Redistribusi Kekayaan Jadi Kunci Atasi Ketimpangan akibat Pandemi
Laporan Oxfam International “Profiting from Pain” menyebut bahwa jumlah miliarder dunia bertambah 573 orang menjadi 2.668 sejak pandemi. Total kekayaan konglomerat dunia sekarang setara dengan 13,9 persen PDB dunia.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memperlebar ketimpangan sosial. Temuan Oxfam Internasional menunjukkan jumlah miliarder dunia bertambah 573 orang selama pandemi. Ketimpangan akibat pandemi muncul dalam berbagai aspek, seperti pada kekayaan, pendapatan, jender, dan rasial. Ketimpangan ini diyakini bisa diselesaikan antara lain dengan campur tangan negara dalam redistribusi keadilan.
”Yang diperlukan untuk menurunkan ketimpangan atau mendistribusikan keadilan adalah negara ikut dalam mengelola pasar untuk membela mereka yang lemah dan terlemahkan dalam struktur yang ada di pasar,” ujar Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta dalam bincang akhir pekan ”Fenomena Ketimpangan di Era Pandemi” yang digelar secara daring pada Minggu (5/6/2022) malam.
Diskusi tersebut juga menghadirkan dua pembicara lain, yaitu ekonom Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, dan peneliti Megawati Institute, Reno Koconegoro. Diskusi membahas tentang laporan Oxfam International dalam Media Brief ”Profiting from Pain” yang dirilis Senin, 23 Mei 2022, yang menyebutkan bahwa jumlah miliarder dunia bertambah 573 orang menjadi 2.668 sejak 2020.
Kekayaan bersih miliarder melonjak tajam sebesar 3,8 triliun dollar AS. Dengan lonjakan itu, total kekayaan konglomerat dunia sekarang setara dengan 13,9 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Miliarder di bidang pangan, energi, farmasi, dan teknologi mendapatkan keuntungan yang luar biasa di tengah tekanan yang sangat serius menimpa mayoritas warga dunia.
Menurut Arif, kelompok-kelompok usaha yang mendapatkan akumulasi kekayaan dari gonjang-ganjing pasar pada masa pandemi ini, terutama berada di negara-negara seperti Amerika Serikat dengan sistem ekonomi pasar bebas yang menjunjung tinggi liberialisme. Kekayaan James Cargill, yang menguasai mayoritas kepemilikan dari Cargill yang bergerak di sektor makanan, misalnya, meningkat hampir 20 juta dollar AS sejak pandemi.
”Model ekonomi yang free market itu, di mana siapa dalam konteks ekonomi yang free market itu. Siapa yang punya modal yang lebih kuat, jaringan yang lebih besar, maka kemudian akan memenangi pasar,” tambah Arif.
Akumulasi kekayaan di masa pandemi oleh sebagian kelompok usaha ini antara lain akibat munculnya rezim hak kepemilikan atau property right. Pada kejadian luar biasa seperti pandemi Covid-19, menurut Arif, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seharusnya dari awal membangun kesepakatan bahwa vaksin menjadi hak kepemilikan oleh komunal atau common property right yang tidak diserahkan pada mekanisme pasar.
Selama pandemi, laporan Oxfam menyebutkan, tercipta 40 miliarder baru yang berasal dari vaksin, perawatan dan perlindungan diri. Keuntungan tercatat sebesar 1.000 dollar AS per detik hanya dari vaksin. Perusahaan medis juga beberapa kali tercatat menggunakan skema tax heavencountry (negara yang memberikan perlindungan pajak) untuk menghindari pajak.
”Pasar bebas pada saat ini juga ditandai dengan apa yang disebut dengan intellectualproperty right sehingga kemudian mereka yang memiliki akumulasi intelektual yang lebih besar, lebih cepat, dalam melakukan inovasi riset, maka implikasinya akan juga memiliki kesempatan untuk melakukan akumulasi kekayaan,” tambah Arif.
Negara juga harus memanfaatkan fenomena rezeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga komoditas dan energi selama pandemi. Arif mencontohkan harga komoditas batubara melonjak dari 100 dollar AS menjadi 400 dollar AS per ton.
