Bunga Deposito dan Struktur Perbankan yang Timpang
Banyak bank yang memberikan bunga simpanan lebih tinggi daripada bunga penjaminan. Ini menjadi anomali di tengah melimpahnya likuiditas perbankan. Ada fenomena apa di balik itu?
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Pamor bunga deposito bank sebagai instrumen investasi belakangan ini sedang luntur. Nilainya yang hanya berkisar 1-3 persen, lebih kecil ketimbang imbal hasil instrumen investasi yang lain.
Namun, sebenarnya, tetap ada bank yang menawarkan bunga deposito yang cukup menarik, terutama bank-bank digital. Bank-bank tersebut bahkan memberikan bunga deposito lebih besar daripada bunga penjaminan yang ditetapkan oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Bunga penjaminan yang ditetapkan LPS mulai 28 Mei 2022 sampai 30 September 2022 adalah sebesar 3,5 persen untuk simpanan dalam bentuk rupiah di bank umum, 0,25 persen untuk simpanan dalam bentuk valuta asing di bank umum, serta 6 persen untuk simpanan dalam bentuk rupiah di bank perkreditan rakyat (BPR).
Berdasarkan penelusuran dari situs resmi perusahaan dan Laporan Harian Bank Umum (LHBU) Bank Indonesia (BI), ada sejumlah bank digital yang memberikan bunga deposito di atas bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Mereka antara lain Allo Bank yang memberikan bunga simpanan dan deposito sebesar 4-6 persen dan SEA Bank yan memberikan bunga simpanan sebesar 4 persen. Ada pula blu atau Bank Digital BCA yang memberikan bunga deposito sebesar 3,75 persen bila saldo nasabah melebih Rp 10 juta-Rp 99 juta dan 4 persen bila saldo nasabah melebihi Rp 100 juta.
Memberikan bunga simpanan lebih tinggi daripada bunga penjaminan sejatinya adalah praktik yang sudah lama dijalankan perbankan. Jauh sebelum bank-bank digital bermunculan, bank-bank mini atau bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dan 2 dengan modal inti Rp 1 triliun-Rp 5 triliun juga sudah kerap melakukan ini. Praktik ini bahkan masih dilakukan oleh bank-bank kecil hingga saat ini.
Misalkan saja Bank Victoria yang memberikan bunga deposito hingga 8 persen. Adapun hingga triwulan pertama tahun ini, modal inti bank ini sebesar Rp 2 triliun. Selain Bank Victoria, ada pula Bank Ganesha yang juga memberikan bunga deposito hingga 8 persen. Bank ini juga memiliki modal inti sebesar Rp 2 triliun.
Fenomena bank memberikan bunga simpanan di atas bunga penjaminan sebenarnya merupakan praktik yang tidak normal di tengah melimpahnya likuiditas perbankan saat ini.
Berbeda bila seandainya likuiditas di pasar sedang ketat atau kering, maka wajar bank-bank menawarkan bunga simpanan yang lebih tinggi untuk menarik dana masyarakat.
Jika ditelisik lebih jauh, persoalan ini ternyata akibat timpangnya struktur industri perbankan nasional. Meskipun secara umum likuiditas perbankan melimpah, distribusinya tidak merata sehingga tetap ada bank-bank yang likuiditasnya tidak atau belum mencukupi. Bayangkan saja, sebanyak 68,8 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) yang senilai Rp 7.481 triliun dikuasai hanya oleh 10 bank besar. Padahal total jumlah bank di Indonesia mencapai 107 bank.
Bank-bank digital yang baru lahir serta bank-bank kecil tentu harus menawarkan bunga simpanan yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh bank-bank besar agar masyarakat tertarik. Jika bunganya sama dengan bank-bank besar, masyarakat tentu akan lebih memilih menaruh dananya di bank-bank besar yang dianggap lebih aman.
Faktanya, menawarkan bunga yang relatif lebih tinggi cukup ampuh untuk menarik DPK. Misalnya saja SEA Bank yang pada triwulan pertama tahun ini mencatat pertumbuhan DPK sebesar enam kali lipat lebih secara tahunan menjadi sebesar Rp 12,1 triliun. Begitu pula DPK Allo Bank pada triwulan pertama tahun ini yang bertumbuh 31,22 persen secara tahunan menjadi sebesar Rp 2,78 triliun.
LPS memang tidak melarang bank-bank ini memberikan bunga yang lebih besar dari bunga penjaminan. Hanya saja, LPS menegaskan bahwa simpanan nasabah pada bank yang memberikan bunga lebih besar daripada bunga penjaminan tidak akan dijamin LPS. Artinya, bila bank bersangkutan kolaps, simpanan nasabah itu berisiko hilang karena tidak dijamin LPS. Bank yang menawarkan bunga simpanan di atas penjaminan juga wajib memberikan informasi ini kepada nasabah agar nasabah tidak salah mengambil keputusan.
Tidak meratanya distribusi DPK dalam industri perbankan adalah implikasi dari terlalu banyaknya bank yang ada di Indonesia. Dalam industri perbankan berlaku jargon size is matter. Semakin besar kapasitas dan permodalan perbankan, maka semakin berpeluang memenangi persaingan merebut nasabah.
Maka dari itu, pelbagai upaya untuk merampingkan jumlah bank perlu terus dilakukan, entah itu melalui merger bank-bank kecil ataupun akuisisi bank kecil menjadi bagian dari kelompok usaha bank (KUB) besar. Ini perlu terus dilakukan untuk menciptakan struktur industri perbankan yang lebih sehat.