Mendorong Perusahaan Rintisan Menjalankan Bisnis Berkelanjutan
Venture Partner East Ventures Avina Sugiarto berbicara soal fenomena pemutusan hubungan Kerja secara massal dan bagaimana mengajak perusahaan rintisan menciptakan usaha berkelanjutan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Prinsip berwawasan lingkungan, sosial, dan tata kelola kini telah menjelma menjadi satu prasyarat dalam mengoperasikan suatu korporasi. Tumbuhnya kesadaran ini bersumber dari keyakinan bahwa perusahaan perlu terus menciptakan bisnis berkesinambungan dan berkelanjutan yang hanya bisa dicapai dengan mengelola secara baik sumber daya lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, governance/ESG).
Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal di banyak perusahaan rintisan pun semakin menebalkan keniscayaan pengelolaan perusahaan berbasis ESG.
Kesadaran ini yang juga coba dibangun pada tataran perusahaan rintisan berbasis teknologi (start up) dan ekosistem pemangku kepentingan yang melingkupinya. Perusahaan rintisan pun kelak akan bertumbuh kapasitasnya menjadi perusahaan besar. Kesadaran mengoperasikan bisnis berprinsip ESG harus dipupuk sejak dini.
Perusahaan modal ventura East Ventures pun mengupayakan penerapan prinsip tersebut pada sejumlah perusahaan rintisan yang mereka danai. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Venture Partner East Ventures Avina Sugiarto saat berkunjung ke gedung Menara Kompas di Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Akhir-akhir ini, kita mendengar kabar soal PHK massal di beberapa perusahaan rintisan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di kalangan pelaku bisnis rintisan dan investasi perusahaan teknologi?
Saat ini tengah terjadi penurunan valuasi perusahaan teknologi di Amerika Serikat (AS). Ini juga berimbas pada valuasi perusahaan rintisan di Indonesia. Selain itu, dari sisi pendanaan, kenaikan inflasi dan tingkat suku bunga bank sentral AS mendorong dana itu pergi ke jenis-jenis aset lain yang lebih murah dan berisiko lebih kecil ketimbang investasi di perusahaan rintisan.
Mungkin juga PHK itu dipicu dari pergantian strategi bisnis. Berkaca dari hal itu, kami pun memberi wejangan kepada perusahaan rintisan yang kami danai tentang bagaimana mengatur agar operasionalisasinya lebih efisien, menyiapkan perencanaan dana hingga berkisar 18-24 bulan, serta memastikan bahwa usaha mereka bisa berkelanjutan.
Dari sisi pendanaan, kenaikan inflasi dan tingkat suku bunga bank sentral AS mendorong dana itu pergi ke jenis-jenis aset lain yang lebih murah dan berisiko lebih kecil ketimbang investasi di perusahaan rintisan.
Meski demikian, East Ventures tetap berkomitmen mendukung portofolio perusahaan investasi kami dan perusahaan rintisan yang baru. Kami berhasil mengumpulkan pendanaan 550 juta dollar AS, dan sebesar lebih dari 70 persennya akan kami investasikan di Indonesia.
Di satu sisi, kita perlu menciptakan perusahaan rintisan yang bisa berbisnis berkelanjutan. Di sisi lain ekonomi makro sedang tidak terlalu mendukung. Bagaimana East Ventures bisa mendayung di tengah dua hal ini?
Kadang orang berpikir bisnis berkelanjutan itu hanya seputar ekonomi hijau seperti mobil listrik, energi baru terbarukan, dan sebagainya. Padahal, sebetulnya ESG bisa diaplikasikan ke semua industri. ESG bisa dilihat dari sisi manajemen risiko. Misalkan di salah satu perusahaan yang kami investasikan, Sociolla. Mereka punya kampanye pengurangan sampah, salah satunya dengan menyiapkan kotak kemasan yang ramah lingkungan. Kami melihat bagaimana mereka ingin terus berkelanjutan.
Dari sisi teknologi, kita mengenal perusahaan teknologi finansial (tekfin). Berkat keberadaan mereka, banyak masyarakat yang kesulitan mengakses pendanaan di bank kini bisa mendapatkan dana. Kami juga punya portofolio investasi di perusahaan tekfin investasi, seperti Bibit, yang memungkinkan masyarakat berinvestasi dalam jumlah kecil. Ini menciptakan siklus bisnis berkelanjutan.
Bagaimana upaya East Ventures agar perusahaan rintisan dapat menerapkan prinsip investasi berkelanjutan itu?
Kami berikan pelatihan dan pemahaman agar terbentuk inisiatif penerapan ESG. Selama pandemi Covid-19, kami mendorong program donasi oksigen konsentrat dan penggalangan dana untuk membantu penanganan Covid-19 di Indonesia.
Kami juga memberikan pelatihan kepada para pendiri perusahaan rintisan agar menciptakan perusahaan rintisan yang bisa mengadopsi keberagaman sumber daya manusianya. Dalam memberikan pelatihan, pun, kami menyesuaikan dengan kapasitas usaha dari perusahaan rintisan tersebut.
Kalau masih dalam tahap pengembangan awal, ya ibaratnya masih bayi, mereka belajar merangkak dahulu, bertumbuh dahulu. Namun, kesadaran ESG sudah kami terapkan sedari awal. Jadi saat perusahaan rintisan itu bertumbuh, secara otomatis mereka sudah memiliki kesadaran akan ESG.