”Maka kemudian, ya, negara juga memiliki kesempatan untuk meningkatkan apa yang disebut dengan penerimaan negara bukan pajak. Saya rasa Indonesia juga melakukan hal yang sama untuk batubara ini ada tambahan sekian persen untuk windfall profit itu terutama menaikkan royalti batubara,” ucapnya.
Windfall profit dari beragam komoditas juga bisa menjadi sovereign wealth fund atau dana investasi milik pemerintah. Jika dikelola dengan baik, dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk investasi dalam kerangka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ketika masuk ke kas negara, windfall profit didistribusikan kembali untuk perlindungan sosial, pemantapan ataupun perluasan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga hal-hal yang terkait dengan peningkatan dan keterampilan ataupun riset dan inovasi. Selain itu juga untuk pengembangan infrastruktur. ”Agar kemudian redistribusi dari kekayaan dapat dilakukan. Windfal profit itu sekali lagi adalah bagian dari pada redistribution of wealth,” kata Arif.
Menurut Arif, windfall profit dari beragam komoditas juga bisa menjadi sovereign wealth fund atau dana investasi milik pemerintah. Jika dikelola dengan baik, dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk investasi dalam kerangka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pajak dari windfall profit juga bisa dimanfaatkan untuk mendistribusikan atau menyeimbangkan kesejahteraan antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. ”Indonesia memiliki problematika juga, ketidakseimbangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur, itu bisa dijadikan untuk pemanfaatan redistribusi dari kekayaan,” kata Arif.
Arif menegaskan bahwa ketimpangan akan semakin dalam apabila pasar bebas atau free market terus dibiarkan. ”Kalau kemudian tidak direspons secara global, secara bersama secara gotong royong bahwa ini adalah tanggung jawab responsibility antar-seluruh warga dunia, maka kemudian akan menimbulkan ketimpangan yang semakin dalam lagi,” tambahnya.
Menurut Arif, laporan Oxfam menunjukkan bahwa di tengah krisis muncul kelompok-kelompok atau golongan yang dapat memanfaatkan untuk mengakumulasi kekayaannya yang lebih besar. Di sisi lain, mereka yang miskin akan menjadi semakin miskin.
Dampak ketimpangan
Dalam paparannya, peneliti Megawati Institute, Reno Koconegoro, menyebut bahwa Oxfam meminta pemerintah negara-negara di dunia untuk melakukan langkah-langkah perpajakan yang progresif. Skema perpajakan yang lebih adil harus ditunjukkan kepada lapisan masyarakat superkaya yang memperoleh keuntungan dari dua tahun pandemi.
Dana yang diperoleh selanjutnya harus dialokasikan untuk investasi dalam langkah-langkah untuk mengurangi ketidaksetaraan. Apalagi, dampak ketimpangan diklaim berada di titik yang ekstrem. Kemiskinan ekstrem global misalnya melonjak tinggi yang telah menempatkan 263 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2022. Hal ini membalikkan kemajuan pengentasan warga dari kemiskinan ekstrem dalam satu dekade terakhir.
Menurut Reno, banyak emiten yang bergerak di bidang pangan dan energi di Indonesia yang juga mencatatkan laba terbesar sepanjang pandemi. ”Jadi memang fenomena yang dipotret Oxfam bisa dikatakan fenomena umum yang juga terjadi di Indonesia,” ujar Reno yang juga menyoroti adanya peningkatan keresahan sosial (social unrest) akibat pandemi.
Ekonom UI, Telisa, menambahkan harus ada grand design untuk mengurangi ketimpangan akibat pandemi. Negara diharapkan menjalankan peran mediasi sehingga mereka yang meraih keuntungan besar di kala pandemi ini bisa memberikan kontribusi berupa pajak. Kebijakan pajak juga diharapkan memberikan dukungan terhadap redistribusi progresif bagi rakyat. ”Negara jadi wasitnya. Peranan negara sebagai wasit ini yang perlu diperkuat,” tambahnya.