karena biasanya persyaratan menjadi nasabah BCA Prioritas dan BCA Solitaire perlu saldo mengendap paling tidak Rp 500 juta di tabungan.
Ketika menekan tombol promo itu, korban terhubung ke nomor Whatsapp +61872006998. Nomor tersebut tentu saja bukan nomor resmi Whatsapp BCA. Dari sanalah korban tertipu untuk mentransfer sejumlah uang dan diminta menyampaikan sejumlah data pribadi.
”Kami tegaskan bahwa itu bukan program resmi BCA. Jadi, kami tegaskan bahwa itu merupakan tindakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menipu nasabah kami,” ujar Haryanto dalam acara BCA Talk bertajuk ”Waspada Modus Penipuan Siber Nasabah BCA”, di Jakarta, Senin (13/6/2022).
Executive Vice President (EVP) Individual Customer Business Development BCA Adrianus Wagimin menjelaskan, persyaratan menjadi nasabah BCA Prioritas dan nasabah BCA Solitaire tidak hanya melihat jumlah saldo yang minimal sebesar Rp 500 juta. Untuk menjadi nasabah BCA Prioritas, petugas kantor cabang juga akan melihat seberapa besar keterkaitan (engagement)-nya dengan BCA.
”Selain itu, untuk menjadi nasabah BCA Prioritas dan BCA Solitaire itu sifatnya undangan dan eksklusif. Saat ini, jumlah nasabah BCA Prioritas hanya sekitar 173.000 dan nasabah BCA Solitaire sekitar 4.000,” jelas Adrianus.
EVP Center of Digital BCA Wani Sabu mengatakan, akun media sosial Instagram resmi BCA hanyalah @GoodlifeBCA, akun Twitter resmi BCA @BankBCA dan @HaloBCA, akun resmi Facebook @BankBCA, akun Line resmi @BankBCA, situs resmi BCA www.bca.co.id dan prioritas.bca.co.id, serta Whatsapp 08111500998.
”Selain yang tertera di atas, sudah pasti palsu dan nasabah perlu waspada penipuan,” ujar Wani.
Ia menambahkan, apabila nasabah sudah telanjur menjadi korban, pihaknya bisa menghubungi call center Halo BCA di nomor 1500888 atau mengunduh aplikasi Halo BCA.
Untuk memperkuat keamanan digital, Haryanto mengatakan, BCA telah menganggarkan Rp 500 miliar untuk pengembangan keamanan siber. Pihaknya juga menganggarkan belanja modal Rp 5 triliun secara total untuk kebutuhan teknologi informasi.
Meski demikian, lanjut Wani, kejahatan siber yang menimpa nasabah itu kebanyakan dari upaya rekayasa interaksi penipu kepada nasabah (social engineering). ”Maka dari itu, kami ingin terus-menerus menyosialisasikan dan mengedukasi nasabah untuk tetap waspada, berhati-hati, dan hanya percaya pada akun resmi BCA,” ujarnya.
Modus kejahatan juga terjadi di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Salah satu modus kejahatan terbaru tampak dari gambar tangkapan layar yang tesebar luas melalui sejumlah aplikasi pesan singkat berisi surat dan tautan yang menyebutkan adanya perubahan biaya administrasi ATM BRI. Disebutkan bahwa nasabah tidak lagi dikenai Rp 6.500 per transaksi, tetapi Rp 150.000 per bulan dengan transaksi tanpa batas (unlimited).
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto menegaskan bahwa hal tersebut dipastikan tidak benar. Atas maraknya upaya penipuan tersebut, BRI tidak henti-hentinya mengimbau masyarakat, khususnya nasabah BRI, untuk senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap berbagai tindak penipuan kejahatan perbankan, termasuk yang mengatasnamakan BRI.
Menjaga data pribadi
Aestika menambahkan, BRI senantiasa mengimbau nasabah agar lebih berhati-hati serta tidak menginformasikan data pribadi dan data perbankan kepada orang lain atau pihak yang mengatasnamakan BRI, termasuk memberikan informasi data pribadi ataupun data perbankan (nomor rekening, nomor kartu, PIN, user, password, OTP, dan sebagainya) melalui saluran, tautan, atau situs web dengan sumber tidak resmi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Hal senada dikemukakan Direktur IT dan Operasi BNI YB Hariantono. Ia menjelaskan, dalam menjaga dan melindungi data nasabah, perusahaan berfokus pada dua area. Pertama, penguatan internal sehingga nasabah dapat melakukan transaksi digital dengan aman dan nyaman melalui aplikasi.
BNI terus meningkatkan infrastruktur, teknologi, dan proses sehingga transaksi makin aman, khususnya dalam menghadapi serangan dari luar.
Kedua adalah meningkatkan dan membangun kesadaran masyarakat agar mereka terhindar dari social engineering dan penipuan-penipuan yang mengatasnamakan perbankan.
”Kami membuat program-program awareness yang berkelanjutan dan rutin kepada nasabah. Ini bisa dilakukan oleh perbankan sendiri atau bersama-sama dengan industri dan regulator,” ujar Hariantono.
Selain itu, ujarnya, BNI juga terus berinvestasi dalam penguatan teknologi informasi. Dari belanja modal yang disiapkan untuk pengembangan teknologi informasi tersebut, alokasi dana yang disalurkan untuk peningkatan keamanan siber cukup besar.
”Dana tersebut digunakan untuk peningkatan infrastruktur, perangkat lunak, dan kepatuhan untuk keamanan siber yang lebih kuat,” kata Hariantono.
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Anung Herlianto menjelaskan, prinsip penanganan pengaduan telah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Pelaku jasa keuangan, termasuk perbankan, harus menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai perlindungan konsumen. Dia mengatakan, jika kerugian yang diterima masyarakat disebabkan oleh sistem atau infrastruktur perbankan, bank harus menggantinya.
”Pelaku usaha jasa keuangan juga dilarang mengenakan biaya kepada konsumen dalam menjalankan prosedur pengaduan,” kata Anung.