Keputusan untuk membeli atau berinvestasi pada properti kemungkinan akan tertunda dalam waktu dekat karena melemahnya daya beli dan lesunya momentum investasi di kalangan investor properti.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi di sektor properti, khususnya residensial, diprediksi masih menghadapi tekanan tahun ini. Penyebabnya sejumlah faktor, antara lain berakhirnya insentif pajak pertambahan nilai, hingga imbas kenaikan tarif dasar listrik dan harga bahan bakar minyak.
Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto mengemukakan, keputusan untuk membeli atau berinvestasi pada properti kemungkinan akan tertunda dalam waktu dekat karena melemahnya daya beli dan lesunya momentum investasi di kalangan investor properti. Bagi investor, pertimbangan utama saat membeli properti adalah ekspektasi atas potensi imbal hasil properti.
Tahun 2022 seharusnya menjadi momentum persiapan untuk kebangkitan properti pada tahun 2023. Namun, berakhirnya insentif pajak, disertai faktor lain seperti kenaikan tarif listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan kenaikan inflasi diperkirakan akan menghambat investasi properti.
Tekanan investasi, terutama di subsektor residensial yang konsumennya lebih rentan terdampak kondisi perekonomian. Investasi di apartemen (strata title) yang sudah terpuruk akibat pandemi diprediksi akan membutuhkan waktu lebih panjang untuk bangkit. Sementara itu, investasi di rumah tapak (landed house) mewah juga cenderung memiliki pasar yang terbatas.
”Kalau insentif (Pajak Pertambahan Nilai/PPN) ini selesai, kita akan kembali ke era PPN 11 persen sehingga membuat investasi properti berpotensi tertahan,” ujarnya, saat dihubungi, Senin (30/5/2022).
Ferry menambahkan, tahun 2021 sebetulnya merupakan periode yang baik untuk pasar properti, terutama untuk sektor residensial. Insentif PPN ditanggung pemerintah dinilai menguntungkan dan membangkitkan semangat pembelian properti di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil. Namun, relaksasi PPN selama ini lebih berdampak untuk penjualan rumah tapak.
Sebaliknya, insentif PPN dinilai belum terlalu berdampak pada pemasaran apartemen yang cenderung masih lesu. Imbal hasil sewa di sektor apartemen belum terlihat membaik. Dengan tingkat imbal hasil yang relatif rendah, investor cenderung menunggu kendati harga pasar apartemen saat ini cenderung stagnan.
Dari laporan Colliers Indonesia, pada triwulan I-2022 hanya ada 278 unit apartemen baru yang terjual di Jakarta. Permintaan terhadap apartemen menurun dibandingkan triwulan IV-2021 yang sebanyak 516 unit.
Senada dengan itu, Head of Research JLL Yunus Karim, mengemukakan, penjualan apartemen milik atau kondominium di Jakarta pada triwulan I-2022 masih cenderung lemah, berlanjut dari tahun lalu. ”Calon pembeli, khususnya investor masih berhati-hati dalam membeli kondominium. Secara umum, pengembang masih fokus untuk menjual produk eksisting,” katanya.
Terus bergerak
Ferry mengemukakan, meskipun investasi properti residensial masih akan tertekan, pihaknya optimistis bisnis properti akan memiliki daya tarik lebih dalam waktu 2-3 tahun ke depan seiring penguatan ekonomi. Tahun 2023, sektor properti diprediksi mulai bangkit dan mencapai puncaknya pada 2024-2025.
Pengembang properti perlu mempersiapkan momentum pemulihan dengan membaca kebutuhan pasar, serta mempersiapkan produk-produk properti yang dapat diterima pasar dalam 2-3 tahun ke depan. Produk yang diterima pasar cenderung mengarah ke unit berukuran kecil dan kedekatan aksesibilitas, serta mengakomodasi kegiatan bekerja dari rumah.
”Pengembang perlu membaca kebutuhan pasar secara komprehensif. Tidak mengeluarkan produk saat sekarang, tetapi menyiapkan produk yang bisa diterima pasar dalam 2-3 tahun ke depan,” ujarnya.